Virus corona masih menjangkiti dunia. Di beberapa negara, dengan upaya serius dan disiplin warga berhasil menekan penyebarannya. Dampak perekonomian, dimanapun memang tak bisa dihindarkan.
Tengoklah Da Nang, kota pelabuhan dengan pantai pasir yang indah di jantung Vietnam. Kota ini baru saja memperagakan bagaimana melumpuhkan virus SARS CoV2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) alias Covid-19 hanya dalam hitungan pekan.
Kota itu sedang bergembira. Lebih dari 50.000 wisatawan domestik melepas penat setelah bebas dari karantina gara-gara Covid-19, saat alarm berbunyi pada 25 Juli 2020. Ditemukan 15 orang terinfeksi Covid-19. Padahal sudah tiga bulan tidak terjadi penularan lokal di negara itu.
Kota itu dipenuhi wisatawan lokal. Puluhan ribu orang yang baru saja menikmati suasana normal baru memenuhi hotel-hotel dan restoran. Semua terkejut dan berhamburan pulang meninggalkan kota. Bandara penuh sesak.
Hanya empat hari setelah ditemukan kasus 15 orang terinfeksi, kota dengan penduduk sebanyak 1,134 juta orang ditutup. Pemerintah menetapkan lockdown sejak 29 Juli selama 14 hari. Hotel, restoran, toko tutup pintu. Seluruh fasilitas transportasi dihentikan. Maskapai penerbangan tidak melayani penerbangan ke kota itu.
Demikian juga kereta api dan angkutan darat lainnya. Protokol kesehatan diterapkan secara disiplin. Pemerintah juga menerapkan kebijakan jaga jarak dan penggunaan masker secara ketat. Yang bandel mendapat sanksi.
Tindakan cepat dan tegas berhasil menekan penyebaran virus ini. Praktis hanya hanya hitungan pekan, penyebaran virus ini berhasil direm. Pemerintah mencatat 394 kasus di mana 31 orang di antararanya meninggal di kota itu. Padahal sebelum Da Nang, tidak ada korban tewas karena Covid-19 di Vietnam
Mulai Selasa lalu, Kementrian Perhubungan Vietnam membuka kembali layanan transportasi normal karena sudah tujuh hari berturut-turut tidak ada penularan baru. Penerbangan, kereta api, dan angkutan darat lainnya bisa beroperasi pada level seperti sebelum Covid-19. Langkah ini untuk mendukung pemerintah kota memulihkan ekonomi setempat.
Menurut laman venexpress, pemerintah masih menerapkan aturan setiap penumpang tetap mengenakan masker dan menyertakan medical report serta menjaga jarak antarfisik. Restoran juga sudah bisa berjualan, tapi makan di tempat masih dilarang.
***
Sejak awal pandemi berlangsung, Vietnam dipuji sebagai salah satu negara yang sukses menghadang virus ini, padahal termasuk negara yang berbatasan langsung dengan Cina. Data terakhir, total kasus penularan negara itu hanya 1,049 orang dengan jumlah tewas 35 orang.
Bagamana Vietnam menangani pandemi ini menarik dibicarakan. Ketika Wuhan diamuk jasad renik ini, pemerintah sudah menyiapkan diri. Memasuki Januari 2020, Vietnam membatasi perjalanan, lalu menutup perbatasan dengan Cina dan meningkatkan pemeriksaan kesehatan. Sekolah ditutup dari akhir Januari --baru dibuka pertengahan Mei. Orang-orang yang memasuki negara itu dan mereka yang melakukan kontak dengan kasus yang dikonfirmasi dikirim ke pusat karantina selama 14 hari.
Vietnam tidak melakukan lockdown total seluruh negeri, tetapi mengambil tindakan tegas terhadap klaster penularan yang muncul. Pemerintah juga menerapkan transparansi informasi tentang wabah ini. Dukungan sistem kesehatan yang kuat ikut berperan. Langkah pencegahan secara lokal ini berhasil juga berkat kesadaran yang kuat warganya.
Seperti kesadaran warga menggunakan masker. Joshua Kurlantzick pakar senior di the Council of Foreign Relations, lembaga think tank Amerika Serikat, memuji negara itu dan menyebutnya pantas menjadi panutan warga dunia. Karena 94% warga Vietnam disiplin menggunakan masker. Yang tidak patuh siap-siap membayar denda yang sangat besar.
Tetangga Vietnam seperti Kamboja dan Laos juga menunjukkan angka penularan yang rendah. Kamboja melaporkan 274 kasus dan tidak ada satu pun yang tewas. Laos dan Myanmar masing-masing hanya memiliki 22 dan 1518 kasus yang dikonfirmasi.
"Negara berkembang lainnya mungkin dapat meniru upaya dari negara-negara daratan Asia Tenggara untuk memastikan bahwa karantina dan pengobatan Covid-19 tetap gratis atau sangat murah, yang merupakan cara terbaik untuk membuat orang menjalani tes, mengisolasi, dan menjalani perawatan," kata Joshua Kurlantzick.
