
Batam, gatra.net - Para buruh yang tergabung dalam Federasi Sarikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam, Kepri, resmi melakukan mogok kerja untuk menolak RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang akan berlangsung selama tiga hari kedepan, Selasa (6/10).
Panglima Garda Metal FSPMI Kota Batam, Suprapto mengatakan, pihaknya akan tetap melaksanakan aksi mogok kerja masal tersebut meski ada himbauan dari perusahaan untuk tidak melakukan aksi.
"Buruh akan tetap melaksanakan aksi mogok kerja nasional. Dan kita saat ini sedang melakukan persiapan aksi. Rencananya aksi akan dilaksanakan selama tiga hari kedepan," jelasnya.
Suprapto menegaskan, untuk aksi mogok yang dilakukan, pihaknya hanya akan berkonsentrasi di kawasan industri, dimana para pekerja hanya akan berkumpul dan berorasi di depan perusahaan masing-masing tanpa melakukan aksi turun ke jalan.
"Dalam aksi mogok kerja yang dilaksanakan di masing-masing perusahaan tanpa turun ke jalan atau kantor pemerintahan setempat. Dan tidak ke Gedung Pemko maupun DPRD Kota Batam," jelasnya.
Suprapto menuturkan, dalam melaksanakan aksi mogok kerja tersebut, pihaknnya juga sudah membuat surat pemberitahuan kepada pihak Kepolisian setempat terkait rencana kegiatan yang akan dilaksanakan itu.
"Intinya, kita tetap melakukan perlawanan pengesahan RUU Cipta Kerja. Mengingat hal ini bukan saja memperjuangkan nasib para pekerja dan buruh saat ini saja. Akan tetapi memperjuangkan saudara-saudara di masa yang akan datang," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam Rafki Rasid mengimbau kepada para pekerja di Batam agar mengabaikan seruan mogok massal dari sarikat buruh sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.
"Kita menyayangkan ada seruan mogok nasional oleh elite serikat pekerja yang bisa menyebabkan pekerja di perusahaan terkena sanksi oleh perusahaan. Sebab, mogok nasional yang diserukan tersebut bertentangan dengan ketentuan mogok kerja yang diatur dalam pasal 137 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," katanya, Selasa (6/10) di Batam.
Dalam pasal tersebut, Rifki menyebut, telah diatur terkait syarat untuk melakukan mogok kerja adalah gagalnya perundingan antara buruh dan pengusaha.
Sedangkan seruan mogok kerja sekala nasional yang dilakukan sebagai bentuk penolakan pengesahan RUU Omnibus Law. Jadi, seharusnya istilahnya bukan mogok kerja tapi unjuk rasa.
"Mogok kerja dan unjuk rasa ini dua hal yang berbeda. Jangan sampai dicampur aduk bisa salah tafsir," ujarnya.
Jika kalangan pekerja tetap bersihkeras dan berniat melakukan unjuk rasa atau mogok kerja, tentunya tidak ada yang bisa melarang dan tidak juga merubah keputisan yang telah disahkan oleh DPR RI.
"Namun kalau bisa unjuk rasanya dilakukan di Jakarta saja. Sebab pembahasan yang dilakukan berlangsung di DPR RI Senayan, Jakarta. Jadi kalau dilakukan di Batam mungkin gaungnya kurang begitu terdengar ke Jakarta," tuturnya.