Home Politik Aparat Nakal Sekitar Djoko

Aparat Nakal Sekitar Djoko

Sebelas tahun buron, akhirnya Djoko Tjandra tertangkap di Malaysia. Sempat menggunakan jasa oknum kepolisian. Mudahnya buronan koruptor keluar masuk negara ini, menyisakan pertanyaan bagi kinerja penegak hukum.


Selama dua pekan, Listyo Sigit Prabowo disibukkan dengan urusan Djoko Tjandra. Presiden Joko Widodo sudah menitahkan Kapolri, Idham Azis, untuk mencokok buron kasus hak tagih Bank Bali yang lari ke sana-sini itu. Sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, sudah pasti Listyo yang bertanggung jawab menangkap si buron licin yang kabur selama 11 tahun tersebut.

Operasi senyap untuk mengembalikan Djoko ke Indonesia hanya diketahui segelintir orang. Kepolisian, kata Listyo, hanya melapor langsung ke Presiden soal bagaimana progres penangkapan Djoko yang akhirnya ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia pada Kamis, 30 Juli lalu.

Jenderal bintang tiga ini memang irit bicara ketika ditanyai soal apa saja yang ia bicarakan dengan Djoko selama di perjalanan menuju Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. "Ya, nanti satu-satu pasti kita beri tahu," ujarnya kepada wartawan di Gedung Bareskrim.

Jika dilihat dari banyaknya buronan yang hingga kini belum jelas keberadaannya, pihak kepolisian hingga Badan Intelijen Negara, sebenarnya perlu untuk mengevaluasi diri. Bagi peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, kasus Djoko Tjandra ini menjadi sinyal yang cukup jelas bagi kemampuan BIN dalam merespons dan melacak keberadaan koruptor.

Dalam pandangannya, ketika Djoko mulai masuk ke wilayah Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik, hingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK), sebenarnya menjadi bukti nyata bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal. Terlebih, jika dilihat dari catatan ICW, setidaknya ada 40 orang koruptor semasa 1996-2020 yang masih belum jelas jejaknya (lihat infografis).

Padahal, BIN sempat berhasil memulangkan dua buronan kasus korupsi, yaitu Totok Adi Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada 2015 lalu, dan Samadikun Hartono yang ditangkap di Cina pada 2016. "Namun berbeda dengan kondisi saat ini. Praktis, di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN," kata Kurnia kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.

ICW juga melancarkan kritik kepada Korps Adhyaksa. Menurut Kurnia, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak cukup hanya mencopot Pinangki Sirna Malasari dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II. Semestinya, Pinangki sudah harus angkat kaki dari Kejagung.

Bagi Kurnia, selain pihak kepolisian yang terang benderang ikut dalam memuluskan pelarian Djoko, Kejagung pun perlu mengurai kepentingan dan motif jaksa nakal yang menemui Djoko. "Jika iya [terlibat], maka yang bersangkutan dapat dikenakan Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang obstruction of justice dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun penjara," ungkapnya.

Selain aparat, keterlibatan kuasa hukum Djoko Tjandra juga tak kalah penting untuk diselidik. Jika dirunut dari UU Advokat, tindakan Anita Kolopaking sangat bertolak belakang. Hal ini tentu perlu kerja sama Djoko sendiri dalam memberikan informasi tentang pihak mana saja yang ikut serta dalam membantu pelariannya selama ini.

Di sisi lain, kerja sama lintas kepolisian yang dipraktekkan Mabes Polri dan Polisi Diraja Malaysia (PDRM), perlu untuk terus dijaga dan menjadi contoh ke depan. Khususnya jika merunut data ICW terkait buronan yang masih berkeliaran di luar negeri.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane, mengatakan bahwa kemampuan lobi kepolisian harus terus diasah di tiap Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). "Sehingga Polri bisa segera menangkap buronan lainnya, seperti Bos Gajah Tunggal, Syamsul Nursalim dan Itji Nursalim, yang saat ini diduga bersembunyi di Shanghai, Cina,” ujar Neta kepada Erlina Fury Santika dari GATRA.

Polri, kata Neta, sering kali kesulitan menangkap buronan koruptor di luar negeri, karena adanya kepentingan dari pihak luar. Hal ini tentu berbeda ketika Polri menangkapi sejumlah buron terorisme, narkoba, atau kriminal lainnya.

 

***

 

Suara masyarakat sipil yang diwakili ICW, dapat menggambarkan betapa geramnya publik melihat aksi Djoko Tjandra. Namun, yang perlu diingat adalah inti dari persoalan hukum yang menjerat Djoko, sebenarnya sudah selesai sejak lama.

