Kemenhan dan Kemendikbud menjajaki kerja sama pendidikan militer di kampus. Bersifat sukarela, untuk menyiapkan potensi militer cadangan saat negara dalam keadaan genting. Sistem militerisme yang dikhawatirkan mengaburkan nalar kritis mahasiswa.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menganalogikan pendidikan bela negara di universitas, yang dilakukan melalui program Komponen Cadangan (Komcad), seperti membuat masyarakat saat ini hidup di zaman Orde Baru. Untuk bisa menumbuhkan rasa cinta Tanah Air saja, seakan harus dilakukan dengan cara-cara militer. Padahal, cara menumbuhkan rasa cinta Tanah Air di kalangan generasi muda itu tidak melulu dengan pendekatan militerisme. Menurutnya, akan lebih bagus jika rasa nasionalisme generasi muda dipupuk melalui perdebatan dan dialog.
Sebaliknya, pendidikan bela negara yang diajarkan melalui cara militerisme justru lebih condong pada penanaman doktrin. Pada pengajarannya, mahasiswa dipaksa untuk cinta Tanah Air tanpa harus mengerti alasan mengapa ia harus mencintainya. "Harus melalui perdebatan. Kenapa Indonesia menggunakan Pancasila, bukan ajaran Islam? Itu juga harus diperdebatkan. Harus didialogkan. Bukan model cara-cara militeristik yang mungkin doktrinasi," kata Ubaid kepada Qonita Azzahra dari GATRA, Senin lalu.
Dengan sistem tersebut, kata Ubaid, akan berpotensi menghilangkan nalar kritis yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa. Selain itu, pendidikan bela negara dengan cara militer juga dirasa tidak relevan dengan Tridharma Perguruan Tinggi dan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Oleh karena itu, ia meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, tidak memasukkan pendidikan militer di dalam sistem pendidikan tinggi.
Menurut Ubaid, akan lebih baik bagi Nadiem bila memperbaiki sistem pendidikan tinggi, yang sampai hari ini masih lemah dalam sisi pengembangan riset dan pengabdian masyarakat. "Kalau diterapkan, ya Kemendikbud ini seperti enggak ada kerjaan. Banyak hal-hal prioritas yang harusnya dia lakukan malah enggak dilakukan, tapi hal-hal yang enggak penting malah dianggap penting dan dimasukkan," ujarnya.
Pandangan Ubaid muncul sebagai respons atas wacana diadakannya pendidikan bela negara, terkait program Komcad dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di tingkat universitas. Di masyarakat, isu program Komcad di universitas ini menjadi isu liar. Bahkan, beredar kabar bahwa program ini adalah program wajib militer bagi semua mahasiswa.
Nadiem pun sempat angkat suara perihal isu penerapan wajib militer terhadap mahasiswa ini. Ia mengaku terkejut dengan kabar tersebut. "Saya kaget. Tidak ada pemaksaan apa pun wajib militer negara dalam universitas," ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Kendati demikian, Nadiem membenarkan ada diskusi dengan Kemenhan dalam mendukung program Kampus Merdeka, program pembelajaran yang merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar. Mahasiswa bisa mengikuti program ilmu militer selama satu semester, "Voluntary, itu. Sukarela. Tidak mungkin Merdeka Belajar berjalan dengan pemaksaan," katanya lagi.
***
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam, menegaskan ucapan Nadiem tentang Kemenhan sudah melakukan pertemuan dengan Kemendikbud untuk membahas program Komcad. Nantinya, Kemenhan akan menggandeng Kemendikbud dalam pengaplikasian program ini pada sektor mahasiswa di pendidikan tinggi.
Setelah pertemuan tersebut, Nizam meluruskan bahwa tidak pernah ada ketentuan program Komcad akan dijadikan sebuah kewajiban bagi mahasiswa layaknya wajib militer. Sesuai dengan UU 23 Tahun 2019, kata Nizam, sejatinya semua warga negara punya hak untuk berpartisipasi sebagai Komcad, selama memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh Kemenhan selaku induk program.
"Bahkan ini terbuka untuk masyarakat luas, tidak hanya mahasiswa, tetapi mahasiswa dapat secara sukarela mengambil program Komcad, seperti layaknya mengambil program magang. Nantinya, mereka akan mendapatkan berbagai kompetensi melalui program yang diselenggarakan oleh Kemenhan tersebut," tutur Nizam Kepada Ucha Julistian Mone dari GATRA, Senin lalu.
Nizam juga menegaskan, program Komcad dari Kemenhan ini sejatinya sudah selaras dengan kebijakan Merdeka Belajar milik Kemendikbud yang sudah disampaikan Nadiem beberapa waktu lalu. Dalam kebijakan Kampus Merdeka itu, nantinya mahasiswa akan memiliki hak hingga 40 SKS untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dan pengembangan kompetensi di luar perguruan tinggi.
