Bank Dunia menyebut, Pekerja Migran Indonesia (PMI) mencapai 9 juta jiwa. Namun, hanya 4,5 juta yang diakui negara. Sisanya, diendus sebagai PMI ilegal. Pada 2019, remitansi dari PMI resmi mencapai Rp169 triliun. Jumlah remitansi yang hilang, diduga sama besarnya.
Baru-baru ini, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) kembali menggerebek calon PMI non-prosedural atau ilegal di Apartemen Bogor Icon, Gedung Alphine Lantai 12 Nomor 18, Bukit Cimanggu, Bogor, Jawa Barat. Kasus serupa sudah jamak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), sudah terdapat 200 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang dicabut izinnya dari 318 P3MI yang terdaftar.
Berbagai alasan pencabutan surat izin P3MI, yaitu; atas 126 perusahaan yang tidak menyesuaikan Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 terkait pemenuhan deposito menjadi Rp1,5 miliar dan modal disetor Rp5 miliar; terhadap 32 perusahaan yang tidak memperpanjang izin; atas 15 perusahaan yang tidak memenuhi syarat sarana dan prasarana; atas 14 perusahaan menempatkan pekerja migran ke Arab Saudi saat penutupan; atas 9 perusahaan mundur sebagai anggota P3MI; atas 3 perusahaan yang merekrut dan menempatkan secara non-prosedural; dan atas 1 perusahaan kena kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Menurut Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Ida Fauziyah, banyaknya PMI ilegal karena masih adanya oknum yang mengiming-imingi calon pekerja dengan penempatan secara non-prosedural. Selain itu, pencari kerja mudah tergiur dengan proses penempatan secara instan dan banyak dari mereka yang belum mengetahui proses penempatan sesuai prosedur untuk menjadi PMI. Adanya bantuan dana tinggalan untuk keluarga dan permintaan terhadap PMI di luar negeri, juga menjadi faktor.
Padahal, berbagai upaya telah dilakukan Kemnaker, seperti sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai penempatan dan pelindungan PMI secara prosedural, melibatkan aparatur pemerintah desa, kabupaten/kota, serta lembaga swadaya masayarakat. Kemnaker juga memperkuat kerja sama bilateral dengan negara tujuan penempatan melalui nota kesepahaman dan banyak upaya lain.
Banyaknya PMI ilegal juga disesalkan oleh Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah. Menurutnya, hal ini terjadi karena banyak penyalur mengambil untung dari para pekerja migran. "Sebenarnya yang membuat mereka ilegal itu, kan bukan pekerja migrannya, tapi orang-orang yang mencari untung dalam bisnis ini dan memanfaatkan posisi rentan pekerja migran," ujarnya saat dihubungi GATRA.
Akibatnya, para pekerja migran kehilangan hak perlindungan hukum karena terseret dalam proses ilegal. Ujung-ujungnya, PMI ilegal itu menjadi korban. "Jadi ironi di tengah undang-undang kita yang sudah sangat maju, praktik-praktik itu justru masih terjadi, bahkan masih masif karena implementasinya kan masih sangat kurang, ya, undang-undangnya," Anis menambahkan.
Untuk membendung hal tersebut, Indonesia harus bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Pada masa pandemi seperti sekarang pun, tawaran untuk kerja ke luar negeri masih banyak. "Susah sekali membedakan, menelusuri mana sih yang benar-benar ini bukan penipuan, yang benar-benar ini sesuai prosedur, yang benar sesuai aturan yang ada, itu enggak mudah, karena masyarakat juga kan banyak yang pengetahuannya terbatas," tutur Anis.
Meski sudah mencanangkan sejumlah program bagi PMI jalur resmi, masih ditemukannya PMI ilegal melalui P3MI tentu menggerogoti potensi penerimaan negara atau remitansi. Sayangnya, pemerintah belum punya data pasti berapa potensi kehilangan remitansi karena PM ilegal. "Kami tidak dapat menghitung berapa potensi ekonomi yang hilang sebagai akibat PMI ilegal, karena tidak memiliki data jumlah PMI non-prosedural," kata Ida melalui surat tertulis yang dikirimkan kepada GATRA.
