Home Laporan Khusus Jangan Cepat Simpulkan MA Pro Koruptor

Jangan Cepat Simpulkan MA Pro Koruptor

Juru Bicara Mahkamah Agung

Andi Samsan Nganro

Mahkamah Agung mengurangi hukuman kepada terpidana korupsi didasarkan pertimbangan pengelolaan dan penyelenggaraan tugas peradilan yang seimbang. Proses Peninjauan Kembali (PK) bagi kasus tipikor perlu pembuktian luar biasa.


Sudah dua lusin lebih terpidana korupsi yang diberi potongan hukuman oleh Mahkamah Agung (MA). Ini memicu anggapan lembaga peradilan tertinggi ini cenderung memberi fasilitas berlebih bagi koruptor.

Namun Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, menegaskan bahwa sebagai pengadilan negara tertinggi yang melakukan pengadilan kasasi, juga berwenang memeriksa dan memutus permohonan PK atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT).

Menurutnya, koreksi hukuman itu sudah didasarkan atas pertimbangan menyeluruh, juga sebagai wujud tugas MA membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi. "MA juga bertugas melalui upaya hukum PK untuk menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat, dan benar," katanya.

Terkait tudingan MA condong ke koruptor ini, Andi memberikan konfirmasinya kepada Wartawan GATRA, Wahyu Wachid Anshory, melalui pesan singkat. Ia menjelaskan, PK yang diatur dalam perundang-undangan merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk mengoreksi dan memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan yang telah BHT. Berikut petikannya:

 

Bagaimana Anda melihat hasil PK atas beberapa terpidana kasus korupsi? Apakah itu sudah sesuai?

Berdasarkan pengamatan kami, ada beberapa alasan pengurangan hukuman itu terjadi, seperti pemohon PK atau terpidana si A berkeberatan, karena sama-sama berbuat—kualitas perbuatan sama—dengan terdakwa lain, si B, yang pemeriksaan perkaranya terpisah dengan si A, tetapi hukuman yang dijatuhkan berbeda.

Si A dijatuhi hukuman tujuh tahun sedangkan si B dipidana tiga tahun. Apakah MA lalu hukuman si A diserasikan atau diperbaiki atau dikurangi menjadi lima tahun. Begitu juga terpidana yang sudah memulihkan atau sebagian besar telah mengembalikan kerugian keuangan negara, apakah salah kalau MA dalam tingkat PK mengurangi hukumannya secara proporsional sesuai penjelasan Pasal 4 UU PTPK yang menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dipertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan.

Lagi pula, setiap putusan hakim wajib mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Ini juga sering dijadikan pertimbangan majelis hakim PK, sehingga mengurangi hukuman terpidana, misalnya peran terpidana hanya membantu, dia bukan pelaku utama. Sementara pidana yang dijatuhkan dinilai terlampau berat.

 

Namun dalam keputusan kasasi, ada kecenderungan malah meringankan hukuman bagi koruptor?

Kita sepaham bahwa korupsi itu adalah musuh kita bersama yang harus diberantas. Kalau ada beberapa perkara tipikor yang ditangani oleh MA, katakanlah melalui putusan kasasi atau PK dan kemudian MA memperbaiki atau mengurangi hukumannya, hendaknya janganlah terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa MA pro kuruptor atau MA tidak mendukung penegakan korupsi di Indonesia.

Tolong juga dipahami posisi kami dalam mengelola dan menyelenggarakan tugas peradilan. Lagi pula, lembaga kami bukan dalam posisi sebagai lembaga penuntut, tetapi berkedudukan sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan.

 

Jadi, memang akan sulit berharap Indonesia bebas korupsi, karena lembaga kehakiman masih menghukum ringan para koruptor ini?

Dalam UU MA dinyatakan, sebagai pengadilan negara tertinggi, MA selain merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi, MA juga bertugas melalui upaya hukum PK untuk menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat, dan benar.

Menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, ada tiga alasan yang dapat dijadikan dasar terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, yakni ada "novum"; ada pertentangan dalam putusan atau antar putusan satu sama lain; atau ada "kekhilafan" hakim atau kekeliruan yang nyata.

Apabila terpidana atau ahli warisnya mengajukan permohonan PK dengan mendalilkan alasan-alasan atau salah satu alasan yang dimaksud dan menurut MA dalam pemeriksaan PK bahwa alasan tersebut cukup beralasan dan terbukti, maka tentu MA dapat mengabulkan.

PK yang dikabulkan itu, saya tidak ingat dan menyebutkan alasan-alasan PK-nya yang dikabulkan, tapi yang jelas dikabulkan PK terpidana bisa jadi hukumannya dikurangi. Inilah yang banyak disoroti bahwa MA menyunat hukuman koruptor, MA mendiskon hukuman koruptor.

 

Ada anggapan kasasi menjadi alternatif mudah sebagai pengurang hukuman bagi koruptor. Menurut Anda?

MA tidak semudah itu mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh terpidana. Terutama perkara-perkara tipikor, sebab perkara-perkara yang dimohonkan PK itu sudah BHT, sehingga alasan dan pembuktiannya harus pula luar biasa. Oleh karena itu, MA cukup ketat dalam menilai alasan-alasan PK pemohon atau terpidana.

Ini juga sering terjadi. Terpidana atau pemohon PK yang perannya hanya sebagai "membantu" (vide Pasal 56 KUHP) melakukan tindak pidana, dijatuhi pidana lebih berat daripada hukuman terpidana yang berperan sebagai pelaku utama. [G]