Pemerintah bersikeras tetap menggelar pilkada serentak sesuai jadwal di tengah usulan masyarakat agar ditunda. UU Pilkada tidak mengatur pelaksaan pada masa pandemi. Meski ada revisi PKPU, tak bisa menghindarkan gugatan atas hasil pemilu di masa depan.
Suara organisasi-organisasi masyarakat besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, ternyata tak mampu membelokkan putusan pemerintah terkait gelaran pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada 9 Desember nanti. Rekomendasi mereka agar pilkada ditunda, tak bertaji.
Presiden Joko Widodo bersikeras melaksanakan pemilihan di 270 daerah sesuai jadwal. "Demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih, dan hak memilih," ujar Juru Bicara Istana, Fadjroel Rachman.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berdalih, opsi penundaan pernah diambil pemerintah. Pemungutan suara yang awalnya dijadwalkan September 2020, dimundurkan menjadi Desember 2020 karena pertimbangan Covid-19. "Kita sudah menunda, tapi mengambil skenario penundaan bulan, bukan penundaan tahun," kata Tito saat rapat bersama DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Senin lalu.
Mantan Kapolri ini memerinci alasan pemerintah tetap melangsungkan pilkada sesuai jadwal. Pertama, tidak ada otoritas resmi yang menjamin pandemi usai pada 2021. Kedua, kesuksesan negara lain yang melaksanakan pemilihan tanpa terjadi penularan Covid-19 secara masif.
Berkaca pada tahapan pilkada, pemuktahiran data dan pendaftaran calon pun, tak muncul klaster pilkada seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. "Kita tidak mendengar ada klaster atau penularan yang signifikan dari kegiatan tersebut," ucap Tito.
Dalam rapat itu, peluang menunda pemilu memang tak muncul. Semua pihak sepakat dengan pemerintah. Yang menjadi soal, justru payung hukum tata laksana pilkada di tengah pandemi. Mana yang harus diambil: menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada atau merevisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)?
Mendagri memilih opsi memperbaiki PKPU karena lebih cepat. Aturan baru harus memuat larangan kerumunan massa yang rawan penularanan. Kegiatan rapat umum dengan 100 peserta dan kampanye melalui konser yang bertemu fisik, harus ditiadakan. Boleh saja ada konser, tetapi secara virtual.
"Kami sarankan ada revisi PKPU untuk menghindari potensi kerumunan sosial yang tidak bisa menjaga jarak. Semua kegiatan sebaiknya dilakukan secara daring, virtual. Kemudian juga saluran media massa, baik social media maupun media konvensional ini, dapat dimanfaatkan," Tito menjelaskan. Ia juga memberi masukan terkait alat peraga kampanye (APK). Menurutnya, pilkada malah bisa menjadi momentum masif menahan penyebaran wabah. Caranya, KPU melalui PKPU baru nanti mewajibkan para kontestan menggunakan alat pelindung diri dari Covid-19 sebagai APK.
Peraturan saat ini, PKPU Nomor 10 Tahun 2020, hanya memasukkan alat-alat kesehatan seperti masker, hand sanitizer, sabun, dan face shield sebagai APK tambahan. Yang utama masih media tradisional, seperti baliho dan lainnya. Pemerintah ingin alat kesehatan sebagai APK ini, wajib hukumnya. "Ini otomatis akan terjadi. Pembagian masif alat-alat proteksi ini, akan sangat menolong pemerintah dan upaya-upaya kita untuk memotong penularan," kata Tito.
Masih dalam rapat tersebut, suara DPR sempat terbelah antara Perppu Pilkada dan revisi PKPU, tetapi mayoritas memilih memperbaiki PKPU. Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, mengatakan bahwa barisan yang memilih revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2020, memilih tak perlu Perppu untuk mengatur soal kerumunan dan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.
Saan melihat KPU ragu menerbitkan PKPU baru, lantaran selalu dihadapkan dengan UU Pilkada. Padahal, soal ini KPU punya contoh pijakan saat mereka melarang mantan narapidana maju di pemilu legislatif 2019 dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018, padahal UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu membolehkan. "Ketika di undang-undang dibolehkan, tapi KPU membuat PKPU yang melarang eks napi korupsi menjadi caleg," kata politisi NasDem tersebut.
Namun Saan lupa, PKPU tersebut berbuah gugatan ke Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan permohonan gugatan terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018, yang melarang eks narapidana mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Para eks narapidana pun boleh menjadi caleg.
Adapun pihak yang ada di barisan pendorong Perppu, seperti Anggota Komisi II F-PKS, Mardani Ali Sera, mewanti-wanti soal peluang gugatan hukum kalau PKPU tak sesuai UU. KPU rawan digugat, karena pilkada rawan perselisihan. Kemudian, penegak hukum seperti polisi dan Satpol PP tak punya pijakan ajek menindak pelanggar protokol kesehatan tanpa payung hukum kuat.
"Ketika semua cuma imbauan tanpa ada payung hukum kuat, maka kita sedang membuat bom waktu setelah pilkada. Kalau mau menghapus pentas seni, konser musik, panen raya, jalan santai, maka Perppu, Perppu, Perppu!” tutur Mardani.
