Home Politik Nafsu Berkuasa Eks Napi Korupsi

Nafsu Berkuasa Eks Napi Korupsi

Pemilihan kepala daerah tahun ini  akan diramaikan sejumlah nama mantan nara pidana korupsi. Kegagalan partai politik melakukan regenerasi. Faktor elektabilitas jadi pemicu banyaknya calon kepala daerah yang pernah dipenjara, maju berlaga di pilkada. Perlu aturan untuk mengebiri syahwat politik mantan koruptor. 


Di surat suara untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Manado, Desember mendatang, sudah hampir pasti akan terpampang wajah Jimmy Rimba Rogi. Mantan Wali Kota Manado yang terjerat kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2005 ini kembali tampil di pentas politik lokal. Satu bulan terakhir, Imba, sapaan akrabnya, memang sedang bergerilya untuk mencari pasangan kandidat, yang bukan hanya untuk menaikkan elektabilitas, tapi juga untuk memenuhi syarat ambang batas di DPRD.

Jika dirunut dari versi lembaga survei dalam beberapa kali sigi, nama Imba masih memiliki elektabilitas yang cukup tinggi. Bahkan hampir menyamai wali kota petahana saat ini. "Sampai saat ini Partai Golkar Manado masih mengusung Pak Imba sebagai calon tunggal, karena survei tertinggi ada pada beliau," ujar Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar, Kota Manado, Yongkie Limen, kepada Gatra.

Dari penelusuran Gatra, di Kota Manado, Partai Golkar saat ini sedang mendekati kader Partai Gerindra, Priscilia Ester Waworuntu, untuk dipasangkan dengan Imba. Selain karena posisi kursi Gerindra di DPRD bisa menutup kekurangan, Priscilia juga merupakan anggota termuda di DPP Gerindra yang juga dikenal dekat dengan sang ketua umum, Prabowo Subianto. "Tapi, tunggu sampai Kamis," kata Yongkie.

Imba memang politisi yang cukup kuat untuk kawasan Sulawesi Utara. Dia sebelumnya pernah mengikuti kontestasi politik di level yang sama 5 tahun lalu, tapi dia terpental karena masalah statusnya sebagai mantan narapidana korupsi. Jika dilihat ke belakang, Imba divonis 5 tahun penjara subsider 5 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor. Tak puas dengan putusan itu, Imba mengajukan kasasi ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat, tapi justru vonisnya bertambah menjadi 7 tahun ditambah denda Rp300 juta subsider 3 bulan penjara. Selain itu, dia juga wajib mengembalikan kerugian negara sebesar Rp64,1 miliar.

"Partai Beringin" di Kota Manado memang seperti tak punya pilihan lain. Begitu juga dengan Partai Gerindra di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan (Sumsel). Salah satu pasangan kandidat yang sudah mendapatkan tiket melaju ke Pilkada OKU adalah Kuryana Azis dan Johan Anuar dari PPP dan Gerindra yang juga merupakan pasangan Bupati dan Wakil Bupati petahana.

Sayangnya, Johan saat ini sedang terlilit persoalan hukum dan sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan pekuburan yang saat ini tengah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi ini diduga diambil dari APBD Kabupaten OKU tahun 2013 dengan total kerugian negara mencapai Rp6 miliar.

Kartika Sandra Desi, Ketua DPD Gerindra Provinsi Sumsel, mengakui bahwa dukungan partainya untuk pasangan ini memang salah satunya dikarenakan belum siapnya kader Gerindra untuk ikut serta di pilkada serentak. "Kader kita belum siap sehingga kita dukung pasangan Kuryana Azis dan Johan Anuar sebagai incumbent," ia mengungkapkan saat dijumpai di Sekretariat DPD Gerindra Sumsel pada Senin, 31 Agustus lalu.

Bagi Cici, begitu dia biasa disapa, Gerindra tetap menghormati proses hukum yang sedang dijalani Johan, yang saat ini sebagai Wakil Bupati OKU. "Memang dia belum ditetapkan bersalah artinya dia dikeluarkan karena belum punya bukti yang cukup," ucapnya.

Tapi, salah satu syarat untuk mencalonkan diri adalah memiliki surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dan surat dari pengadilan. Cici menambahkan, Johan sudah memiliki dua syarat ini. "Kalaupun ada di tengah jalan ada proses hukum yang lain, tetap kita berharap semua proses aman-aman saja termasuk Pak Johan," ia menerangkan.

Tinggi-rendahnya elektabilitas memang memiliki peran penting bagi parpol untuk menjatuhkan pilihannya. Selain Golkar dan Gerindra, kini PKS juga menjatuhkan pilihan kepada pasangan Darmin Sigilipu dan Amdjad Lawasa di Pilkada Poso, Sulawesi Tengah. Ketua Departemen Pemenangan Pemilu Sulawesi DPP PKS, Dwi Triyono., menjelaskan bahwa pihaknya sudah dengan sangat hati-hati dalam menetapkan pasangan calon.

