Home Laporan Khusus Kasus Melebar Ekonomi Ambyar

Kasus Melebar Ekonomi Ambyar

Upaya mengatasi penyebaran pandemi Cavid-19 di Indonesia tak efektif. Jumlah enderita malah tembus 200.000 dan terus bertambah, sementara perekonomian tetap tumbang. Presiden menegaskan prioritas aspek kesehatan. Buah salah langkah sejak awal penanganan.


Bagaikan jauh panggang dari api. Harapannya, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia ditekan sambil mendongkrak kondisi perekonomian. Namun kenyataannya, kasus Covid-19 malah terus melonjak sementara keadaan ekonomi tak kunjung membaik. Kebijakan melakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak Juni lalu yang keadaannya ibarat menginjak rem dan gas bersamaan. Hasilnya, mobil tidak bisa melaju, hanya meraung-raung saja.

Situasi seperti ini mulai disadari oleh Presiden Joko Widodo. Dalam rapat kabinet di Kompleks Istana Negara, Senin lalu, Jokowi meminta para menteri untuk memprioritaskan aspek kesehatan dalam penanganan Covid-19. "Jangan sampai kita (kesampingkan) urusan kesehatan. Urusan Covid-19 belum tertangani dengan baik, tapi kita sudah menstarter, restart di bidang ekonomi. Ini juga sangat berbahaya," kata Jokowi.

Presiden Joko Widodo menyatakan, kecepatan pemulihan ekonomi masih sangat bergantung pada upaya penanganan virus corona di bidang kesehatan. Maka, Presiden meminta Menteri Kesehatan membuat desain perencanaan tes virus corona yang komprehensif.

Jokowi menyebut penanganan pandemi virus corona harus menjadi fokus pemerintah, karena saat ini justru muncul tiga klaster baru penularan virus. Klaster tersebut meliputi klaster kantor, klaster keluarga, serta klaster pilkada. "Justru di situ harus hati-hati. Kita lupa kalau di rumah dan kantor harus mengikuti protokol kesehatan," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Erick Thohir, membantah apabila pemerintah lebih memprioritaskan ekonomi alih-alih kesehatan di tengah pandemi Covid-19. "Kalau kita lihat programnya juga jelas. Satu Indonesia Sehat. Kedua Indonesia Bekerja. Ketiga Indonesia Tumbuh. Jadi bukan Indonesia Tumbuh dulu nomor satu," ujar Erick dalam konferensi pers secara virtual, Kamis pekan lalu.

Erick memaparkan, untuk program Indonesia Sehat, KPCPEN sangat serius tidak hanya dari sisi pengobatan hingga testing, melainkan juga berupaya agar masyarakat mengikuti protokol Covid-19. Akan tetapi, Menteri BUMN itu tidak memungkiri kalau vaksin menjadi salah satu prioritas utama dalam waktu dekat.

Ekonom senior Faisal Basri menilai, pemerintah terlampau mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini. Kecenderungan itu dilihat Faisal dari Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang KPCPEN, di mana unsur kesehatan di dalamnya hanya satu, yakni Kementerian Kesehatan. Selebihnya ekonomi dan politik pertahanan.

Melihat struktur pada KPCPEN tersebut, katanya, terlihat Indonesia hanya lebih condong untuk memulihkan perekonomian saja. Padahal, menurut Faisal, apabila kasus penularan Covid-19 turun, maka otomatis pertumbuhan ekonomi akan naik. "Kita harus kendalikan penularan kasus dulu, baru ekonomi bisa naik. Kalau kasus sudah turun, otomatis pertumbuhan ekonomi tanpa disuruh pun akan naik," kata Faisal saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI.

Senada dengan Faisal, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini juga menilai, pemerintah sudah salah langkah sejak awal. Akibatnya, virus SARS-CoV-2 ini justru tambah merajalela. Parahnya lagi, perekonomian nasional ikut tumbang, seiring dengan terus meningkatnya jumlah kasus Covid-19.

