Pidato Presiden di Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD, mengajak untuk membajak krisis demi melakukan lompatan. Dianggap tidak realistis dan terlampau optimistis.
Membajak krisis dan lompatan besar. Dua istilah tersebut seakan menjadi tema besar pidato Presiden Joko Widodo saat Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR serta DPD RI dalam rangka HUT Ke-75 Proklamasi Kemerdekaan, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jumat pekan lalu. Setidaknya, selama hampir tiga puluh menit berpidato, empat kali presiden mengajukan frasa "membajak krisis".
Momentum musibah pandemi yang melanda dunia saat ini, kata Jokowi, harus dijadikan sebagai kebangkitan baru untuk melakukan sebuah lompatan besar. "Saatnya kita bajak momentum krisis untuk melakukan lompatan-lompatan besar. Pada usia ke-75 tahun ini, kita telah menjadi negara upper middle income country. Dua puluh lima tahun lagi, pada usia seabad Republik Indonesia, kita harus mencapai kemajuan yang besar, menjadikan Indonesia negara maju," tuturnya.
Ibarat komputer, presiden menganalogikan perekonomian semua negara saat ini sedang macet. Maka, semua negara perlu melakukan restart, harus rebooting, yang artinya semua negara mempunyai kesempatan untuk men-setting ulang semua sistemnya. "Krisis perekonomian dunia juga terparah dalam sejarah. Di kuartal pertama 2020, pertumbuhan ekonomi negara kita masih plus 2,97%, tapi di kuartal kedua kita berada di minus 5,32%," kata Jokowi.
Namun, di balik hal tersebut, Jokowi melihat peluang bagi Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara-negara besar. Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk membenahi diri secara fundamental, serta melakukan transformasi dan strategi besar di segala bidang.
Krisis ini pun telah memaksa untuk menggeser channel cara kerja, dari cara-cara normal menjadi ekstra-normal dan kerja luar biasa. Krisis juga mengubah prosedur panjang dan berbelit menjadi smart shortcut, dari orientasi prosedur menjadi orientasi hasil. "Jangan sia-siakan pelajaran yang diberikan oleh krisis. Jangan biarkan krisis membuahkan kemunduran. Justru momentum krisis ini harus kita bajak untuk melakukan lompatan kemajuan," ucap Jokowi.
Politikus PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, menanggapi positif seruan Jokowi. Ia mengatakan, hanya dengan melalui suatu krisis, sebuah negara dapat melakukan perubahan signifikan. "Kita bisa memanfaatkan momentum krisis ini untuk menciptakan suatu lompatan besar. Itu yang penting," katanya kepada Qonita Azzahra dari GATRA saat menghadiri Sidang Tahunan MPR.
Soal pertumbuhan ekonomi nasional yang jeblok mencapai minus 5,32%, Hendrawan melihatnya sebagai persoalan yang tidak perlu ditakutkan masyarakat. Menurutnya, hal terpenting dalam mengubah kondisi ini, yaitu tekad dari seluruh bangsa Indonesia untuk memanfaatkan krisis yang terjadi dan keinginan untuk bebas dari krisis.
Hendrawan menjabarkan, sebelumnya pemerintah dan legislatif telah menetapkan APBN 2020 pada Oktober 2019 silam. Saat itu, kondisi normal dan tidak ada kendala berarti. Ketika pandemi merebak, lantas terbitlah Perpres Nomor 54 Tahun 2020, yang belakangan diubah lagi lewat Perpres Nomor 72 Tahun 2020 untuk mengakselerasi belanja negara terkait penanganan pandemi Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). "Jadi, jangan terkecoh dengan angka-angka yang sifatnya hanya perhitungan-perhitungan teknis, karena dengan metode berbeda, hasilnya beda," katanya.
Lain lagi dengan pihak oposisi. Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan bahwa pidato Jokowi itu berisi gagasan yang sesungguhnya susah untuk direalisasikan. Menurutnya, Indonesia saat ini sedang menanggung beban terlalu banyak. "Bicara gampang, aksi yang susah. Kalau ingin melompat, buat saya, berjalan saja berat sekarang. Bagaimana melompat?" ucap Mardani pada M. Almer Sidqi dari GATRA, di Gedung Nusantara II DPR RI.
Mardani menilai, Jokowi mesti betul-betul berpikir strategis. Pembubaran lembaga, misalnya, boleh disebut sebagai langkah tepat. Namun, menurutnya Jokowi hanya membubarkan lembaga-lembaga kecil. "Padahal perampingan itu bisa menajamkan anggaran. Sekarang, anggaran terlalu terpecah," ujarnya.
***
Bertabur Jargon. Itu kesan yang ditangkap peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, atas pidato presiden di sidang tahunan MPR. Pidato Jokowi itu, katanya, lebih banyak melemparkan wacana-wacana yang agak penuh jargon dan terlalu optimistis atau terlalu ambisius.
Bhima mencontohkan, optimisme Jokowi yang ingin mengejar ketertinggalan dari banyak negara, padahal kenyataannya Indonesia masih tertinggal dalam hal penanganan Covid-19. "Sehingga berpengaruh terhadap kinerja perekonomian, investasi, dan konsumsi rumah tangga," Kata Bhima Kepada Ucha Julistian Mone dari GATRA, Sabtu pekan lalu.
