KPK mendampingi Kemensetneg menertibkan aset barang milik negara untuk mencegah kerugian negara. Persoalan lama yang belum selesai. Masih bermasalah dengan pihak ketiga.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya daftar aset barang milik negara (BMN) yang dikelola oleh pihak ketiga. Nilai asetnya tidak main-main.
Berdasar hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), saat ini nilai BMN yang dimiliki pemerintah mencapai Rp10.467,5 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp571,5 triliun di antaranya dikelola oleh pihak swasta. Beberapa yang tercatat, yaitu Gelora Bung Karno (GBK), Pusat Pengelolaan Kompleks (PPK) Kemayoran, Gedung Veteran Semanggi, dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Tidak ada yang salah atas keputusan memberikan pengelolaan aset negara kepada pihak ketiga. Namun, pengelolaannya harus tertib dan bisa optimal memberi pemasukan ke kas negara. Untuk itulah, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menggandeng KPK. Dalam hal ini KPK berperan memberikan pendampingan untuk menghindari kerugian negara atas pengelolaan BMN.
Jumat, 25 September lalu, KPK sudah bergerak. Dalam sebuah rapat daring dengan pihak Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) dan Kemensetneg, KPK meminta untuk meninjau ulang kerja sama terkait 13 objek aset dan/atau mitra kerja sama dalam pemanfaatan aset milik PPK GBK.
"Kontrak yang sedang berjalan harus tetap dihormati, terlepas dari prosesnya dahulu. Prinsipnya penyesuaian kontrak harus dilakukan secara persuasif dan win-win," ujar Kepala Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi Pencegahan Wilayah II KPK, Asep Rahmat Suwandha, dalam rapat tersebut.
KPK, tambah Asep, dalam waktu dekat akan mengundang para mitra terkait untuk mendapatkan masukan dalam memperjelas duduk persoalan. Hal tersebut, menurutnya, dilakukan sebagai upaya fasilitasi, mediasi, dan percepatan optimalisasi aset GBK.
Dihubungi terpisah, Direktur Utama PPK GBK, Winarto, mengatakan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di kawasan stadion besar itu sebenarnya kerap tumbuh tiap tahunnya. Winarto mengeklaim, terakhir dana penerimaan yang masuk mencapai Rp20 triliun. Tahun ini juga pihaknya menargetkan kenaikan pemasukan PNBP. Namun, karena pandemi Covid-19 saat ini masih mendera dunia, pihaknya terpaksa mengoreksi target jadi lebih kecil.
"Target tahun ini juga aslinya tumbuh dari tahun lalu. Kemudian Covid-19 dari Maret sampai hari ini juga sangat berat untuk balik lagi, pasti menurun tahun ini," kata Winarto saat dihubungi Erlina Fury Santika dari GATRA, Senin malam lalu.
Lebih lanjut Winarto menjelaskan, luas kawasan GBK yang sudah masuk dalam hak pengelolaan, mencapai 279 hektare. Perinciannya, sebesar 53% diberdayakan untuk olahraga, 24% untuk kawasan pemerintahan, dan 23% untuk ajang komersial. Pengelolaan wilayah yang luas itu berjalan bukan tanpa kendala. Ujungnya, kendala itu juga yang jadi masalah bagi pengelola untuk meningkatkan profit supaya bisa masuk ke PNBP.
Dalam rapat dengan KPK, Winarto memaparkan ada salah satu mitra yang tercatat memiliki piutang sampai dengan 31 Agustus 2020 sebesar US$101.062 untuk kewajiban atas bisnis utamanya dan sebesar Rp2,5 miliar kewajiban bagi hasil atas pengelolaan bisnis sampingan.
Selain itu diketahui, terdapat bisnis baru tanpa adanya bagi hasil. Intinya, menurut Winarto, perjanjian yang ada saat ini tidak sesuai dengan PMK 136 Tahun 2016 atau PMK 129 Tahun 2020. "Tidak ada kontribusi variabel, sanksi keterlambatan pembayaran, tanggal pembayaran, terminasi, dan keadaan kahar," ucapnya.
Kemudian, jika melihat salah satu pekerjaan rumah dari KPK bagi PPK GBK, ada tugas untuk clearance tanah. Ini pun tidak mudah. "Ada yang masih dikuasai masyarakat, kecil-kecil ada 300 meter, itu harus kita clear-kan karena mereka merasa punya hak. Apakah itu bagian yang sudah dibebaskan oleh pemerintah waktu itu atau memang punya hak dan belum diganti rugi. Memang itu belum ada perjanjian status tanahnya, belum clear betul," tutur Winarto.
Terkait permintaan KPK untuk meninjau ulang perjanjian 13 objek aset dan/atau mitra kerja sama dalam pemanfaatan aset milik PPK GBK, Winarto enggan memerincikan lebih lanjut. Menurutnya, penyelesaian tanah akan menjadi upaya pengelola dalam menertibkan aset BMN guna menambah PNBP.
***
Sekretaris Kemensetneg, Setya Utama, menegaskan bahwa penertiban dan pemulihan aset BMN merupakan agenda prioritas Kemensetneg. Pihaknya memang secara khusus memiliki kewenangan dalam menjaga dan meningkatkan optimalisasi pengelolaan aset-aset negara. "Aset ini tidak hanya untuk Kemensetneg, pemerintah. Namun aset ini digunakan untuk meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan keuangan negara dan sebesar-besarnya untuk kepentingan warga masyarakat yang lebih luas," ia mengungkapkan dalam keterangan tertulis, seperti dilaporkan Dwi Reka Barokah dari GATRA.
