Home Politik Duit Negara Bagi Para Pemengaruh

Duit Negara Bagi Para Pemengaruh

Indonesia Corruption Watch menemukan anggaran puluhan miliar dikeluarkan pemerintah untuk jasa influencer. Dipertanyakan transparansi dan efektivitasnya, karena kerap dipakai untuk pencitraan pejabat.


Tidak percaya diri. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menarik kesimpulan atas temuannya bahwa pemerintah diduga menggelontorkan anggaran Rp90,45 miliar untuk jasa influencer (pemengaruh), baik individu maupun kelompok, dengan tujuan memengaruhi opini publik tentang berbagai kebijakan.

Temuan ICW ini diambil dari data yang dikumpulkan pada 14 hingga 18 Agustus lalu dengan menelusuri Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). "Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp90,45 miliar untuk 40 paket pengadaan," kata Egi, dalam konferensi pers bertema "Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?" yang diikuti Qonita Azzahra dari Gatra, Kamis pekan lalu.

Selain menunjukkan bahwa pemerintahan Joko WIdodo (Jokowi) tidak percaya diri dengan program-programnya, Egi pun menyoroti transparansi aktivitas ini. "Publik sebenarnya berhak tahu kebijakan yang menggunakan influencer dalam sosialisasinya itu kebijakan mana saja. Influencer juga harus memberikan disclaimer bahwa ini adalah aktivitas berbayar atau yang didukung pemerintah dalam publikasikan postingannya," kata Egi.

Dalam catatan ICW, anggaran-anggaran penggunaan jasa influencer itu dikeluarkan oleh sejumlah kementerian. Anggaran belanja untuk influencer ini semakin marak sejak 2017. Berdasarkan temuan ICW, di tahun itu ada lima paket anggaran belanja dengan nilai Rp17,68 miliar.

Angka itu mengalami peningkatan pada 2018, yakni 15 paket pengadaan senilai Rp56,55 miliar. Selanjutnya, pada 2019 turun menjadi 13 paket pengadaan dengan total nilai Rp6,67 miliar. Sementara itu, pada tahun ini, hingga sekarang terdapat tujuh paket pengadaan dengan total nilai Rp9,53 miliar.

Lembaga yang mengeluarkan anggaran tersebut di antaranya, Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan jumlah paket pengadaan jasa influencer empat program dengan total nilai Rp10,83 miliar. Lainnya, Kemendikbud dengan total paket pengadaan jasa influencer sebanyak 22 dan total nilai Rp1,6 miliar.

Selain itu, Kementerian Perhubungan mengontrak satu paket jasa pemengaruh dengan nilai Rp195,8 juta. Lalu, Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan total paket satu dan nilainya Rp150 juta. Untuk contoh programnya, Egi menyebut soal pengadaan sosialisasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Egi juga menyoroti sejumlah nama influencer yang tercantum dalam LPSE, seperti Ayushita Widyartoeti Nugraha dan Gritte Agatha, dengan besaran anggaran yang ditawarkan mencapai Rp117 juta. "Pengadaan sosialisasi PPDB ini ada banyak menggaet artis atau influencer, seperti Ahmad El Jallaludin Rumi dan Ali Shakib. dan jumlahnya enggak jauh beda dengan yang sebelumnya," ujar Egi.

Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin tak mau buka suara tentang temuan ICW ini. Ngabalin berdalih, belakangan dirinya bertugas di daerah dan belum berkoordinasi dengan pejabat Istana lainnya mengenai isu tersebut. "Selama dua minggu ini saya bertugas di daerah, jadi belum bisa komentar," ujarnya saat dihubungi Dwi Reka Barokah dari Gatra, Senin lalu.

Ngabalin juga tak mau menanggapi saat ditanya apakah dana influencer yang disiapkan pemerintah masuk ke dalam anggaran kehumasan. "Enggak ngerti, enggak ngerti," dia menegaskan.

Sama seperti Ngabalin, tenaga ahli KSP lainnya, Dany Amrul Ichdan, juga tak mau memberikan keterangan. "Topiknya bisa yang lain saja?" kata Dany dalam pesan singkat WhatsApp. Dany juga memilih diam ketika diminta tanggapan mengenai sosok influencer yang saat ini dipandang negatif oleh publik.

Sebelumnya, kepada wartawan, tenaga ahli utama KSP Donny Gahral Adian mengatakan, penggunaan influencer oleh pemerintah adalah hal yang wajar dan sah. Karena pemerintah pasti memilih orang-orang yang memiliki kompetensi, kemampuan, dan menguasai substansi. ″Kalau untuk menyampaikan kebenaran, why not?″ kata Donny Gahral, Jumat pekan lalu.