Seharusnya, kata Didik, pada saat kasus positif baru ditemukan di Indonesia pada Maret lalu, pemerintah bisa langsung mengambil keputusan untuk menutup seluruh wilayah Nusantara atau melakukan lockdown. Atau paling lambat, penutupan wilayah seharusnya dilakukan pada bulan April. Karena dua bulan tersebut adalah waktu emas atau golden time bagi pemerintah untuk meminimalkan penyebaran virus sekaligus menyelamatkan kondisi perekonomian nasional. "Tapi pemerintah tidak mau. Dengan alasan ekonomi. Makanya, jadinya seperti ini. Jadi ambyar sekarang negara," kata Didik kepada Qonita Azzahra dari Gatra, Senin lalu.

Adapun untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Didik menilai pemerintah seharusnya menangani krisis kesehatan yang disebabkan oleh wabah terlebih dulu. Seperti yang sebelumnya juga pernah dikatakan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya. Namun, pada kenyataannya, pemerintah hanya fokus kepada pemulihan ekonomi saja, tanpa benar-benar memperhatikan penanganan wabah.

Hal itu tercermin dari masih rendahnya penyerapan anggaran kesehatan. Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dari Rp87,55 triliun pagu anggaran penanganan kesehatan, hingga 2 September 2020 masih terserap sebanyak Rp15,14 triliun atau sebesar 17,2%.

Didik menilai, dibandingkan dengan pagu anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian di dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN), anggaran untuk penanganan kesehatan jauh lebih kecil nilainya. Di mana dari pagu Rp695,2 triliun, alokasi untuk anggaran kesehatan hanya sebesar Rp87,55 triliun, alokasi untuk bantuan sosial sebesar Rp203,9 triliun, dan sisanya merupakan anggaran untuk pemulihan ekonomi.

Belum lagi, pendiri Indef itu juga merasa pemerintah terlalu ugal-ugalan dalam mengelola utang. Sebab, untuk menangani Covid-19, pemerintah bakal berutang hingga Rp1.439 triliun. Padahal, anggaran kesehatan hanya sebesar Rp87,55 triliun di tahun 2020 dan Rp25 triliun untuk tahun anggaran (TA) 2021 nanti. "Utang Rp1.439 triliun itu utang ugal-ugalan. Itu terlalu banyak,” dia menegaskan.

Padahal, di saat krisis seperti ini, pemerintah seharusnya bisa lebih efisien dalam mengelola anggaran. Bahkan, menurutnya, pemerintah bisa mengalihkan sisa anggaran yang terhitung masih sangat besar untuk penanganan Covid-19, sehingga pemerintah tidak perlu utang untuk mengatasi kondisi multikrisis ini.

Atau jika tidak, pemerintah bisa mendapatkan tambahan anggaran penanganan wabah melalui pemotongan anggaran dari setiap kementerian, setidaknya 30%-50% besarnya. "Itu harus terpotong, diambil, kemudian dialihkan untuk penanganan Covid-19," Didik menandaskan.

***

Pakar epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono berpandangan, kegalauan atau kegamangan dalam pengambilan kebijakan tentang penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah menjadi persoalan besar. Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, khususnya di awal pandemi berlangsung, membuat banyak masyarakat bingung dan membuat penanganan pandemi pun tidak maksimal.

Dirinya mencontohkan berbagai perubahan patron penanganan Covid-19 yang pada awal pandemi, serta pengambilan kebijakan pembatasan menjadi catatan kritis penanganan pandemi. Perubahan struktur organisasi penanganan pandemi Covid-19, menurut Tri, merupakan hal yang salah dan menjadi tanda tanya. 

Walaupun tugas dan tupoksi dari Gugus Tugas menjadi satgas tidak berubah, masyarakat bisa dibuat bingung karena dengan posisi organisasi satgas yang berada di bawah Kemenko Perekonomian, seolah-olah menimbulkan kesan bahwa penanggulangan Covid-19 berada di bawah pemulihan ekonomi. "Sebenarnya seharusnya penanganan biar di posisi semula saja, BNPB dan Gugus Tugas. Karena saat ini secara organisasi membingungkan," kata Tri kepada Ucha Julistian Mone dari Gatra.

