Festival seni terbesar di Yogyakarta, ARTJOG, tampil di tengah situasi pandemi. Kesempatan kembali ke eksklusivitas pameran seni sembari menjadi ajang terapi.
Seperti situasi dan berbagai agenda di masa pandemi, "ARTJOG: Resilience" tampil sepi. Fasad Jogja National Museum, lokasi pameran seni, tampak tak berubah, apalagi dengan karya megah seperti tiap gelaran Artjog.
Dari luar, hanya ada lorong biru muda yang harus dilalui pengunjung setelah menjalani cek suhu tubuh dan pemberitahuan protokol kesehatan. Tahun lalu, ARTJOG bahkan memajang empat karya spesial. Kali ini hanya ada satu karya ikonik, pengembangan dari salah satu proyek spesial tahun lalu, Murakabi Movement.
Instalasi bambu ini terdiri dari lorong yang terpecah ke dua ruang pameran, yang sekilas mirip bentuk paru-paru. Di dua ruang ini, bambu-bambu dirangkai menjadi tempat pajang kebutuhan sandang dan pangan. Terdapat pula bilik-bilik yang diisi susunan batu dan instalasi botol bekas sebagai ruang meditasi.
Karya ini terasa pas dengan tema resiliensi atau daya tahan di masa pandemi. Murakabi merupakan gerakan lintas disiplin yang mengusung semangat lokal dan kelestarian alam.
Jika tahun lalu memuat tiga unsur kebutuhan yang dapat secara mandiri dipenuhi manusia, Murakabi mengimbuhkan satu unsur lagi sebagai wujud terapi spiritual di masa pandemi: puisi.
Tim Murakabi menggandeng penyair Joko Pinurbo dan aktor Gunawan Maryanto yang akan menciptakan sajak dan menggelar sesi meditasi "Ibadah Puisi - Hening Cipta" yang dapat diikuti publik secara daring.
Santi Ariestyowanti, anggota gerakan Murakabi, menjelaskan rangkaian karya ini untuk menyeimbangkan aspek material dan spiritual, sekaligus menjadikan karya seni sebagai ajang terapi sosial di masa pandemi.
"Penggunaan bambu di dalam ruangan ini seakan mendekatkan diri ke alam, merawat rumah di dalam jiwa dan hati kita. Proses pembuatan bambu dari outdoor ke indoor itu sendiri punya makna. Gotong royong itu menyembuhkan," tuturnya.
Pada awal Februari 2020, panitia ARTJOG sebetulnya meluncurkan tema "Time (to) Wonder" dan rencananya pameran digelar pada Juli-Agustus 2020. Karena pandemi, penyelenggara sempat menyatakan menundanya hingga 2021, tapi kemudian ajang ini tetap digelar. Dibuka sejak 8 Agustus untuk disaksikan secara daring, pengunjung dapat hadir secara langsung melalui reservasi hingga 10 Oktober 2020.
Selain karya terapis Murakabi, Artjog 2020 bisa dibilang upaya terapi para seniman dengan berkarya setelah vakum karena pandemi. Sebanyak 78 seniman --kebanyakan perupa Yogyakarta--terlibat berdasarkan undangan panitia. "Saat diundang, para seniman antusias. Padahal tenggat mereka mepet, cuma setengah bulan,” kata kurator ARTJOG, Bambang Toko Witjaksono.
Mayoritas karya dua dimensi atau lukisan demi mengejar tenggat dan memudahkan display demi memenuhi protokol kesehatan. Meski berkejaran dengan waktu, sejumlah seniman menyiapkan karya baru dengan merespons Covid-19.
Maestro lukis Djoko Pekik menggambarkan situasi pandemi dalam karya "Gelombang Masker". Seperti karyanya yang lain yang berukuran besar, lukisan cat minyak berdimensi 150x 250 sentimeter ini menggambarkan sebuah mobil bak terbuka yang membagikan masker.
Mobil dengan tulisan "Corona 2020" ini diikuti banyak orang. Ironisnya, massa yang berikat kepala Merah Putih dan mengangkat kepalan tangan dalam pembagian masker itu justru berjubel, tindakan yang tak sesuai dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Selain Pekik, pelukis kenamaan Agus Suwage juga menampilkan kondisi wabah, yakni dengan meminjam karya maestro dunia dari abad yang lalu. Dua karya dalam "Droplet Series", "After Delacroix", dan "After Da Vinci" itu meminjam ilustrasi sosok perempuan Eropa dalam gambaran perupa Eugene Delacroix dan Leonardo Da Vinci.
Perempuan dari lukisan "Lady with an Ermine" karya Da Vinci dan dari "Orphan on the Cemetery" milik Delacroix itu mengenakan masker. Suwage juga menambahkan latar belakang serupa, yakni tangga dan ilustrasi berupa noktah-noktah layaknya droplet bervirus.
Perupa Sunaryo menunjukkan dampak pandemi pada penari dalam "When the Dancers Stay at Home". Di lukisan dari akrilik dan arang ukuran 160 x 200 sentimeter ini, tujuh penari bermakser putih terlihat bersiap diri untuk tampil.
Di satu sisi mereka merias diri, mengenakan ornamen tari, dan berlenggak-lenggok, tapi di sisi lain ada penari yang cuma bercelana jins. Dan, sepeti tampak dari judulnya, mereka berdiam di rumah saja.
Di karya yang lain, tiga lukisan menampilkan wajah pemimpin besar dunia dalam balutan masker. Ada Presiden Indonesia Sukarno, Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, dan Presiden Cina Mao Tse Tung.
Tiga seri karya Galam Zulkifli ini bagian dari Art Care, program untuk menggalang bantuan bagi seniman, pegiat seni, dan masyarakat yang terdampak wabah. Bantuan itu dari hasil penjualan karya seni dalam satu box set. Tiap box set terdiri dari 16 karya ukuran kecil.
“Hingga 31 Agustus ini sudah laku 14 box set dari 16 box set yang diterima panitia. Ini ada tambahan lagi 18 karya kecil dari beberapa seniman. Lagi kami persiapkan boksetnya,” kata Bambang tanpa merinci jumlah rupiah yang terkumpul.
Pemrakarsa ARTJOG, Heri Pemad menyatakan, seniman jadi pihak paling mudah untuk diajak menghelat ajang ini di tengah pandemi. Sementara pihak-pihak lain harus diyakinkan bahwa pameran ini aman dari potensi penularan Covid-19.
"Sebab biasanya kunjungan ARTJOG sebelumnya 2.500 orang per hari. Ini kami kewalahan juga karena banyak yang mau datang, termasuk dari luar negeri. Tapi syaratnya banyak," tuturnya.
Namun pandemi justru menjadi momentum ARTJOG untuk menggelar simulasi pameran seni yang sesuai dengan protokol kesehatan. Selain wajib pakai masker dan cek suhu tubuh, pengunjung harus menjaga jarak dan tamu luar DIY wajib menunjukkan surat keterangan negatif hasil tes Covid-19. Hadirin bisa hadir dalam dua sesi masing-masing selama dua jam dan maksimal 30 orang per sesi.
Kondisi ini sekaligus memungkinkan karya seni dapat dinikmati secara nyaman dan eksklusif. “Kami memberanikan diri untuk menyelenggarakan lagi bukan karena latah untuk mengikuti tata kebiasaan baru. Festival tahun ini tidak hanya didasari oleh keinginan untuk bangkit, tapi lebih pada upaya untuk menguji kembali ketahanan kita,” kata Heri.
Arif Koes Hernawan