***
Pekan lalu, tepatnya 2 September, Kementerian Kesehatan Thailand mengumumkan sudah 100 hari tanpa pasien baru. Terhitung sejak 26 Mei 2020. Dengan demikian, Thailand masuk dalam kelompok elite bersama Taiwan dan Selandia Baru, yang berhasil melewati 100 hari tanpa infeksi baru (meskipun kemudian muncul infeksi baru di Selandia Baru).
Prestasi 100 hari Thailand menjadi lebih mengesankan mengingat itu adalah negara pertama di luar Cina yang mendeteksi virus corona, pada 13 Januari 2020. Negara tersebut sejauh ini telah melaporkan 3.425 kasus dan 58 kematian, dengan hanya 93 pasien yang masih dirawat di rumah sakit.
Pemerintah memberlakukan lockdown nasional pada Maret. Kemudian melonggarkan beberapa batasan untuk memungkinkan bisnis dibuka kembali. Disiplin warganya untuk selalu memakai masker, didukung sistem kesehatan nasional, dan sistem medis yang kuat menjadi faktor penentu sukses Thailand. Warga yang merasa terinfeksi mudah melakukan tes dan mendapat perawatan.
Penutupan perbatasan selama berbulan-bulan menimbulkan kerugian besar bagi negara yang 20 persen ekonominya datang dari pariwisata. Meskipun penduduk lokal didorong untuk bepergian dan berbelanja di dalam negeri, tidak dapat mengkompensasi hilangnya pendapatan dari wisatawan internasional. Pada 2019, Thailand menerima hampir 40 juta wisatawan asing, dan hingga September tahun ini kurang dari 7 juta yang masuk ke negara itu.
Menyusul pengumuman bebas 100 hari itu, kalangan pengusaha dan industri mendesak pemerintah membuka pintu perbatasan. Pemerintah pada prinsipnya setuju membuka kembali industri pariwisata, apalagi menjelang musim dingin di belahan bumi utara. Namun belum merilis rincian tentang bagaimana mereka akan melakukannya dengan aman.
Pejabat Thailand mewaspadai kemungkinan munculnya kembali infeksi. Seperti di Selandia Baru dan Vietnam. “Kami berhasil membendung virus, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk fokus pada ekonomi - semakin lama kami menutup perbatasan, semakin banyak kerusakan yang ditimbulkannya,” kata Somprawin Manprasert, kepala ekonom di Bank of Ayudhya Pcl di Bangkok kepada Bloomberg.
Pilar ekonomi Thailand lainnya, yakni manufaktur, juga terpukul oleh pandemi. Kementerian Keuangan memprediksi ekonomi Thailand akan menyusut 8,5% tahun ini, kontraksi terburuk sepanjang sejarah.
***
Selandia Baru menerapkan kebijakan membatasi masuknya orang asing sejak 19 Maret. Sejak saat itu, Selandia Baru menutup perbatasannya, padahal setiap tahun mendapat kunjungan sekitar 4 juta orang, atau hampir sebanyak penduduknya sendiri yang tercatat sekitar 5 juta orang.
Pada 23 Maret, Perdana Menteri Jacinda Ardern memberi waktu 48 jam kepada negara itu untuk mempersiapkan lockdown.
Tindakan itu berhasil. Lockdown diterapkan sangat ketat sampai-sampai berenang di pantai dan berburu di semak belukar dilarang. Setiap orang harus tinggal di rumah selama empat minggu kecuali mereka bekerja di pekerjaan penting seperti perawatan kesehatan, atau pergi ke supermarket atau berolahraga, itupun disekitar rumah mereka.
Selama 102 hari, Selandia Baru berhasil tanpa infeksi lokal. Dan kemudian empat kasus terdeteksi di Auckland, kota terbesar negara itu. Keputusan pemerintah tegas, lockdown kembali mulai 12 Agustus. Selama 12 hari. Hingga berita ini ditulis, negara itu masih berjuang membendung penularan yang bersumber dari kasus di Auckland. Selandia Baru telah melaporkan 1.782 kasus dengan 24 kematian.
***
Sementara itu, Pakistan tampaknya sudah mencapai puncak gelombang dan memasuki fase melandai. Jumlah kasus harian menurun, demikian pula tingkat kematian mulai melandai.
Negara Asia Selatan ini mencatat lebih dari 299.000 orang terinfeksi yang mengakibatkan sekitar 6.350 kematian. Selama puncak infeksi, Pakistan juga memberlakukan lockdown.
Karantina ini kemudian dibuka secara gradual. Restoran dan taman bermain dibuka kembali, dan orang-orang berbondong-bondong kembali ke teater dan mal. Sekolah dan universitas akan dibuka kembali pada bulan September. Karantina hanya dilakukan pada gedung atau lingkungan yang terinfeksi.
Banyak hipotesis diajukan untuk menjelaskan penurunan grafik penularan. Seperti faktor cuaca, populasi muda dan klaim kekebalan alami. Namun semua hipotesis itu belum ada yang terbukti.
Pakistan mungkin perlu tetap waspada dan belajar dari Vietnam dan Selandia baru. Karena virus ini hanya perlu waktu sejenak istirahat sebelum membuat kekacauan baru.
Rosyid