Bhima juga menyoroti, optimisme terhadap langkah pengejaran itu tidak dibarengi oleh indikator mengenai apa yang ingin dicapai untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Padahal, secara konkret Jokowi bisa menyampaikan indikator-indikator jelas. Misalnya, ingin mencapai peringkat daya saing yang lebih baik dalam global competitiveness index atau ingin menduduki 20 besar dalam IMD Global Digital Competitiveness Index. "Jadi, apa yang ingin dicapai? Doing business kita mau ke peringkat berapa? Itu tidak dijelaskan, sehingga indikator mengejar ketertinggalannya cukup blur atau samar-samar," ia menjelaskan.
Selain bersifat utopis dan penuh jargon, Bhima juga menyoroti beberapa program yang disebut oleh Jokowi, sejatinya tidak ada kebaruan. Bahkan, di beberapa program, masih merupakan program setengah matang dan hanya kelanjutan dari program-program tahun sebelumnya atau periode sebelumnya. Ia mencontohkan, pada sektor energi dengan target B100. Padahal, pengembangan terkini masih di B20 yang justru perkembangannya luput disampaikan oleh Jokowi.
"Kemudian juga ada food estate. Ini juga sejatinya program lama, di era Pak SBY juga sudah ada. Jadi, lebih kepada jargon ya, lebih kepada program-program yang sebenarnya belum tentu bisa meningkatkan ketahanan pangan, karena hanya melanjutkan saja. Belum ada kebaruan," tutur Bhima.
Adapun terkait penyampaian Nota Keuangan 2021, Bhima melihat dari asumsi-asumsi makro, yaitu pertumbuhan, inflasi, dan nilai tukar rupiah. Dari ketiga asumsi ini, masih terlihat bahwa pemerintah overshoot atau terlalu optimistis, karena tidak diimbangi dengan peningkatan konsumsi rumah tangga. "Kalau dilihat dari pertumbuhan ekonomi, apa bisa dari resesi kemudian loncat ke 4,5%? Karena ini kita masih menghadapi masalah pandemi yang berpengaruh tadi," ujarnya.
Bhima pun menyimpulkan, dari pidato tersebut terlihat bahwa sense of crisis Jokowi masih kurang, serta masih terlalu banyak menawarkan jargon, seperti layaknya saat kampanye. Padahal yang dibutuhkan sekarang, yaitu langkah-langkah konkret serta indikator yang lebih terukur. "Misalnya, key performance indicators yang lebih jelas, dan kemudian daya dorong dan program yang extraordinary. Itu ada banyak hal yang saya kira belum disentuh di dalam pidato Presiden," katanya.
Ajakan untuk membajak krisis yang disebabkan pandemi agar bisa melompat, bagi Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, merupakan satu-satunya poin yang relatif baru dalam pidato Presiden. Hal ini jadi semacam dukungan moral agar anak bangsa tidak menyerah melawan Covid-19. "Hanya itu sebenarnya poin pidatonya. Sementara hal-hal lain yang terkait demokrasi, ideologi, wawasan kebangsaan Pancasila, itu pernyataan yang sudah sering kali diulang-ulang oleh Presiden. Jadi tidak ada yang baru sekali soal itu," ujarnya kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.
Di luar itu semua, menurut Adi, Jokowi gagal membicarakan tentang pendidikan di tengah pandemi. Perkara ini bahkan sama sekali tidak disinggung dalam pidato. Padahal, sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang babak belur akibat Covid-19. Belum lagi ada banyak hal teknis terkait yang persoalannya belum selesai. "Bahkan banyak kasus orang tua rela melakukan hal-hal kriminal, hanya untuk bisa memberikan fasilitas belajar daring untuk anaknya. Hal ini cukup ironis," katanya.
Adi juga menilai, istilah membajak sebagai pilihan kata yang agresif. Hal ini, katanya, karena mungkin bagi Presiden sudah tidak ada kata-kata atau bahasa lain lagi untuk memberikan dukungan moral kepada menterinya untuk mengambil kebijakan politik di tengah pandemi ini. "Makanya, menggunakan istilah yang hiperbolis. Bagi saya ini sudah mentok, antara pasrah dan harapan," ucapnya.
Hidayat Adhiningrat P.
Infografis
Poin Pidato Presiden
* Kehidupan Demokrasi
- Jaminan kebebasan dan demokrasi.
- Tidak boleh merasa paling benar, paling agamais, paling Pancasilais.
* Ketahanan Pangan
- Peningkatan nilai tambah petani.
- Efisiensi produksi pangan.
- Peningkatan korporasi petani.
* Media
- Tidak menggunakan clickbait.
- Berkontribusi pada kemanusiaan dan bangsa.
* Kesehatan
- Prioritas industri obat dan alat kesehatan.
- Pengembangan rumah sakit dan balai kesehatan.
- Penguatan SDM.
* Energi
- Produksi dan penggunaan B30 pada 2020.
- Menekan nilai impor minyak.
* Krisis
- Ketika krisis kesehatan berdampak pada ekonomi, kita harus cepat bergerak.
- Krisis telah memaksa pergeseran cara kerja.
- Jadikan musibah pandemi sebagai kebangkitan untuk lompatan besar.