Home Politik Lisensi Penceramah Agama

Lisensi Penceramah Agama

Kementerian Agama merencanakan sertifikasi bagi 8.200 juru dakwah. Tujuannya, meningkatkan kompetensi penceramah agar memiliki wawasan keagamaan mendalam dan berlandaskan Pancasila. Rencana yang menuai banyak tentangan dari sejumlah ormas Islam, termasuk MUI.


Rapat Kerja Kementerian Agama dengan Komisi VIII DPR pada Selasa pekan lalu itu, dimanfaatkan Menteri Agama Fachrul Razi untuk meyakinkan para legislator bahwa program yang sedang digelar kementeriannya, yaitu program penceramah bersertifikat bagi para pegiat dakwah, tidak akan menimbulkan dampak sosial di masyarakat.

Sebelumnya, wacana digelarnya program ini dipermasalahkan banyak pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam. Fachrul menegaskan, program ini juga melibatkan MUI, ormas Islam, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI, dan akademisi. 

Tujuannya, kata Fachrul, untuk meningkatkan kompetensi individu berdakwah yang berwawasan keagamaan mendalam dan berlandaskan pada falsafah kebangsaan Indonesia, yakni Pancasila. Alasan ini bisa dipahami saat makin banyak orang mendadak mendaku ulama.

Program ini pun disebut Fachrul terbuka dan bersifat sukarela. Jumlah pegiat dakwah yang disasar menjalani sertifikasi, sebanyak 8.200 orang. "Program ini dilaksanakan selama tiga hari. Ini kami maksudkan untuk Islam. Untuk agama lain, akan disusulkan sebulan kemudian," ujarnya.

Sertifikasi penceramah sendiri akan melalui tiga agenda. Pertama, penilaian dan pengembangan potensi individu. Kedua, fikih dakwah dan skill training berbingkai moderasi beragama (metodologi keislaman, keterampilan dakwah era digital, dan konten moderasi beragama). Ketiga, pemonitoran evaluasi dan rencana tindak lanjut partisipan (pendampingan, uji efektivitas program, dan implementasi lapangan).

Fachrul mengaku, program ini mendapat respons cukup baik dan mencapai titik temu. Kendati program ini menuai banyak kritikan dan penolakan, ia mengatakan bahwa Kemenag membuka lebar pintu komunikasi kepada semua pihak. Ia juga menekankan, ulama yang tak ikut program sertifikasi masih bisa tetap berdakwah.

"Selama kami koordinasi, umumnya dapat kesepahaman. Kalau ada satu atau dua yang menentang, kami tidak menganggap mereka sebagai lawan, tetapi pasti akan kami lakukan pendekatan yang lebih jauh. Kami ingin semua bisa menerima lebih baik, karena tujuannya pun baik, untuk kepentingan umat dan bangsa di masa depan," tutur Fachrul, seperti dilaporkan Wartawan GATRA, Ucha Julistian Mone.

Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, juga menegaskan bahwa program sertifikasi ulama bukan seperti sertifikasi profesi, layaknya sertifikasi dosen dan guru. "Kalau dosen dan guru bersertifikat profesi, maka harus dibayar sesuai standar yang ditetapkan. Sementara penceramah bersertifikat ini sebenarnya kegiatan biasa saja untuk meningkatkan kapasitas penceramah. Setelah mengikuti kegiatan, diberikan sertifikat," katanya dalam keterangan resmi pada Senin, 7 September lalu.

Sertifikasi penceramah, lanjut Kamaruddin, sama seperti program peningkatan kapasitas penyuluh agama dan penghulu yang rutin dilaksanakan Kemenag. Sertifikasi penceramah ini juga berlaku untuk penceramah semua agama. Namun, program ini tak bersifat wajib atau mengikat. Program ini hanya ingin memberikan afirmasi kepada penceramah tentang wawasan agama dan ideologi bangsa.

***

Ketua Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis, menyebut bahwa sertifikasi dengan standardisasi terhadap penceramah, memiliki makna berbeda. Pertama, konotasi sertifikasi bahwa hanya dai bersertifikat yang boleh berceramah. Kedua, sertifikasi biasanya memiliki ikatan dinas. Ketiga, sertifikasi juga menentukan honor para dai. Ketiga hal itu menjadi alasan mengapa sertifikasi penceramah tidak cocok diterapkan di Indonesia.

"Indonesia ini enggak hanya Jakarta. Saya tahu betul daerah pedalaman, terpencil, apalagi di daerah minoritas muslim itu kekurangan ustaz, orang yang berani mengaji, atau berani tampil dari beberapa desa dalam suatu daerah. Misalnya ada 13 desa, ustaz yang siap melaksanakan khotbah Jumat itu hanya enam orang. Jadi, kemampuannya sangat minim," tutur Cholil saat dihubungi Erlina Fury Santika dari GATRA.

