Kejaksaan Agung mulai melibatkan instansi lain dalam pengusutan kasus Jaksa Pinangki dalam perkara Djoko Tjandra. Politisi Nasdem hingga adik kandung Pinangki ikut terseret dalam pusaran kasus. Siapa menyusul?
Berbalut rompi merah jambu, Pinangki Sirna Malasari sampai di Gedung Bundar Kejaksaan Agung sekitar pukul 09.00 pada Selasa, 8 September lalu. Jaksa yang diduga terlibat aktif dalam pengurusan berkas fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA) ini kemudian menyeret beberapa nama, seperti Andi Irfan Jaya, politisi Partai Nasdem, hingga adik kandungnya, Pungki Primarini.
Gelar perkara yang melibatkan Kementerian Koordinator Hukum dan HAM, Bareskrim Mabes Polri, Komisi Kejaksaan, hingga KPK ini, berlangsung tiga jam. Merekonstruksi bagaimana peran Pinangki dalam kasus Djoko Tjandra, utamanya dalam hal merekayasa fatwa bebas dari MA.
Setelah gelar perkara, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Ali Mukartono, menjelaskan bahwa kasus Jaksa Pinangki sudah mencapai 90%. Meski hampir rampung, Ali tetap mengunci bibirnya rapat-rapat soal materi gelar perkara itu. "Saya tidak bisa sampaikan materi apa yang diekspos dan sebagainya. Nanti itu akan bermuara ke pengadilan," ujarnya kepada wartawan, Selasa lalu.
Ali juga tidak mau gegabah menjadikan pihak MA sebagai saksi dalam kasus ini. Menurutnya, terkait kasus Pinangki, tidak ada kewajiban untuk menelusuri hingga ke MA. "Bisa iya, bisa tidak. Nanti kita tunggu perkembangannya. Sampai sekarang belum sampai ke sana (MA)," ujarnya.
Ibarat ombak besar, persoalan hukum yang melibatkan Pinangki ini diprediksi menyeret bannyak pihak. Pada Rabu, 2 September lalu, Korps Adhyaksa sudah melakukan penahanan Andi Irfan Jaya, yang diduga bersama Pinangki turut meyakinkan Djoko Tjandra memberikan sejumlah uang demi fatwa bebas dari MA.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Ardiansyah, komunikasi antara Pinangki dan Djoko Tjandra memang sering terjadi. Biasanya, komunikasi ini hanya terjadi satu arah, dari Djoko melalui perantara hingga sampai ke Pinangki. Ia memerinci, orang yang pertama kali mempertemukan Djoko dengan Pinangki, yaitu seseorang bernama Rahmat. "Ketiganya saling kenal," ucapnya.
Rahmat hingga saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka karena memang pemeriksaannya masih terus berjalan. Febrie juga belum bisa memastikan Rahmat menerima jatah duit dari Djoko atas pengurusan fatwa MA.
Nama lain yang juga mencuat, yaitu adik ipar Pinangki yang bernama Hariadi. Peran Hariadi ini sebenarnya cukup sentral dalam kasus ini. Bagaimana tidak, aliran duit yang berasal dari Djoko harus melewatinya terlebih dahulu. Terakhir kali, ia dikabarkan telah meninggal dunia ketika kasus ini mulai diselisik. Meski demikian, penyidik belum terlalu percaya dengan keterangan ini. "Penyidik kan memegang alat bukti lain, saksi, dokumen, transfer. Jadi jarang juga betul-betul dipegang. Tersangka kan nyebut saja," kata Febrie.
Bedasarkan informasi yang dihimpun GATRA, uang Djoko untuk pengurusan fatwa MA ini, setelah melewati Hariadi kemudian berhenti di tangan Andi Irfan. Menurut Febrie, uang ini sebagai tanda jadi dari Djoko untuk Pinangki dalam mengurus fatwa. Kolaborasi antara Pinangki dan Andi ini diketahui untuk meyakinkan Djoko mengeluarkan sejumlah uang. Mereka berdua diduga menjual nama beberapa hakim yang akan menyetujui fatwa bebas dari MA. Namun sampai saat ini, Febrie belum menemukan benang merah yang bisa menyasar hakim di MA.
