Kinerja Pertamina dan Pertagas anjlok di semester I 2020. Pandemic disebut bawa dampak negatif bagi bisnis migas. Masih ada harapan mengais laba di semester II?
Pada pertengahan September lalu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, merilis bobrok Pertamina melalui akun YouTube POIN. Komisaris Utama Pertamina ini menyebut, banyak hal yang menjadi masalah di perusahaan negara tersebut. Mulai dari soal Direksi Pertamina yang disebut hobi melobi menteri, memanipulasi gaji, hingga utang Pertamina yang mencapai US$16 miliar.
Menanggapi celotehan Ahok, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, menjelaskan bahwa perusahaan telah melakukan inovasi dan terobosan di semua lini bisnis. Di sektor hulu, Pertamina melakukan pengoperasian aset-aset, seperti peningkatan produksi melalui optimasi penurunan tekanan di kepala sumur, program pengeboran lebih masif dengan menerapkan teknik yang non-tradisional, serta melaksanakan akselerasi dan sinergi program EOR (Enhanced Oil Recovery).
Di pengolahan, selain membangun RDMP/GRR, Pertamina juga mengembangkan stand-alone biorefinery di Dumai, Plaju, dan Cilacap. Bahkan Juli lalu, telah mampu menghasilkan green energy (Diesel 100) yang pertama di dunia.
Di sisi hilir, Pertamina tetap menerapkan BBM satu harga hingga pelosok, pembangunan Pertashop, penambahan pangkalan LPG dengan menargetkan satu desa minimal satu outlet. Pertamina juga dalam waktu dekan akan menuntaskan digitalisasi SPBU agar dapat memantau distribusi BBM subsidi dan penugasan.
"Semua hal tersebut dijalankan Direksi atas pengawasan dan arahan Dewan Komisaris. Secara khusus, kehadiran Pak Basuki Tjahaja Purnama sebagai Komisaris Utama juga mendorong tata kelola, antara lain pembinaan karier pekerja melalui lelang jabatan dan talent development, memprioritaskan para pekerja usia muda. Transparansi melalui publikasi terbuka data-data pengadaan minyak mentah dan kapal di website Pertamina, juga mengoptimalkan layanan Whistle Blowing System (WBS) dan call center 135, serta menjalankan rapat reguler BoC BoD, meeting mingguan, mengevaluasi dan memutuskan hal-hal strategis," tutur Fajriyah kepada M. Almer Sidqi dari GATRA.
Terkait status utang Pertamina, Fajriyah menjelaskan bahwa untuk menjalankan target dan program perusahaan, Pertamina membutuhkan pendanaan baik dari dana internal perusahaan maupun eksternal. "Tentu saja hal ini dilakukan secara prudent dan profesional. Dari sisi besaran rasio, misalnya debt to EBITDA dan debt to equity tetap kita jaga, tetap diupayakan dalam kontrol yang wajar sebagai perusahaan yang sehat. Aspek keuangan ini juga dimonitor oleh Dewan Komisaris dan Kementrian BUMN sebagai pemegang saham. Begitu pula mekanisme yang dilakukan tetap mengacu pada regulasi yang ada," ujarnya.
Kendati sempat mengalami rugi Rp11,23 triliun pada semester I 2020, Pertamina yakin kinerja di semester kedua akan membaik menuju normal. Fajriyah menyebut, kondisi yang dialami perusahaan sebagai triple shock, yaitu penurunan harga minyak mentah dunia, penurunan konsumsi BBM di dalam negeri, dan pergerakan nilai tukar dolar terhadap rupiah yang menyebabkan selisih kurs signifikan.
Namun, kinerja Pertamina di semester II mulai menunjukkan perbaikan. Fajriyah mengatakan, perusahaan mulai bergerak mendekati normal. Agar dapat menciptakan kinerja positif, Pertamina melakukan berbagai langkah strategis untuk mendongkrak kinerja pada semester II 2020. Langkah tersebut, antara lain penghematan sampai 30%, melakukan skala prioritas rencana investasi, renegosiasi kontrak existing, serta refinancing untuk mendapatkan biaya bunga yang lebih kompetitif. Pertamina optimistis kinerja akan positif pada 2020.
Hal ini dibuktikan dengan kinerja keuangan Pertamina pada Juli yang menunjukkan tren lebih baik dibandingkan semester I 2020. "Salah satu indikatornya adalah volume penjualan produk yang meningkat 5% dan naik 9% dibanding Juni 2020. Laba bersih pun naik sejak Mei-Juli dengan rata-rata sebesar US$350 miliar setiap bulan. Kerugian makin mengecil, kita harapkan kinerja keuangan akan makin membaik," tutur Fajriyah.
***
Laba anjlok tak hanya dialami Pertamina. Subholding migas lainnya, yakni PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) juga mencatatkan penurunan laba pada semester I 2020. Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan Bursa Efek Indonesia (BEI), laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik induk sebesar US$6,2 miliar atau turun 87,56% dibandingkan periode sama pada 2019, sebesar US$54,4 miliar.