PKS sudah melakukan berbagai konfirmasi, penyaringan, hingga sigi internal. "Pertimbangan kita dapatkan dari teman-teman di daerah  dan dari berbagai macam calon yang ada, dipandang yang paling layak untuk didukung pasangan adalah pasangan tersebut," kata Dwi saat dihubungi Ucha Jalistian Mone dari Gatra pada Sabtu, 29 Agustus lalu.

Kehati-hatian PKS memang berasalan. Sang calon Wakil Wali Kota Poso, Amdjad Lawasa, pernah terlibat dalam kasus tukar guling aset Pemerintah Kabupaten Poso. Meski demikian, statusnya hingga saat ini masih gelap. "Yang kita kedepankan asas praduga tak bersalah, kita tidak boleh membiarkan masyarakat itu membangun persepsi yang tidak tepat. Harus dibedakan antara isu, rumor, tersangka, terdakwa," ia menjelaskan.

Dwi juga beralasan bahwa pilkada sebenarnya menjadi hajat seluruh kekuatan politik yang ada. Untuk itu, ada aturan main yang juga sudah disepakati. Saat ini, aturannya adalah calon kepala daerah tidak boleh tersangkut perkara dengan ancaman lima tahun, dan atau sudah melewati masa jeda lima tahun pasca-hukuman. "Ini sudah jadi regulasi nasional. tidak mungkin paslon yang tersangkut pidana bisa maju, dan ini selaras dengan semangat kita," ia menambahkan.

***

Persoalan mantan narapidana korupsi yang masih bersemangat ingin berkuasa ini memang cukup rumit. Di satu sisi, sudah menjadi hak bagi tiap warga negara untuk bisa mencalonkan dan dicalonkan. Tapi di sisi lain, tindak pidana korupsi masuk dalam ranah tindak kejahatan luar biasa.

Kontroversi ini sebenarnya dimulai sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketukpalu sejak akhir tahun lalu. Ada empat garis besar dalam putusan mahkamah kala itu. Pertama, narapidana korupsi bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah selama tidak terkena ancaman pidana lima tahun, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.

Kedua, mantan narapidana korupsi bisa mencalonkan diri setelah masa jeda lima tahun bebas dari hukuman. Ketiga, mantan narapidana korupsi harus mencantumkan keterangan statusnya. Dan keempat, calon kepala daerah bukan pelaku kejahatan berulang.

Bagi Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, perdebatan ini sebenarnya ada dalam ranah hukum yang bisa diuji materikan kembali. "Asumsinya, dia sudah melalui masa hukuman, sehingga dia sudah bersih dan punya hak seperti warga negara lain," ia menjelaskan kepada Muhammad Guruh Nuary dari Gatra.

Tapi, jika dilihat dari jenis kejahatannya yang masuk dalam kategori tindak pidana luar biasa, semestinya komitmen perang terhadap korupsi bisa diterjemahkan dalam aturan terkait mantan napi korupsi ini. "Maka memang eks koruptor itu tidak boleh mempunyai hak politik. Namun karena aturannya membolehkan, mau bagaimana lagi?" ucapnya.

Keprihatinan terkait keterlibatan para mantan koruptor ini bisa jelas dilihat dari kasus Muhammad Tamzil, mantan Bupati Kudus 2003-2008 yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan pada APBD Kudus tahun 2004. Dia kemudian dijebloskan ke penjara pada Februari 2015 dengan masa tahanan hanya selama 22 bulan.

Pada pilkada serentak 2018, Tamzil kembali maju berpasangan dengan Hartopo, dan menang. Pada Juli 2019, Tamzil terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang kemudian menyeretnya menjadi pesakitan dalam kasus dugaan gratifikasi dalam pengisian jabatan.

Kemenangan Tamzil yang berstatus sebagai mantan napi korupsi ini memang menjadi anomali tersendiri dari sisi pemilih. Bagi Firman, persepsi publik soal kepala daerah eks napi ini memang cukup beragam. "Di wilayah tertentu mungkin ketika dia memimpin, dia cukup bisa menimbulkan citra yang sulit digantikan oleh yang lain, terlepas dia koruptor ya. Sehingga dia tetap menjadi sosok yang populer," tuturnya.

Selain faktor popularitas dan elektabilitas, masyarakat belum bisa memaknai tindak pidana korupsi sebagai perilaku yang berbahaya. "Jadi masih diberi kesempatan," ia menjelaskan. Tapi yang paling pokok adalah persoalan kaderisasi parpol yang selalu menemui kebuntuan. "Partai ini selama ini ngapain aja? Sehingga kok sangat seret ya menghasilkan kader. Padahal salah satu fungsi partai politik kan melakukan kaderisasi," kata Firman.

Meski aturannya membolehkan, bagi Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan, sebenarnya sangat disayangkan jika parpol masih saja mengusung calon kepala daerah yang pernah masuk bui karena korupsi. Fenomena ini, kata Abhan, bisa terjadi karena tidak maksimalnya proses kaderisasi, padahal masih banyak individu berkualitas yang cocok untuk mengemban amanah sebagai kepala daerah.