"Karena pendidikan Komcad ini terstruktur, kalau diimplementasikan, dalam bayangan saya ada di Kampus Merdeka. Jadi, mahasiswa selama enam bulan meninggalkan kampus. Jadi, tidak masuk dalam kampus, tapi ada pendidikan tersendiri," Nizam menjelaskan. Ia juga mengatakan, jika nantinya program Komcad terealisasi, ini akan menjadi hal positif pada pendidikan bela negara dan semangat cinta negara.
Nizam juga menekankan bahwa program Komcad bukanlah sebuah upaya memasukkan militerisme ke kampus. Komcad hanya merupakan kesinambungan pendidikan bela negara yang selama ini sudah berjalan. "Jadi, tidak perlu kita fobia militer. Itu kan zaman dulu, ya. Ini adalah program sinergi dengan Kemenhan agar lebih baik tentang peta bela negara," ucapnya.
Dalam pandangan Nizam, pendidikan militer bukan menyoal latihan fisik semata. Menurutnya, dalam pendidikan tersebut ada sebuah ilmu analisis yang bermanfaat bagi para mahasiswa. "Seperti analisis SWOT. Analisis itu akarnya militer, problem solving dengan cepat. Itu diajarkan di militer," kata Nizam.
Sekarang, Nizam sedang menunggu penyusunan program dari Kemenhan. Jika nantinya susunan program sudah disampaikan dengan jelas, ia tidak ragu untuk membahasnya dengan para rektor atau pimpinan perguruan tinggi. Inti yang akan disampaikannya kepada para rektor, yaitu program Komcad akan memberikan kesempatan bagi mahasiswa mengambil haknya selama satu semester atau dicicil beberapa bulan yang nanti bisa disepadankan dengan jumlah SKS.
***
Direktur Jenderal Potensi Pertahanan (Dirjen Pothan) Kemenhan, Bondan Tiara Sofyan, menjelaskan bahwa Indonesia menganut SISHANKAMRATA (Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta). Dalam konteks program Komcad ini, SISHANKAMRATA disiapkan dengan cara membentuk kemudian membina. "Jadi dia nanti dilatih, setelah dilatih kemudian diangkat jadi Komcad. Setelah pelatihan, dia kembali ke institusinya masing-masing atau ke posisinya dia sebelum ditetapkan menjadi Komcad," ujarnya kepada Wartawan GATRA, Ryan Puspa Bangsa.
Komcad ini berada langsung di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perekrutannya dilakukan untuk umum yang sesuai dengan UU 23 Tahun 2019, berada pada rentang usia 18-35 tahun. Terkait keterlibatan mahasiswa, Bondan menjelaskan bahwa sesuai undang-undang, siapa pun yang ingin menjadi Komcad harus mendaftar secara sukarela, sehingga tidak bersifat wajib.
Setelah itu, mereka mendaftar sesuai dengan tempat-tempat yang sudah ditentukan, lalu ikut seleksi. Seleksi ini ada dua, yaitu seleksi administrasi dan seleksi kompetensi. Setelah lulus semua ujian, peserta harus ikut latihan dasar kemiliteran selama tiga bulan. Jika lulus dalam latihan ini, baru diangkat menjadi Komcad. "Ini, kan persis kira-kira waktunya kalo kita kuantifikasi dengan SKS di perguruan tinggi, ya. Kira-kira mirip lah, sekitar mungkin satu semester, karena satu semester di kampus itu kan efektifnya empat bulan," kata Bondan.
Bondan juga mengakui, kerja sama dengan Kemendikbud ini muncul karena melihat peluang dari program Merdeka Belajar. Selain itu, melihat usia mahasiswa ada di dalam rentang usia calon Komcad, Kemenhan membuka pembicaraan dengan Kemendikbud agar program Komcad bisa dijadikan alternatif dalam kebijakan Merdeka Belajar. "Jadi, sekali lagi bukan wajib militer. Bentuknya itu adalah alternatif, ya," ia menegaskan.
Dalam hal pembicaraan dengan Kemendikbud, kata Bondan, saat ini prosesnya belum selesai. Besar kemungkinan program tersebut belum bisa diterapkan di tahun ajaran ini. "Sedang kami bicarakan, jadi belum siap untuk ditawarkan ke mahasiswa," katanya.
Hidayat Adhiningrat P.
Komando Cadangan dan Pendidikan Tinggi
- Dasar Hukum UU Nomor 23 Tahun 2019.
- Rekrutment untuk WNI berusia 18-35 tahun.
- Ditugaskan jika negara dalam keadaan darurat.
- Direncanakan bekerja sama dengan Kemendikbud sebagai alternatif kebijakan Merdeka Belajar.
- Mahasiswa bisa ikut latihan dasar kemiliteran selama satu semester.
- Hasilnya dikuantifikasi dengan SKS di kampus.
Sumber: wawancara Kemendikbud dan Kemenhan