PGN mengungkapkan, kinerja minusnya dipengaruhi kondisi perekonomian yang mengalami triple down effect, yakni dampak pandemi Covid-19, turunnya harga minyak dan gas dunia, serta melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Kondisi ini berpengaruh pada usaha PGN di sektor hulu yang bergantung pada pasar, terutama harga migas serta LNG. Rendahnya harga migas menyebabkan penurunan pendapatan di sektor hulu, sedangkan biaya operasional tidak dapat mengikutinya.
Harga migas juga meleset dari proyeksi pada akhir 2019, berpengaruh pada pendapatan dari upstream dan recoverability aset-aset di hulu PGN yang dikelola PT Saka Energi Indonesia (SEI). Faktor-faktor ini menyebabkan laba konsolidasi yang didistribusikan ke entitas induk pada semester I 2020 hanya sebesar US$6,7 miliar.
"Semoga semester II yang sudah memperlihatkan tren kenaikan, bisa di-maintain dan kondisi Covid-19 bisa dijaga seiring dengan penegakan kedisiplinan oleh pemerintah dalam menghambat laju pertumbuhan Covid-19 yang dampaknya sangat terasa di sisi demand," ujar Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama, kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.
Kendati sempat mencatatkan laba anjlok pada semester lalu, PGAS mulai menunjukkan posisi keuangan PGN terkonsolidasi cukup baik dengan posisi kas dan setara kas per 30 Juni 2020 sebesar US$1,24 miliar. Posisi ini lebih baik dibandingkan dengan posisi per 31 Desember 2019 sebesar US$1,04 miliar.
Pagebluk juga menjadi kendala pengembangan infrastruktur dan layanan gas bumi. Namun, PGN rupanya tetap melaksanakan pembangunan, sehingga pada periode Januari-Juni 2020, PGN mencatat lebih dari 417.000 pelanggan.
Selain itu, PGN juga melakukan inovasi dengan mengintegrasikan jaringan pipa transmisi South Sumatera West Java (SSWJ) dengan jaringan pipa transmisi West Java Area (WJA) milik PT Pertagas. "Integrasi ini akan meningkatkan kapasitas penyaluran gas dari Sumatra ke Jawa Barat sebesar 100-150 MMSCFD," Rachmat menjelaskan.
PGN melalui Pertagas juga sedang melaksanakan pembangunan pipa minyak rokan sepanjang 367 kilometer. Pipa minyak ini ditargetkan dapat mengangkut 265.000 barel minyak per hari dan dapat menekan biaya investasi US$150 miliar atau sekitar Rp2,1 triliun. PGN juga melaksanakan regasifikasi LNG ke 56 lokasi pembangkit listrik PLN untuk mendorong pemerataan akses listrik di berbagai wilayah, serta gasifikasi kilang Pertamina di lima lokasi untuk peningkatan nilai keekonomian dan efisiensi energi kilang Pertamina.
Proyek-proyek tersebut diharapkan optimal dalam efisiensi biaya proyek strategis pemerintah dan meningkatkan kemanfaatan dalam jangka panjang. Menurut Rachmat, inisiasi dan sinergi holding migas demi melaksanakan integrasi jaringan infrastruktur gas bumi juga menjamin penyediaan pasokan gas, efisiensi, serta mempercepat ketahanan energi nasional.
***
Merosotnya laba Pertamina, menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, karena biaya produksi masih tinggi yang membuatnya inefisien. Saat ongkos produksi minyak rata-rata US$35, sedangkan harga minyak turun, Pertamina masih kena beban biaya yang harus ditanggung. Apalagi penetapan harga BBM di Tanah Air berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
Menurut Yusri, masih banyak masalah Pertamina yang belum terungkap ke publik, meski Ahok sempat menguak borok BUMN Migas belum lama ini. Misalnya, potential lose Pertamina Rp6 triliun per tahun jika impor minyak dari AS.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir pada akhir Desember lalu menyebut Pertamina akan mengimpor minyak dari negeri Paman Sam karena lebih murah US$5-6 per barel. Produksi minyak Pertamina per hari 310.000 barel, sedangkan konsumsi BBM nasional 1,5 juta barel per hari. Kapasitas kilang milik Pertamina sekitar 1 juta barel. Artinya, Pertamina harus impor minyak.
"Kalau benar itu, saya percaya kemahalan US$1 saja dari pembelian satu juta barel per hari untuk satu tahun, ada potential lose Pertamina hampir Rp6 triliun," kata Yusri saat dihubungi Wartawan GATRA, Ryan Puspa Bangsa.
Yusri juga menyebut, utang pemerintah kepada Pertamina sekitar US$5 miliar yang tak terbayar, membuat Pertamina berutang demi menutup utang lainnya. "Malah menutup bunga saja kadang-kadang kesulitan dari global bond," ucapnya.
Fitri Kumalasari