Persoalannya kemudian adalah diragukannya semangat dan komitmen antikorupsi yang semestinya dimiliki oleh tiap parpol. Bawaslu sendiri sebenarnya tidak bisa berbuat banyak. Pihaknya hanya mampu memberikan himbauan bagi parpol untuk tidak menjadikan mantan napi korupsi sebagai kandidatnya. "Masih banyak putra bangsa kita yang baik-baik. Masa harus ajukan yang track record-nya jelek," kata Abhan kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra.

Pola kaderisasi parpol yang mandek memang jelas terjadi. Tapi itu bukan satu-satunya masalah yang memuluskan langkah para mantan napi ini kembali “naik ring” di pilkada nanti. Bagi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Khairunnisa Agustyati, ada sikap permisif oleh parpol terhadap perilaku koruptif. Semestinya, ada catatan internal pada tiap parpol terkait dengan kasus korupsi yang pernah menjerat para kandidat kepala daerah.

Sayangnya, parpol di Indonesia hingga saat ini belum ada yang memiliki sistem merit yang baik. Pencalonan, baik di jenjang Pilkada hingga ke atasnya, hanya didasarkan pada modal popularitas dan finansial semata. "Sehingga menyampingkan etika latar belakang sebagai napi korupsi yang pernah melakukan pelanggaran hukum itu tindakan yang seharusnya tidak dimiliki pejabat publik. Jangan sampai masyarakat menilai itu permissive pada perbuatan korupsi itu," kata Khairunnisa kepada Wahyu Wachid Anshory dari Gatra.

Dari sisi penyelenggara pemilu, Khairunnisa berharap putusan MK terkait hak politik para eks napi ini semestinya bisa diadopsi. Caranya adalah dengan melihat latar belakang para kandidat ketika masa pendaftaran bakal calon. "Karena kadang-kadang informasi ini publik tidak tahu dengan latar belakangnya apakah dia pernah dihukum dan informasi itu tidak terdistribusi dengan baik. Kalau publik tahu bisa ikut mengawasi,” ia menjelaskan.

Pada sisi perilaku koruptif, kasus Muhammad Tamzil cukup menjadi preseden bahwa mantan napi korupsi bisa dengan mudah mengulangi perbuatannya ketika diberi kesempatan kembali. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) EgiPrimayogha menilai, larangan tentang mantan napi ini ikut pilkada sebenarnya sudah termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020. "Pada peraturan sebelumnya, KPU memang mengizinkan mantan napi korupsi untuk maju. Namun dengan adanya putusan MK, KPU mengubah peraturan tersebut. Peraturan KPU (PKPU) tersebut menegaskan pelarangan bagi seluruh mantan narapidana untuk ikut serta dalam kontestasi pilkada," ujar Egi.

Bagi Egi, pencabutan hak politik dengan melarang mantan napi korupsi maju dalam pilkada menjadi hal yang cukup substansial. Karena, kepala daerah harus menjadi sosok yang berintegritas dan memiliki kapasitas. Jika kemudian barisan para mantan napi korupsi ini kembali bermain politik, maka cita-cita tentang integritas dan kapasitas itu menjadi buyar.

"Seluruh pihak juga harus patuh terhadap putusan MK. Partai politik tidak boleh mengusung mantan narapidana korupsi. Penyelenggara pemilu harus ikut patuh dan berhati-hati dalam memeriksa berkas pencalonan. Warga sebagai pemilih juga harus ikut mengawasi untuk memastikan koruptor tidak maju sebagai calon kepala daerah," ia menegaskan.

Celakanya, Kementerian Dalam Negeri tidak ambil pusing tentang calon kepala daerah mantan napi korupsi yang sudah mendaftarkan dirinya, selama tidak melanggar PKPU. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Benny Irwan, menjelaskan bahwa Kemendagri sebenarnya ikut serta dalam pembahasan PKPU bersama KPU dan DPR.

Dalam pandangannya, ada empat rancangan PKPU yang disetujui kala itu, yakni tentang pencalonan, kampanye, dana kampanye, dan pemilihan. "Sebagai institusi Pembina Pemerintahan dan Politik Dalam Negeri, tentu saja Kementerian Dalam Negeri sangat terlibat aktif dalam penyusunan dan pembahasan PKPU," ujar Benny.

Ketika masa pembahasan, pernah beredar isu bahwa pihak Kemendagri yang mati-matian menolak klausul bahwa mantan napi korupsi dilarang ikut pilkada. Kala itu, Dirjen Otonomi Daerah, Akmal Malik, menilai bahwa larangan tersebut justru melanggar UU Pilkada. Ketika dimintai konfirmasi, Benny menjawab diplomatis bahwa Kemendagri menjalankan fungsi fasilitasi dan koordinasi. "Agar pilkada dapat terlaksana dalam tatanan kebiasaan baru yang aman dan tetap produktif," ujarnya.

Aditya Kirana, Ady Putong (Manado), dan Karerek (Palembang)