Home Politik Kisah Penyintas Tragedi '65: Saya Sudah Diakui Negara

Kisah Penyintas Tragedi '65: Saya Sudah Diakui Negara

Jakarta, gatra.net - Korban tragedi pelanggaran HAM 1965, Sanusi (79), mengatakan, rekonsiliasi bagi korban pelanggaran HAM berat masih sulit terwujud lantaran masih banyak pihak yang tak setuju. Namun, harapan untuk diakui negara bukan berarti pupus sama sekali.

Sanusi saat ini sudah mengantongi buku hijau. Buku ini merupakan kartu penanda akses layanan gratis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk korban HAM. Betapa senang lansia yang tergabung dalam Sekretariat Bersama 65 (Sekber 65) ini. Sebab, dia pernah melakukan operasi mulut dan biayanya mencapai Rp20 juta. Berkat buku hijau itu, dia tak perlu membayar sepeser pun.

"Kayane saya ni diakoni karo negoro tenan (kayaknya saya ini sudah diakui betul-betul oleh negara)," katanya, Jumat (25/9/2020), dalam diskusi daring.

Bagi pria yang pernah ditahan tanpa proses pengadilan selama delapan tahun di masa Orde Baru ini, buku hijau itu tidak sekadar untuk berobat gratis. Ini merupakan bukti bahwa negara telah mengakui jika dirinya adalah korban.

Cerita Sanusi itu merupakan bagian dari acara "Cerita Peduli, Perjalanan Menuju Kesetaraan" yang diselenggarakan oleh Lembaga Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa). Acara itu untuk menutup Program Peduli yang telah berjalan enam tahun fokus menampung suara korban pelanggaran HAM.

Selama enam tahun terakhir, IKa memang bergerak di empat isu pelanggaran HAM. Rinciannya, Daerah Operasi Militer Aceh, Peristiwa Talangsari Lampung, Kerusuhan 1998, serta Tragedi 1965 di Solo, Yogyakarta, dan Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Program Manajer (IKa) Lilik HS menjelaskan, di Yogyakarta, IKa berkerja sama dengan Sekretariat (Forum Pendidikan dan Perjuangan HAM (Fopperham). Tak sekadar mengumpulkan korban 65, Fopperham juga memberikan ruang perjumpaan antara generasi muda dan korban 65.

Di Jakarta, IKa menggandeng Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) untuk memberikan dukungan kepada keluarga dan penyintas HAM dalam Kerusuhan 1998. Selama ini, mereka dicap sebagai keluarga penjarah. Padahal, mereka adalah korban. Pencapaian terbesar adalah ketika pemerintah akhirnya meresmikan situs memorial Prasasti Mei 98 di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur, 2015.

Di Aceh, banyak orang selama masa Daerah Operasi Militer Aceh (1990-1998) tak leluasa mengurus data catatan sipil, termasuk catatan pernikahan. Oleh sebab itu, IKa bekerja sama dengan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh menyediakan layanan isbat nikah atau permohonan pengesahan pernikahan.

2536