Tri juga mengatakan, karena penanganan yang lemah dan kurang konsisten, masyarakat menilai selama enam bulan ke belakang tidak ada perubahan yang berarti dari penanganan kasus di dalam negeri. Sehingga, saat ini masyarakat sudah bosan, maka akhirnya masyarakat abai dan tidak lagi peduli dengan protokol kesehatan. 

Adapun epidemolog Pandu Riono menilai, tembusnya angka 200.000 jumlah positif Covid-19 di Indonesia merupakan konsekuensi dari ketidakseriusan Indonesia dalam mengatasi pandemi. Jika memang benar-benar mau mengatasi pandemi, seharusnya tidak perlu memikirkan ekonomi terlebih dahulu. 

"Ekonomi enggak pernah mati kok. Jangan mengharapkan pertumbuhan ekonomi, ekonomi zero saja sudah cukup bagus. Semuanya yang berkuasa itu kan punya bisnis-bisnis yang enggak mau rugi. Jadi ada konflik kepentingan," kata Pandu kepada Erlina Fury Santika dari Gatra.

Indonesia beberapa kali melaporkan lebih dari 3.000 kasus per hari dalam sepekan terakhir, yang merupakan rekor tertinggi sejak pandemi melanda. Persentase kasus positif (posivity rate) Indonesia meningkat menjadi 15,43% pada Agustus atau tiga kali lipat dari standar ideal WHO, yakni 5%. Dengan populasi sekitar 267 juta orang, kapasitas tes di Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

Indonesia idealnya melakukan 267.700 tes per pekan, namun baru bisa mencapai 125.434 tes (46,8% dari standar WHO) pada pekan terakhir Agustus. Selain itu, penelusuran kontak dari kasus-kasus positif yang ditemukan juga masih terbatas. WHO merekomendasikan penelusuran kontak terhadap 10 hingga 30 orang per kasus positif, namun Indonesia baru mencapai empat hingga lima orang per kasus positif.

Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengakui bahwa upaya mencegah penularan Covid-19 belum berjalan konsisten selama enam bulan Indonesia dilanda pandemi ini. Padahal, menurut dia, Indonesia pernah mengendalikan penyebaran kasus Covid-19 dengan cukup baik pada beberapa bulan setelah pandemi.

"Ini semua artinya kita sebenarnya belum berhasil menekan dan mencegah penularan secara konsisten secara nasional dan ini menjadi tugas kita semua baik pemerintah dan seluruh masyarakat," kata Wiku dalam konferensi pers, Kamis sore pekan lalu.

Hidayat Adhiningrat P.

Ringkasan Data Covid-19

Jumlah orang diperiksa: 1.434.294

Konfirmasi COVID-19: 200.035

Sembuh: 142,958

Meninggal: 8.230 (CFR 4,1%)

Negatif COVID-19: 1.234.259

Sumber: Kemenkes data per 8 September 2020)

 

Rasio Positif di Indonesia

Satu pekan terakhir: 18,6%

 

Rasio Positif Bulanan:

Mei: 10,81%

Juni: 11,79%

Juli: 13,36%

Agustus:15,42%

 

Keadaan Perekonomian saat Pandemi

- Indeks harga konsumen (IHK) dalam basis tahunan, per akhir Agustus 2020, hanya meningkat sebesar 1,32% (terendah dalam dua dekade terakhir)

- Deflasi bulan Juli sebesar 0,1% (mom), inflasi secara tahunan berada di angka 1,54% (yoy). 

- Deflasi bulan Agustus tercatat sebesar 0,05% (mom) dan inflasi tahunan di angka 1,32% (yoy).

- survei pemantauan harga (SPH) terbaru, BI memperkirakan deflasi sebesar 0,01% (month on month/mom) masih akan terjadi bulan ini.

Sumber: BPS dan pemberitaan, diolah