Pada 2000, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya menilai bahwa Djoko bersalah dan wajib mengembalikan Rp546 miliar dari rekeningnya di Bank Bali, yang kemudian berganti nama menjadi Bank Permata. Namun Djoko dinyatakan bebas karena perbuatannya tidak memenuhi unsur pidana.

Selang delapan tahun kemudian, pihak Kejaksaan melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali di tingkat Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, majelis hakim, dengan dissenting opinion, mengabulkan PK Kejaksaan tersebut dengan putusan hukuman dua tahun bagi Djoko pada 11 Juni 2009.

Selang tiga tahun kemudian, Anna Boentaran, istri Djoko Tjandra, mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Kekuasaan Kehakiman, khususnya kewenangan Kejaksaan dalam mengajukan PK. Mahkamah mengabulkan uji materi Anna yang akhirnya menjadi aturan baru terkait kewenangan Kejaksaan dalam mengajukan PK. Meski demikian, putusan PK yang telah diajukan sebelumnya, tentu tidak lantas batal begitu saja, karena putusan MK tidak berlaku surut.

Bagi pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, secara teoritis, pertimbangan pengadilan merupakan bagian dari amar putusan. Dalam putusan MK, pertimbangan hukumnya adalah hak untuk mengajukan PK merupakan hak dari terpidana dan ahli waris. "Karena PK adalah upaya hukum luar biasa," ujarnya kepada GATRA.

PK dapat dikata sebagai upaya luar biasa, karena dilakukan pada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Hak mengajukan PK ini memang diberikan hanya bagi terpidana, agar hak asasinya tidak dilanggar oleh negara. "Jadi, MK menyatakan bukan hak jaksa," Chudry menjelaskan.

Jika dilihat dari pasal 197 ayat (1) huruf "k" Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), surat putusan pemidanaan harus memuat mengenai perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan. Ayat (2) menentukan, jika tidak dipenuhi ketentuan tersebut, maka mengakibatkan putusan batal demi hukum. "Hal inilah yang akan diperjuangkan Djoko Tjandra," ujar Chudry.

Selain dari pokok perkara yang sedang diperjuangkan Djoko, ada pula beberapa perkara lain yang kemungkinan akan dikenakan padanya, seperti penggunaan dokumen atau surat palsu dan dugaan suap. Namun menurut Chudry, surat yang dikeluarkan oleh Bareskrim maupun KTP elektronik yang dikeluarkan Kelurahan Grogol bukanlah dokumen palsu. "Jika Djoko Tjandra akan dikenakan pasal 263 KUHP, seharusnya dia yang menggunakan surat palsu dengan mendapatkan keuntungan material. Pertanyaannya, surat itu palsu, bukan?" sergah Chudry.

Jika kemudian ada kesalahan dalam keluarnya dokumen-dokumen tersebut, menurut Chudry, bukan berarti dokumen tersebut menjadi palsu, melainkan ada persoalan administratif. Jika dirunut dari UU Administrasi Pemerintahan, ada dua upaya yang bisa dilakukan ketika ada kesalahan administratif dalam pengeluaran suatu dokumen, yakni melalui permintaan pembatalan secara internal atau melalui pengadilan. "Ini kan bukan surat palsu, yang mengeluarkan pejabat resmi. Kalau isinya salah, kemungkinannya ya dua itu dengan batas waktu 30 hari sejak diketahui adanya kesalahan," ucapnya.

Ada juga tindak pidana keimigrasian yang diduga dilanggar oleh Djoko. Bagi Chudry, tindak pidana ini hanya bisa diberlakukan jika Djoko menggunakan paspor Indonesia. Beda lagi jika paspor yang digunakannya dikeluarkan oleh negara lain. "Kalau paspornya bermasalah, yang bisa menindak adalah negara yang mengeluarkan paspor itu," ujarnya.

 

Aditya Kirana

 

- - - - - -

 

Kutipan

 

"Namun berbeda dengan kondisi saat ini. Praktis, di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN."

- Kurnia Ramadhana

 

"Jika Djoko Tjandra akan dikenakan pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan, seharusnya dia yang menggunakan surat palsu dengan mendapatkan keuntungan material. Pertanyaannya, surat itu palsu, bukan?"

- Chudry Sitompul

 

Pointers

 

Peninjauan Kembali dapat dikata sebagai upaya luar biasa, karena dilakukan pada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Hak mengajukan PK ini memang diberikan hanya bagi terpidana agar hak asasinya tidak dilanggar oleh negara.