Komisioner KPU, Ilham Saputra, mengatakan bahwa pada prinsipnya KPU siap merevisi peraturannya, asalkan selaras dengan UU. Ia tak secara gamblang memilih opsi Perppu, tetapi pihaknya khawatir ada celah hukum ketika kita membuat PKPU tidak berdasarkan UU. "Kalau tidak menggunakan Perppu, celah hukum rentan sekali untuk digugat, tapi prinsipnya PKPU Nomor 10/2020, kita siap lakukan perubahan," katanya.
***
Lembaga kajian politik, Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), salah satu pihak yang getol mendukung penundaan pilkada. Lembaga ini menilai, UU Pilkada saat ini hanya mengatur tata cara pelaksanaan pilkada dalam kondisi normal. Menurut pendiri sekaligus peneliti Netgrit, Hadar Nafis Gumay, pemerintah harus menjamin keselamatan penyelenggara, peserta, dan masyarakat dari paparan virus corona.
"Kami pun yang punya ide menunda ini, bukan berarti bisa dilaksanakan kalau pandemi selesai, bukan. Pilkada tetap bisa dilakukan pada masa pandemi, tetapi harus dipersiapkan dengan baik, sehingga korban celaka bisa dihindari," ujarnya kepada GATRA. Solusinya, merumuskan aturan main penyelenggaran pilkada pada masa wabah. Payung hukumnya tak cukup di level PKPU, harus dibereskan hingga tingkat UU. Karena merevisi UU butuh waktu lama, maka yang paling memungkinkan adalah penerbitan Perppu.
"Ini kan membingungkan. Di satu sisi tetap mau melaksanakan, tapi tidak mau merombak aturan supaya jelas, dan tidak ada masalah dalam pelaksanaan maupun pasca-pilkadanya," kata Hadar. Ia mencontohkan beberapa ketentuan yang tidak bisa hanya diakomodasi dalam PKPU. Misalnya, larangan pertemuan rapat umum secara tatap muka dan menggelar kampanye berbentuk konser virtual. Jika KPU menuangkan ketentuan tersebut dalam PKPU, maka langkah KPU bertentangan dengan UU.
Ada juga usulan agar Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibuka sampai sore untuk menghindari kerumunan massa. Ini pun tak sesuai UU karena regulasi mengatur TPS dibuka dari pukul 07.00 hingga 13.00. Boleh saja memperpanjang waktu pembukaan, asalkan undang-undangnya dibenahi terlebih dahulu.
Ada juga masukan agar PKPU mengatur sanksi keras, bahkan mendiskualifikasi paslon yang melanggar protokol kesehatan. Jika ini dituruti KPU, maka penyelenggara melanggar UU pilkada. Pasalnya, tindakan yang bisa berujung pembatalan paslon, antara lain terbukti melakukan politik uang atau tidak melaporkan dana kampanye. Tidak ada sanksi bagi pelanggar protokol Covid-19.
"Ini gampang sekali digugat ke MA kalau cuma ditaruh di PKPU dan MA akan mengatakan, betul PKPU ini bertentangan dengan UU, karena tidak memberikan sanksi diskualifikasi bagi pelanggar Covid-19," ucap Komisioner KPU periode 2012-2017 tersebut.
Meski pemerintah dan DPR tampak optimistis melaksanakan pemilu tanpa muncul klaster pilkada, temuan di lapangan menunjukkan hal lain. Pada tahapan pendaftaran calon kemarin, Satgas Penanganan Covid-19 mendapat banyak temuan pelanggaran protokol yang dilakukan para bakal pasangan calon.
Para peserta banyak yang membawa massa saat mendaftar ke KPU, hingga membuka peluang terjadi penularan. Bahkan, ada bakal calon yang positif Covid-19 waktu mendaftar. Pelanggaran tersebut sudah diteruskan dan dicatat oleh Kemendagri dan Bawaslu.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengaku dirangkul dalam rencana pelaksanaan pilkada serentak 2020. Namun, Satgas tak dilibatkan dalam pembuatan peraturan secara keseluruhan, termasuk penyusunan PKPU karena itu ranah KPU. "Izin untuk melakukan pilkada, diskusinya dengan Gugus Tugas waktu itu, dengan Mendagri juga. Dalam pelaksanaannya, Satgas tetap mengendalikan semua penanganan Covid-19. Apa pun yang terkait potensi kenaikan kasus, harus kita kendalikan. Prinsipnya, tidak boleh ada kerumunan," tuturnya saat dihubungi Wartawan GATRA, Erlina Fury Santika.
Wiku menegaskan, Satgas tidak menoleransi kerumunan atau pelanggaran protokol kesehatan. Pasalnya, kerumunan menimbulkan potensi penularan. "Semua harus diselenggarakan dengan tidak menimbulkan kerumunan. Rapat besar, kampanye, semua harus tidak boleh menimbulkan kerumunan," ucapnya.
Putri Kartika Utami