Untuk mengurus fatwa MA, Djoko sudah mencairkan uang sekitar Rp7,4 miliar. Menurut Febrie, angkanya bahkan bisa lebih tinggi jika dilihat dari proposal yang diajukan Pinangki. Banyak sekali hal yang harus "diselesaikan". Uang ini kemudian disetorkan, salah satunya kepada rekening milik adik kandung Pinangki, Pungki Primarini. Pungki sudah dua kali diperiksa oleh penyidik kejaksaan. Meski demikian, hingga saat ini namanya masih berstatus sebagai saksi.
Menurut Febrie, uang dari Djoko untuk pengurusan fatwa MA ini sudah mengalir ke beberapa pihak selain Pinangki, termasuk pengacara Djoko, Anita Kolopaking, yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka. Anita diduga telah menerima kucuran dana sebesar Rp500 juta.
***
Selain menyasar kalangan di seputaran Pinangki, persoalan hukum ini juga mulai mengarah pada mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel), Jan Samuel Maringka. Saat Djoko dalam pelarian, Jan pernah berkomunikasi dengannya melalui sambungan telepon. Dugaan suap pun mulai mengarah ke Jan, terlebih ketika adanya pergantian jabatan di lingkungan Kejaksaan Agung, yang kemudian menyingkirkan Jan dari jabatan Jamintel bulan lalu.
Febrie mengatakan, kasus Pinangki bukan menjadi alasan mutasi bagi mantan Jamintel itu. Menurut hasil penyidikan, belum ditemukan sangkut paut antara komunikasi Jan-Djoko dan fatwa bebas MA yang dijual Pinangki. Selain Jamintel, Jaksa Agung juga menggeser Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum (Jampidum), Sunarta, dan Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Jamwas), M. Yusni.
GATRA mencoba mendapatkan informasi kasus ini dengan menghubungi Pinangki melalui kuasa hukumnya, Jefrie Moses. Namun sayangnya, Jefrie berkali-kali memutus panggilan telepon dan tidak membalas pesan singkat yang GATRA kirimkan.
Di sisi lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat, rumitnya kasus yang membelit Pinangki ini sebenarnya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mengambil alih. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan bahwa selain rumit, kasus ini juga ditangani dengan sangat lambat oleh Kejaksaan Agung. Lalu, pelaku dugaan tindak pidana korupsi ini juga merupakan salah satu jaksa di lingkungan Korps Adhyaksa.
Selain itu, kasus Pinangki ini juga memiliki relevansi dengan lembaga yudikatif lainnya, yakni MA. Konteks ini menjadi relevan dengan Pasal 11 dalam UU KPK. "Bagian ini juga relevan jika dikaitkan dengan historis pembentukan KPK yang dimandatkan untuk membenahi sektor peradilan dari praktik koruptif," ujar Kurnia kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.
Kurnia juga mengingatkan agar jangan sampai ada pihak lain yang coba melindungi Pinangki dari jerat hukum. Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi dengan gamblang menjelaskan hukuman bagi pelaku obstruction of justice. Selain itu, ICW juga mendesak aparat penegak hukum mengungkap secara utuh persoalan ini hingga jejaring Pinangki di MA. "Entah itu mempersoalkan perintah penahanan yang tidak ada di putusan, atau putusan MK soal jaksa tidak boleh PK, itu kan apa yang menjadi dasar, menjadi pertimbangan mengajukan fatwa," tuturnya.
Terkait harta kekayaan Pinangki yang jumlahnya tidak wajar, mencapai Rp6,8 miliar, Kurnia mendesak agar perihal itu juga ditelusuri penyidik. Bukan lagi hanya berputar pada perbandingan gaji yang sebenarnya sudah tidak penting lagi. "Jadi, tidak cukup formalitas ketika LHKPN berbanding terbalik dengan pendapatan kemudian di TPPU. Kebenaran materi yang perlu digali," ucapnya.
Aditya Kirana