Penyaluran PMI secara ilegal kembali marak. BP2MI gencar melakukan pencegahan dan penggerebakan. Sindikasi mafia penyalur PMI dengan cara non-prosedural diduga banyak menyeret oknum kementerian dan lembaga.
Dewi Purnama Sari (25 tahun) dan suami, Yanto (24 tahun), akhirnya nekat pergi dari Garut. Dari kampung halamannya, mereka menuju Bogor, 17 Maret silam, dengan hanya berbekal Rp300.000. Seseorang bernama Mego, yang mengaku sebagai direktur di PT Sentosa Karya Aditama, menjanjikan bisa membantu pasangan suami istri itu bekerja di luar negeri.
Mimpi bekerja di luar negeri sangat menggiurkan dengan iming-iming penghasilan besar. "Saya sudah mikir uangnya bisa buat sekolah anak, beli tanah, dan nabung buat bangun rumah," kata Dewi kepada GATRA, Jumat pekan lalu.
Dewi dijanjikan akan menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura dengan gaji per bulan sekitar Rp6 juta. Sang suami, akan disalurkan menjadi buruh perkebunan di Malaysia dengan gaji Rp4 juta per bulan.
Kontak pertama Dewi dengan Mego terjadi pada 15 Maret 2020 melalui sambungan telepon seluler. Mego meminta Dewi dan suaminya segera berangkat ke rumah penampungan yang terletak di Perumahan Permata Cibubur, Jawa Barat, dan dijanjikan akan segera berangkat ke luar negeri.
Tanpa menaruh curiga kepada Mego, Dewi menyanggupi. Apalagi banyak kemudahan yang diumbar, seperti dijanjikan seluruh uang transportasi menuju penampungan akan diganti. Belum lagi ia diiming-imingi mendapat uang "fit" sebesar Rp4,5 juta jika dirinya lolos medical checkup dan dinyatakan sehat. Dewi pun makin tergiur.
Selang dua hari, Dewi dan Yanto, berangkat dengan modal Rp300.000 pinjaman dari tetangga. Menjelang tengah malam, pasutri itu tiba di rumah penampungan bercat kuning, dan disambut Mego di depan pintu. Total ada lima orang calon pekerja migran yang ditampung di rumah berlantai dua itu.
Tanggal 19 Maret, Dewi dan suami diantar staf Mego, Sunoto, melakukan medical checkup di salah satu rumah sakit di Bekasi. Keesokan harinya, disambung membuat paspor di Kantor Imigrasi. "Saya datang foto saja, besokannya paspor sudah jadi. Habis itu ngomongin kontrak juga, di kontrak sih disebut PT Sentosa. Kata Pak Mego, kalau sudah kerja katanya ada potongan untuk perusahaan," ucap Dewi.
Perinciannya, gaji Dewi akan dipotong perusahaan selama enam bulan pertama. Setiap bulannya akan diambil sebanyak Rp5,2 juta, sisa Rp800.000 untuknya. Adapun suaminya hanya satu bulan, tetapi semua gajinya masuk ke perusahaan. "Kata Pak Mego, setelah potongan itu, gaji akan diterima penuh dan langsung dari majikan," kata Dewi.
Dewi dan suaminya menyanggupi aturan main itu. Namun, visa mereka berdua tak kunjung keluar lantaran pagebluk Covid-19. Sejak itu, hidup pasutri itu jadi tambah sulit. Petaka pun mulai berdatangan. Tinggal lama serumah dengan Mego dan istri, membuat makin menderita. "Sehari paling makan sekali. Kadang dua kali," katanya.
Namun tidak ada yang dapat mereka lakukan. Uang "fit" yang dijanjikan Mego tak kunjung dibayar. Ingin kembali ke Garut pun tidak boleh. "Pokoknya enggak boleh ke mana-mana, kalau mau ke warung juga harus izin," Dewi mengungkapkan.
Belakangan, Mego mempekerjakan lima calon pekerja migran yang ditampungnya itu untuk berjualan bakso. Minggu pertama berjualan, masing-masing dapat upah Rp300.000. Setelah itu, tidak ada lagi upah diterima. Yanto pun dipaksa berjualan tahu crispy dan dibayar Rp10.000 per hari.
Lantaran hidup tidak jelas di penampungan, akhirnya kelima calon PMI ini merencanakan kabur. Mereka sudah berkemas, tetapi petugas Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) lebih dahulu datang menggerebek lokasi pada Senin, dua pekan lalu. Sayangnya, Mego dan Sunoto berhasil melarikan diri. Menurut Kepala BP2MI, Benny Ramdhani, dari penggerebekan terdapat berkas dua perusahaan bernama PT Sentosa Karya Aditama dan PT Al Zaidi Ihkhwan.
Di lokasi, BP2MI sudah mengamankan barang bukti berupa 232 dokumen berisi nama-nama calon PMI yang akan diberangkatkan ke negara tujuan. Adapun status PT Sentosa Karya Aditama ketika dicek masih aktif dan mengantongi Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (SP3MI). Namun untuk PT Al Zaidi Ikhwan, izinnya telah dicabut oleh Kementerian Ketenagakerjaan sejak 14 Februari 2020. "Mereka mau ketemu buat klarifikasi, saya enggak mau. Saya bilang, silakan ke Bareskrim, karena kita sudah laporkan semuanya ke Bareskrim Polri," ujar Benny.
