Home Laporan Khusus OJK DIgugat Serikat Pekerja AJB Bumiputera

OJK DIgugat Serikat Pekerja AJB Bumiputera

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) digugat Serikat Pekerja (SP) Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi (NIBA) AJB Bumiputera 1912. OJK dinilai lalai karena telah membiarkan kondisi Bumiputera yang kepayahan memenuhi kewajibannya terhadap para pemegang polis. Kelalaian OJK disebut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat SP AJB Bumiputera 1912 Risky Yudha masuk sebagai tindakan maladministrasi.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) digugat Serikat Pekerja (SP) Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi (NIBA) AJB Bumiputera 1912. OJK dinilai lalai karena telah membiarkan kondisi Bumiputera yang kepayahan memenuhi kewajibannya terhadap para pemegang polis. Kelalaian OJK, disebut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat SP AJB Bumiputera 1912, Risky Yudha, masuk sebagai tindakan maladministrasi.

"OJK kami anggap telah lalai serta melakukan pembiaran terhadap kondisi AJB Bumiputera 1912 yang sedang mengalami permasalahan dan berdampak kerugian pada konsumen dan masyarakat Indonesia, termasuk kategori maladministrasi," ujar Risky dalam keterangan resminya, pada 2 September lalu.

Bentuk maladministrasi OJK terhadap AJB Bumiputera, Risky melanjutkan, berupa penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, dan pengabaian kewajiban hukum. OJK juga dinilai tidak transparan, melakukan kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, tidak memberikan informasi jelas, serta melakukan tindakan sewenang-wenang, juga ketidakpastian hukum dan salah pengelolaan. 

Tindakan OJK ini mengakibatkan kerugian materiil dan immateriial selama hampir tiga tahun sejak 2017. "Kerugian nyata diderita oleh konsumen pemegang polis, pekerja, dan bahkan AJB Bumiputera 1912 sebagai entitas yang sudah turun kepercayaan di masyarakat, bahkan di industri," ia menambahkan.

Tak hanya digugat oleh SP NIBA AJB Bumiputera, OJK juga didesak oleh Asosiasi Perusahaan pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (Apparindo) untuk segera membentuk Lembaga Penjaminan Polis Asuransi (LPPA). Menurut anggota dewan kehormatan Apparindo Kapler Marpaung, pembentukan LPPA merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Sementara itu, OJK sudah telat beberapa tahun membentuk LPPA. Dalam UU Perasuransian disebut LPPA paling lambat dibentuk 3 tahun setelah beleid tersebut diterbitkan. Namun, hingga kini LPPA tak kunjung dibentuk. Padahal, sering terjadi kasus gagal bayar dalam industri asuransi.

Kiprah OJK juga sempat dibahas di DPR. Badan Legislasi (Baleg) DPR pada akhir Agustus lalu sempat membahas rencana pengembalian kewenangan pengawasan perbankan dari OJK kepada Bank Indonesia (BI). Rencana tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI Pasal 34.

"Terjadi pengalihan kewenangan pengawasan yang bank yang sebelumnya dilakukan oleh OJK maka sesuai dengan RUU ini dialihkan tetap menjadi kewenangan BI. Sehingga, Pasal 34 ayat (1) berbunyi tugas mengawasi bank yang selama ini dilaksanakan oleh OJK dialihkan kepada BI," ujar perwakilan Tim Ahli Baleg dalam rapat pada Senin, 31 Agustus 2020.

Jika nantinya dilakukan proses pengalihan kembali pengawasan bank dari OJK kepada BI, maka akan dilakukan bertahap setelah terpenuhi persyaratannya yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, berbagai aturan pelaksanaan, perangkat hukum, serta lapor ke DPR. "Pengalihan tugas sebagaimana dimaksud dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2023," ia menambahkan.

Kendati demikian, rencana ini pun mendapat kritik dari sejumlah anggota fraksi yang hadir. Anggota DPR dari Fraksi PDI Sturman Panjaitan juga mengusulkan agar Baleg meminta masukan akademisi sebelum mengesahkan revisi aturan tersebut agar kebijakan yang dibuat tidak salah langkah.

"Saya usulkan panggil tokoh-tokoh dan akademisi semua elemen yang paham tentang ekonomi moneter, agar jangan sampai kita salah langkah karena ternyata kita pengusungnya," begitu komentarnya.

Fitri Kumalasari

 

----------g ------------