Sejauh ini, kata Setya, Kemensetneg kesulitan menagih kewajiban para penyewa karena adanya konflik dengan pihak ketiga atau swasta. Padahal, kewajiban penyewa untuk membayar kontrak sudah ditetapkan sejak awal. Dari sejumlah aset tersebut, ditemukan masalah dalam pengelolaan tiga aset. Pertama, dalam penetapan status tanah GBK, terdapat pencatatan ganda dan penggunaan perjanjian bersama.
Di kawasan GBK, ada aset yang dikuasai pihak lain tanpa perjanjian, sehingga terjadi pemanfaatan aset tanpa perjanjian dan belum membayar royalti serta hak guna bangunan (HGB) di atas tanah hak pengelolaan (HPL). Kemudian, ditemukan juga aset yang proses kepemilikannya belum selesai dan aset komersial dengan kontribusi yang perlu ditinjau ulang. "Upaya penyelesaian aset ini sudah dimulai sejak tahun 2016, karena ada desakan dari Komisi II dan menindaklanjuti rekomendasi BPK. Namun dalam pelaksanaannya sulit, bahkan tidak ada kemajuan ketika kita bicara angka-angka," kata Setya.
Kedua, masalah dalam pengelolaan Kemayoran. Terdapat permasalahan hukum pada lahan Kemayoran yang dikerjasamakan dengan mitra. Masalah ketiga ditemukan dalam pengelolaan aset TMII yang saat ini dikuasai oleh Yayasan Harapan Kita. Padahal, merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51 Tahun 1977 tentang TMII, Yayasan Harapan Kita hanya berhak mengelola aset TMII, sedangkan kepemilikan masih dipegang negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, pihak pengelola TMII belum dapat memberikan komentar. Manajer Informasi TMII, Ira Dyah, mengatakan bahwa belum ada diskusi atau kajian dari pihak manajemen terhadap wacana tersebut. "Sampai saat ini, kami masih berfokus perihal perkembangan PSBB. Penanganan dan pencegahan Covid-19 ini menjadi prioritas utama, yang kami terus pantau dan rata-rata semua masih bekerja dari rumah," ujarnya saat dihubungi Ucha Julistian Mone dari GATRA Sabtu lalu.
Di sisi lain, hingga tulisan ini diturunkan, Direktur Utama PPK Kemayoran, Medi Kristianto, tidak merespons permintaan wawancara GATRA.
***
Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan bahwa KPK belajar dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu melakukan pendampingan untuk memulihkan aset di daerah-daerah. Nah, mulai tahun ini, KPK menyasar pemerintah pusat yang meskipun asetnya lebih sedikit, nilainya lebih besar dari yang ada di daerah. "Kalaupun timnya [KPK] terbatas, kita tahu karena tim KPK ada jaksa, maka kita harus gandeng Jamdatun," kata Pahala pada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.
Program pemulihan aset yang sebelumnya dilakukan KPK, lanjut Pahala, dilakukan untuk mendorong optimalisasi pendapatan dan penyelamatan aset melalui sertifikasi. Melalui program sertifikasi BMN, paling tidak BMN memiliki dokumen yang jelas dan lengkap.
Pahala mengungkapkan, rata-rata total aset pemda yang terdiri dari tanah dan bangunan di Indonesia, baru sekitar 29% yang telah bersertifikat. Kejadian semacam ini bukan tidak mungkin terjadi pada aset BMN yang dikelola Setneg. Pasalnya, masalah umum pada aset BMN Setneg, kata Pahala, adalah utilisasinya yang rendah.
Contohnya, PPK Kemayoran yang terdiri dari kaveling-kaveling yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Problemnya, nilai kerja sama yang disepakati sangat rendah untuk pemasukan negara dan kerja samanya tidak berjalan, tetapi juga tidak bisa dihentikan. Bahkan Pahala mengungkapkan, ada empat bank Himbara yang sudah dapat lahan, tetapi tidak membangun apa-apa, kemudian pihak PPK Kemayoran memberikan denda.
"Ini lagi kita selesaikan. Setneg kan diaudit BPK, Bank Himbara juga. KPK dorong kasih HGB lagi, apakah dia mau bangun atau tidak. Tapi kalau dihitung denda tidak dipungut dan tidak dibayar, kemudian tanahnya mangkrak. Kemayoran ini spiritnya kita upayakan dengan KemenBUMN, BPK, dan Setneg untuk dibangun," tutur Pahala.
Selain itu, KPK juga masih melakukan review terhadap beberapa apartemen swasta di Kemayoran yang ada hak juga untuk pemerintah. Apartemen itu berdiri di atas PPK Kemayoran, maka pemerintah mendapat beberapa slot untuk disewakan yang uangnya masuk ke negara.
Terkait aset TMII, KPK menemukan bahwa berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51 Tahun 1977 tentang Taman Mini Indonesia Indah, aset tersebut dimiliki oleh negara yang dikelola oleh Yayasan Harapan Kita. Dalam hal ini, sudah terdapat naskah penyerahan TMII dari Yayasan Harapan Kita kepada pemerintah pusat.
KPK juga mendapatkan informasi bahwa pada 2017, telah dilaksanakan legal audit TMII oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan tiga opsi rekomendasi pengelolaan, yaitu TMII menjadi BLU, pengoperasian oleh pihak lain, atau Kerja Sama Pemanfaatan (KSP).
Hidayat Adhiningrat P.