Home Politik Pertaruhan Independensi KPK

Pertaruhan Independensi KPK

Pegawai KPK kini berstatus sebagai ASN. Pimpinan komisi menjamin soal kesejahteraan hingga independensi, meski intervensi politik justru makin nyata. Ujung pelemahan KPK?



Tidak kurang dari 12 pasal tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Taahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Beleid yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 27 Juli lalu itu langsung menuai kontroversi. Bukan hanya tentang penggajian saja, melainkan juga soal independensi pegawai KPK dan kemungkinan intervensi politik yang cukup besar.

Isu soal independensi yang akan terganggu hingga ancaman intervensi ini cukup kencang bertiup. Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar dengan sigap menjawab tudingan ini. Menurutnya, alih status pegawai KPK tidak akan mengurangi sedikit pun independensi KPK yang memang selama ini tetap terjaga.

Karena, kata Lili, meski KPK kini berada pada rumpun eksekutif, tapi bukan berarti penyidikan dan penuntutan yang selama ini menjadi pekerjaan KPK menjadi terabaikan. ″Yakinlah bahwa status pengalihan menjadi ASN, itu tidak akan mengurangi independensi KPK untuk bekerja memberantas korupsi,″ kata Lili dalam konferensi pers di Gedung KPK pada Rabu, 8 Agustus lalu.

Begitu juga dengan komisioner KPK lainnya, Nurul Ghufron, yang meminta kepada semua kalangan agar tidak merendahkan independensi KPK jika hanya dikaitkan dengan skema penggajian yang akan berubah. Bagi Nurul, sistem penggajian yang baru bukan berarti menggerus independensi awak KPK. ″Independensi KPK terlahir karena penanaman kecintaan insan KPK pada Republik Indonesia yang ditanam sejak rekrutmen sampai dengan pembinaan dan kode etik KPK,″ ia menegaskan.

Aturan ini kemudian akan dijabarkan dalam Peraturan Komisi (Perkom) yang akan mengatur soal mekanisme peralihan status kepegawaian, yang tentunya melibatkan pihak lain seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kepolisian, serta kejaksaan.

Sementara itu, Wadah Pegawai (WP) KPK menyebut belum dapat mengukur dampak kebijakan itu bagi pegawai KPK. Ketua WP KPK,Yudi Purnomo Harahap, mengatakan bahwa saat ini, pihaknya masih mempelajari beleid ini dari beragam aspek. ″Terutama dampaknya bagi indepedensi Pegawai KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi di negeri ini,″ ujar Yudi.

Meski dalam kebiasannya tidak ada wadah pekerja dalam lingkup ASN, Yudi menjamin bahwa WP KPK akan tetap ada. Hal ini karena tidak ada aturan khusus dalam PP itu yang menyatakan wadah pegawai harus dihapuskan. ″WP KPK tetap akan tetap bersuara kritis sebagai perpanjangan tangan masyarakat dalam menjaga KPK di dalam dari upaya pelemahan KPK termasuk masalah indepedensi pegawai KPK saat ini ketika berstatus ASN,″ ia memungkasi.

Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, beleid ini sama sekali tidak mengamputasi kewenangan para pegawai KPK. Bukan pula bermaksud melemahkan KPK dari dalam sehingga memudahkan intervensi politik dari pemerintah. ″Sebaliknya, ini justru upaya memperkuat institusi pemberantasan korupsi di Indonesia,″ ujar Dini.

Tapi, jika dilihat lebih dalam. Dengan alih status ini, pegawai KPK harus tunduk pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014. Artinya, pegawai KPK harus mengikuti aturan birokrasi yang sudah ajeg. Bagi pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, KPK secara kelembagaan memang dibentuk secara independen, sama seperti komisi antirasuah di negara-negara lain yang bisa mengatur pegawainya dengan mandiri. Bagi Trubus, wajar jika publik kemudian menyambungkan alih status kepegawaian ini sebagai salah satu bentuk atau upaya pelemahan KPK dari dalam.

Belum lagi dengan model pengawasan yang agak rancu yang, menurut Trubus, seperti jeruk minum jeruk ketika KPK harus mengawasi lembaga lain yang diisi oleh para ASN juga. Padahal, jika dilihat dari aturannya, KPK itu berdiri untuk memantau dan mengamati pelaksanaan program pemerintah.

″Jadi, penyelenggara negara itu selalu diawasi oleh KPK. Nah, sekarang kalau yang diawasi sendiri itu adalah ASN, kan akhirnya jadi jeruk minum jeruk,″ ujar Trubus kepada Qonita Azzahra dari Gatra, pada Minggu, 23 Agustus lalu.

Persoalan yang timbul kemudian adalah kebijakan penegakan hukum KPK yang bisa dipastikan kehilangan ketegasannya di kemudian hari. Hal ini berakibat pada netralitas yang tentu akan dipertanyakan, karena hantaman birokrasi yang terlalu rumit.

Jika kepolisian dan kejaksaan adalah contoh rumitnya birokrasi dalam penegakan hukum, KPK sebenarnya menjadi jalan keluar, meski sifatnya adhoc. "Sekarang, kalau KPK-nya jadi lemah, pertanyaannya, siapa? nggak ada yang ngawasin lagi. Jadi ya akhirnya sama antara kepolisian, kejaksaan, kehakiman,” ia menjelaskan.

Trubus meyakini, ke depan, persoalan yang dihadapi KPK tentu tidak akan berkurang dari apa yang mereka hadapi saat ini. Tapi, KPK akan kehilangan masa kejayaannya layaknya beberapa tahun silam ketika maraknya operasi tangkap tangan (OTT) kelas kakap seperti kasus korupsi KTP elektronik.

Penyebabnya sudah barang tentu adalah intervensi politik akan makin kencang, ditambah dengan birokrasi negara yang berbelit. Masuknya intervensi ini besar kemungkinan karena status para pegawainya.

Dia meyakini, satu-satunya jalan keluar dari persoalan jni hanya mencabut PP tersebut dan juga merevisi UU KPK atau mengeluarkan Perpres. Tapi, Trubus pesimistis dengan lemahnya lembaga hukum yang lain, dua regulasi ini akan tetap ada. Misalnya, Trubus melanjutkan, untuk mencabut aturan diperlukan keberanian Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu, MK pun tak segalak dulu. “Jadi udah banyak putusannya yang sudah enggak kuat, enggak tegas,” kata dia.

Senada dengan Trubus, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) pun melihat persoalan yang tak kalah pelik. Pegawai KPK dengan status barunya akan masuk dalam ranah kekuasaan Kemenpan RB. Dalam hal kepegawaian, kementerian di bawah Tjahjo Kumolo ini bisa melakukan screening terhadap semua pegawai KPK. "Pegawai KPK yang membangkang bisa saja tidak lolos screening," ujar Adnan Topan Husodo.

Di sisi penegakan hukum dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik KPK akan berada di bawah koordinasi Brigjen Pol Prasetijo Utomo yang justru menjadi tersangka dalam kasus pelarian Djoko Tjandra saat ini. "Jadi akan sulit untuk melihat independensi KPK ke depan,″ ia menjelaskan.

Aditya Kirana