GATRA menyambangi kantor PT Sentosa Karya Aditama di Jalan RH Umar Nomor 10A, Jaka Mulya, Bekasi Selatan, Bekasi, Selasa kemarin. Wujudnya tidak seperti perkantoran, hanya rumah besar bercat biru berlantai dua dengan pagar menjulang tinggi sekitar dua meter.
Dari sela-sela pagar, tak banyak terlihat aktivitas layaknya sebuah kantor. Tak lama berselang, seorang pria paruh baya dengan kemeja putih datang menghampiri, membuka pagar, dan menyapa. Ia mengaku bernama Andi, dari bagian keuangan kantor. Namun enggan berkomentar banyak. "Cuma sekitar lima-enam orang [di dalam]. Ada renovasi juga, ada tukang," katanya kepada GATRA.
Humas PT Sentosa Karya Aditama, Muhammad Yuto, yang dihubungi secara terpisah, menyangkal keterlibatan pihaknya dalam kasus penyaluran PMI secara ilegal yang terjadi di Bogor dua pekan lalu. "Kami tidak pernah terlibat dan tidak memiliki hubungan hukum apa pun kepada yang bersangkutan, yang bernama Mego," tuturnya kepada Muhammad Almer Sidqi dari GATRA. Ia mengaku sudah melapor ke Bareskrim.
***
Langkah BP2MI dalam menggerebek tempat penampungan calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural atau ilegal, terus berlanjut. Sehabis di Perumahan Permata Cibubur, Cileungsi, Bogor, berlanjut di Apartemen Bogor Icon, Gedung Alphine, Bukit Cimanggu, Bogor, Jawa Barat, Jumat dua pekan lalu. Dalam penggerebekan, ditemukan 19 calon pekerja migran dan berhasil dievakuasi untuk diamankan. Dari 19 calon PMI, tiga di antaranya adalah perempuan.
Rencananya, mereka akan diberangkatkan ke Thailand oleh dua perusahaan berbeda, yakni PT Duta Buana Bahari dan Nadies Citra Mandiri. Namun, kedua perusahaan ini tidak terdaftar secara resmi. Oleh karena itu, BP2MI pun kembali melaporkan kasus tersebut ke Bareskrim Polri.
Kanit IV TPPO Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Kompol Chuck Putranto, mengatakan bahwa sejauh ini hasil pemeriksaan menunjukkan kasus tersebut tidak terpenuhi unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan pidana PMI, tetapi hanya dugaan penipuan. "Kami lagi membuat laporan hasil penyelidikannya, kemudian kami buat surat karena BP2MI yang serahkan ke kami, jadi kami harus buat surat ke sana," ujarnya saat dihubungi Erlina Fury Santika dari GATRA, Senin malam lalu.
Chuck menjelaskan mengapa kasus tersebut tidak termasuk TPPO dan pidana PMI. Dalam TPPO, ada tiga hal yang harus dibuktikan, di antaranya proses, cara, dan tujuannya. Proses itu dilihat melalui rekrutmen atau penawaran. Cara, harus dibuktikan melalui apa korban berangkat dan apakah sudah menempati negara yang dituju. Adapun tujuan, yakni untuk dimanfaatkan tenaganya.
Jadi, buktinya belum cukup dan pihaknya belum menemukan bagaimana cara 19 korban itu akan disalurkan. Korban juga belum menempati negara yang dituju atau minimal "terdampar" saat transit di negara lain. Hal serupa dijelaskan di UU PMI, korban harus sudah ditempatkan di tempat atau negara lain. "Ini mereka masih di Indonesia," ucap Chuck.
Menurut Chuck, kejahatan pelaku tidak sempurna bukan atas kehendaknya, melainkan karena sudah ditangkap terlebih dahulu. Berbeda dengan kasus anak buah kapal (ABK) Long Xing 629. "Itu kan jelas, mereka diyakinkan sebagai ABK legal, ternyata tidak. Tidak ada proses administrasi, diberangkatkan kerja, tetapi tidak digaji. Itu jelas [TPPO]," ujarnya.
Terkait persoalan hukum tersebut, Benny menilai butuh keseriusan dari aparat hukum dalam menanganinya. Dunia ketenagakerjaan, khususnya PMI, adalah dunia perbudakan modern yang sering terjadi. "Perbudakan modern ini, kita sebut mereka adalah sindikasi mafia yang melibatkan pemilik modal dengan orang-orang yang hari ini memiliki atribut-atribut kekuasaan," ia menjelaskan.
Banyak oknum berperan dalam penempatan PMI secara ilegal. "Ada oknum kemlu, oknum polisi, oknum tentara, oknum imigrasi, oknum naker, dan oknum BP2MI," kata Benny lagi.