Dengan asumsi seperti itu, menurut Donny, pemakaian influencer untuk mempromosikan kebijakan pemerintah bukan suatu kegiatan yang salah. Kecuali jika mereka memutarbalikkan fakta. Karena selama ini, ia melihat influencer yang dipakai pemerintah selalu berbicara apa adanya.

Meskipun demikian, ia mengakui, banyak influencer yang menyampaikan pesan pemerintah yang mendapatkan kritik atau gugatan dari pihak lain. Dan kondisi ini, menurutnya juga hal yang biasa.

Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai penggunaan jasa influencer untuk menyosialisasikan kebijakan pemerintah sebagai langkah yang tidak tepat. Alasannya, pertama, influencer yang ada banyak tidak memahami kebijakan pemerintah.

″Kebijakan publik itu kan ada ilmunya sendiri, dia harus sama orang yang memahami. Kebijakan itu ada filosofinya, nilai yuridisnya, nilai sosiologis, nilai politisnya, kulturalnya juga,″ katanya kepada Erlina Fury Santika dari Gatra, Selasa lalu.

Alasan kedua, Trubus melanjutkan, informasi yang disampaikan cenderung menyesatkan, kemudian tidak tepat sasaran. Trubus mencontohkan soal RUU Cipta Kerja. Pembahasan mengenai RUU tersebut sangat kompleks. Menurutnya, untuk bisa memberikan advokasi kepada publik, yang dilibatkan seharusnya adalah para akademisi.

“Ini menyangkut kebijakan, harus secara intelektual memahami kalau enggak bisa salah tafsir,” ucap Trubus.

Terkait dengan besaran anggaran untuk influencer seperti temuan ICW, Trubus menilai dana itu terlalu besar. Apalagi, katanya, baik Kementerian Kominfo maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah kementerian teknis yang mempunyai dinas hingga ke daerah.

Seharusnya, dinas-dinas yang ada inilah yang diberdayakan untuk menyosialisaikan program hingga ke pelosok. “Selain pemborosan kemudian dana terlalu besar itu ada potensi penyimpangan, abuse of power, potensi korupsi, maladministrasi, mark up,” katanya.

Meski begitu, Trubus mengatakan bahwa dalam beberapa hal penggunaan influencer itu baik. Misalnya untuk promosi pariwisata. ″Kalau Kemendikbud itu bisa ke peninggalan-peninggalan purbakala, budaya-budaya. Kalau buat PPDB itu enggak nyambung, enggak punya kapasitas, kompetensi. Hasilnya apa? Benefit-nya? Enggak ada. Itu semata-mata pencitraan dari para pejabatnya,″ Trubus menegaskan.

Adapun Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLHBI), Asfinawati, mengatakan bahwa sesungguhnya penggunaan teknologi atau media sosial dalam demokrasi bisa berdampak positif.

Ini karena rakyat bisa menyampaikan langsung aspirasinya tanpa hambatan dan prosedur berbelit-belit. "Misal, pengaduan bisa secara langsung atau bercakap-cakap secara langsung melalui akun menteri atau presiden," ujar Asfinawati dalam sebuah diskusi daring.

Namun, kata Asfi, ada sisi gelap dari penggunaan teknologi, apalagi ketika disusupi influencer atau buzzer, sebab mereka bersuara atas pesanan. Sehingga publik tidak lagi bisa membedakan mana pendapat pribadi dan mana yang iklan. ″Berbeda dengan televisi atau radio, jelas kita bisa tahu mana yang berita dan iklan," katanya.

Lebih dari itu, Asfi juga menilai penggunaan influencer dan buzzer telah menciptakan stigmatisasi atau "pembelahan" dengan sebutan tertentu. Ia mengambil contoh istilah "cebong" dan "kadrun" yang marak di media sosial sekarang. "Jadi sebagus apa pun omongan seseorang menjadi tidak valid dan ini membiaskan," ucap Asfi.

Hidayat Adhiningrat P.

 

Anggaran Belanja Pemerintah untuk Jasa Influencer

- Kementerian Pariwisata : 22 paket pengadaaan, total nilai paket pengadaan Rp77,66 miliar

- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: 12 paket pengadaaan, total nilai paket pengadaan Rp1,6 miliar

- Kementerian Komunikasi dan Informatika : 4 paket pengadaaan, total nilai paket pengadaan Rp10,83 miliar

- Kementerian Perhubungan: 1 paket pengadaaan, total nilai paket pengadaan Rp195,8 juta

- Kementerian Pemuda dan Olahraga : 1 paket pengadaaan, total nilai paket pengadaan Rp150 juta

Total: 40 paket pengadaan dengan nilai total Rp90,4 miliar

*Sumber: Indonesia Corruption Watch