Cholil juga mempertanyakan, dengan sertifikasi ini, apakah pemerintah kuat membayar honor para penceramah? Sebab di negara lain, penceramah yang disertifikasi itu dibayar oleh pemerintah. "Kami berpikir sertifikasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, yang bisa dilakukan adalah standardisasi dai," ucapnya.

Berbeda dengan sertifikasi, standardisasi penceramah lebih fokus terhadap peningkatan kompetensi penceramah agar menambah wawasan dan pengetahuan. Standardisasi penceramah sendiri, kata Cholil, sudah dilakukan oleh MUI sejak tahun lalu. Program tersebut diresmikan oleh Ketua Umum MUI, yang saat itu masih dijabat oleh Ma"ruf Amin.

Awalnya, program itu dimulai saat Menteri Agama, Lukman Hakim, menyerahkan 200 nama pendakwah untuk disertifikasi ke MUI. Namun, MUI tak setuju. Alhasil, program tersebut disepakati dengan standardisasi dan masih berjalan hingga saat ini. 

Cholil menjelaskan, standardisasi penceramah baiknya memang dilakukan oleh ormas Islam saja. Ormas, menurutnya, lebih bisa menilai bagaimana penceramah menjalani kepatuhan atau kesesuaian syariah. "Kalau sertifikasi atau standardisasi dilakukan pemerintah untuk orang umum, kan nanti bisa menjadi dai pemerintah boleh, dai bukan pemerintah enggak boleh. Oleh karena itu, kepatuhan dan kesesuaian syariat diserahkan dan dilakukan oleh ormas keagamaan saja," ujar kiai yang juga berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) ini.

Jika nantinya ditemukan penceramah yang kurang lancar membaca Al-Qur"an atau salah tafsir dalam berdakwah, bisa tidak diperbolehkan berdakwah. Fenomena itu beberapa kali pernah terjadi, terlebih ustaz-ustaz yang manggung melalui platform media sosial. Dengan standardisasi itu, Cholil menilai bahwa masyarakat bisa menentukan penceramahnya. "Dengan standardisasi, maka otomatis masyarakat lebih selektif memilih penceramah," katanya.

Jika pemerintah bersikukuh menjalankan program sertifikasi penceramah, Cholil menyarankan hal tersebut dilakukan di internal Kemenag atau penyuluh saja. Adapun penceramah dari luar bisa diserahkan kepada ormas seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah.

Saat ini, terdapat lebih dari 60 ormas Islam yang tergabung di dalam MUI dan menyatakan siap menjaga keutuhan NKRI melalui jalur dakwah. Cholil menegaskan, NKRI sebagai harga final. Siapa pun yang melawan harus diproses hukum. "Mau ulama, penceramah, gembel, siapa pun warga negara yang menolak Pancasila, NKRI, harus ditegakkan hukumnya, enggak ada lagi toleransi," ucapnya.

Kepala Bidang Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, mengatakan bahwa sertifikasi penceramah oleh Kemenag bagus dilakukan untuk para penceramah berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), seperti penyuluh agama, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), serta pejabat Kemenag di berbagai tingkatan. Malah kualitasnya perlu ditingkatkan.

"Kalau untuk penceramah dari ormas maupun penceramah freelance, saya kira tidak usah karena membatasi, apalagi pakai sertifikat segala. Kecuali mereka mau diangkat jadi ASN dan dapat gaji," kata Dadang kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.

Menurut Dadang, penceramah dari ormas maupun penceramah freelance melakukannya karena panggilan agama, menyampaikan pengetahuannya kepada orang lain sebagai perintah agama. Adapun sertifikasi penceramah tidak cukup menjamin umat bisa langsung tercerahkan pengetahuan agamanya.

"Saya khawatir, justru akan mempersulit para penceramah yang tidak berserifikat. Kemampuan penceramah hanya diakui oleh masyarakat yang memakainya. Kalau ada konsekuensi dari sertifikasi itu, mungkin para penceramah akan ikut sertifikasi," ujar Dadang.

Muhammadiyah sendiri, melalui Majelis Tabligh Muhammadiyah, fokus dalam peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga profesional. Kemudian melakukan penelitian dan pengembangan bidang tablig serta dakwah khusus. Selain itu, memberikan masukan kepada Pimpinan Persyarikatan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan bidang tablig dan dakwah khusus.

"Kalau ulama dengan penceramah agama berbeda. Kalau ulama, titel yang diberikan oleh masyarakat karena ilmu agamanya yang dalam, tapi kalau penceramah agama adalah bisa siapa saja menyampaikan ajaran agama yang dia ketahui, karena perintah agama harus saling menasihati," tutur Dadang.

Fitri Kumalasari