GATRA berupaya mengonfirmasi temuan-temuan itu kepada Dirjen Imigrasi, Jhony Ginting, tetapi belum mendapat tanggapan.
Dalam catatan BP2MI, hingga kini sudah ada 3,7 juta orang PMI yang penempatannya berjalan dengan legal. Namun jika melihat angka dari Bank Dunia, jumlah PMI di luar negeri ada 9 juta jiwa. "Kalau kita mengaminkan data dari World Bank, maka akan ada gap angka sebesar 5,3 juta anak bangsa yang tidak masuk dalam sistem kita atau disebut itu ilegal," kata Benny.
Direktur Sosialisasi dan Kelembagaan Penempatan BP2MI, Servulus Bobo Riti, mengungkapkan mengapa persoalan penyaluran PMI dengan cara ilegal masih terus marak. "Sebab, di negara tujuan ada pasar dan mekanisme pasarnya. Jadi, ada mekanisme pasar gelapnya yang sudah mengatur dan ada pasar yang sungguh membutuhkan," ucapnya kepada GATRA.
Menurut Servulus, pihak pengguna atau user memilih para PMI dengan cara ilegal karena lebih murah. "Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya perekrutan, bayar pajak, tidak perlu menggaji, atau memberikan upah yang sesuai standar nasional dan lainnya," ujarnya.
Meski pemerintah telah membendung dan memberantas pasar gelap tersebut, mata rantai ilegal itu selalu melahirkan cara baru. "Sepanjang pasar gelap atau ilegal di negara tujuan penempatan itu ada, sepanjang itu juga suplai dari negara asal akan selalu tersedia," kata Servulus.
Modus perekrutannya pun beragam. Pertama, mengiming-imingi calon pekerja dengan kerja enak dan upah besar. Calo atau sponsor atau makelar ini, cari mangsa ke desa-desa dan membuai dengan janji-janji. Kedua, melakukan praktik renten dan ijon, seperti memberikan dana di depan kepada calon pekerja untuk semua kebutuhannya. Padahal, itu akan mejerat mereka nantinya. Ketiga, memberikan dana tali kasih atau uang keikutsertaan. "Biasanya uang tali kasih ini dikasih ke suami atau orang tua atau keluarga dari calon pekerja," Servulus membeberkan.
Ia pun mengamini bahwa daerah sumber PMI menjadi lumbung para penyalur ilegal ini untuk merekrut mangsanya. Tercatat ada 10 provinsi terbesar yang menjadi sumber PMI dalam tiga tahun terakhir, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sumatra Utara, Bali, Banten, Sumatra Selatan, dan Kepulauan Riau.
Sejauh ini, dalam catatan BP2MI, ada 318 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) berizin dan ada 126 perusahaan yang izinnya telah dicabut karena melakukan perbuatan ilegal atau melanggar aturan. "Saya berharap bukan hanya izin dicabut, tapi kita akan dorong menjadi masalah hukum. Sekarang kalau ada masalah, kita laporkan ke Bareskrim Polri. Sebelumnya, hasil pengaduan dari 2018, ada 415 kasus ABK dan sudah saya laporkan ke Bareskrim Polri," kata Benny Ramdhani.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenaker, telah melakukan upaya-upaya mencegah adanya PMI ilegal atau non-prosedural. Upaya tersebut, antara lain sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai penempatan dan pelindungan PMI secara prosedural, yang dilakukan di beberapa daerah kantong PMI, dengan melibatkan aparatur pemerintah desa, kabupaten/kota, serta lembaga swadaya masayarakat. "Juga memperkuat kerja sama bilateral dengan negara tujuan penempatan melalui MoU," kata Menaker Ida Fauziyah kepada GATRA melalui jawaban tertulis, Selasa lalu.
***
Sekjen Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki), Filius Yandono, mengatakan bahwa perusahaan atau agensi penempatan tenaga kerja migran ilegal sesungguhnya kerap meresahkan. "Pasalnya, agensi-agensi tersebut memotong rantai prosedural yang panjang dan mengiming-imingi penempatan kerja yang cepat dengan penghasilan yang tinggi. Kalau ikuti yang legal kan ada pelatihan, ujian, dan hal-hal prosedural lainnya," ucapnya kepada GATRA.
Filius melanjutkan, komitmen BP2MI dalam memberantas sindikat dan mafia penyalur PMI dengan cara non-prosedural, menjadi harapan baru bagi agensi-agensi legal yang selama ini kalah bersaing dengan agensi-agensi ilegal.
Di sisi lain, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, menyesalkan masih banyaknya PMI yang belum tercatat secara resmi. "Sebenarnya yang membuat mereka ilegal itu kan bukan pekerja migrannya, tapi orang-orang yang mencari untung dalam bisnis ini dan memanfaatkan posisi rentan pekerja migran," ucap Anis kepada M. Guruh Nuary dari GATRA.
Hal itu menjadi ironi di tengah undang-undang yang sudah sangat maju. "Praktik-praktik itu justru masih terjadi, bahkan masih masif karena implementasinya kan masih sangat kurang, ya, undang-undangnya," kata Anis.
Gandhi Achmad