Namun, kata Ida, Menteri Keuangan Sri Mulyani, ketika menjabat sebagai Direktur World Bank, sempat mengatakan bahwa uang hasil keringat para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dipungut oleh lembaga keuangan pengirim remitansi, sebesar 15%. "Jadi, kalau sekarang remitansi kita Rp169 triliun pada tahun 2019, maka sekitar Rp25 triliun sampai Rp30 triliun yang hilang sia-sia. Dipungut oleh lembaga keuangan pengiriman uang TKI," ujarnya.
Bagi PMI ilegal yang tidak memiliki dokumen memadai, jaringan pengiriman uang juga menjadi makin terbatas, tidak aman, dan berbiaya tinggi. Pada 2018 Bank Dunia mencatat ada 9 juta PMI yang bekerja di luar negeri. Anis menyayangkan bahwa Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun Migran Care, hanya mencatat sekitar 4,5 juta saja. "Bank dunia mencatat pekerja migran ada 9 juta, tapi pemerintah hanya mencatat hanya 4,5 juta. Jadi, separuhnya kan [ilegal]. Data Bank Dunia kan valid toh, ada data arus remitansi itu kan yang mereka catat," tuturnya.
***
Pagebluk Covid-19 yang belum usai, turut menghambat penyaluran tenaga kerja migran Indonesia. Perusahaan penyalur PMI pun harus menghentikan aktivitasnya, sebab semua negara tujuan penyalur PMI melakukan lockdown untuk meminimalisasi penyebaran virus SARS-CoV-2.
Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI, Ayub Basalamah, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang dinaunginya belum bisa menyalurkan PMI hingga waktu yang belum dapat ditentukan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia. "Karena diakibatkan Covid-19, [kami] stop sementara, menunggu Covid-19 di negara penempatan merendah," ucapnya.
Implikasinya, ada sekitar 200 perusahaan penyalur PMI terpaksa kehilangan pemasukannya. Padahal, jasa penyaluran PMI merupakan salah satu penyumbang pendapatan negara terbesar. Negara-negara tujuan PMI terbesar seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan, terbukti mendorong perekonomian nasional, terutama di perdesaan dan kota-kota kecil Indonesia. "Mengingat secara demografis, Indonesia kelebihan angkatan kerja dan ini bisa menjadi sektor utama bagi kita memulihkan semua sektor ekonomi," ujar Ayub.
Ayub memaparkan, pada 2019 saja, perusahaan penyalur PMI bisa mendapatkan remitansi hingga Rp150 triliun. Total remitansi selama tiga tahun mencapai lebih dari Rp500 triliun, dengan kurang lebih 1,5 juta PMI yang disalurkan ke berbagai negara. "Ada lebih kurang dari 1,5 juta PMI yang tercatat. Yang tidak tercatat, berangkat non-prosedural/ilegal, sama banyaknya," katanya.
Oleh karena itu, Ayub hanya bisa berharap pandemi Covid-19 dapat segera berlalu, agar negara-negara tujuan PMI membuka pintunya kembali bagi para pekerja migran.
Fitri Kumalasari, Ryan Puspa Bangsa, M. Guruh Nuary, dan Qonita Azzahra
Jumlah PMI Terdaftar dalam SISKOTKLN (Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri) 2016-2019
2016: 234.451
2017: 262.899
2018: 283.640
2019: 277.434
Sumber: Kemnaker
Remitansi TKI menurut Negara Penempatan 2017-2020 (Juta US$)
ASEAN
2017: 3,390
2018: 3,652
2019: 3,687
2020 (Q1): 817
Malaysia
2017: 2,986
2018: 3,234
2019: 3,252
2020 (Q1): 715
Singapura
2017: 327
2018: 341
2019: 355
2020 (Q1): 79
Brunei Darussalam
2017: 76
2018: 76
2019: 79
2020 (Q1): 21
Lainnya
2017: 2
2018: 1
2019: 1
2020 (Q1): 2
Asia selain ASEAN
2017: 2,303
2018: 2,890
2019: 3,388
2020 (Q1): 684
Hong Kong SAR
2017: 814
2018: 1,058
2019: 1,229
2020 (Q1): 244
Taiwan, Provinsi China
2017: 1,087
2018: 1,323
2019: 1,574
2020 (Q1): 301
Korea Selatan
2017: 182
2018: 272
2019: 323
2020 (Q1): 74
Jepang
2017: 170
2018: 190
2019: 213
2020 (Q1): 47
Makau
2017: 49
2018: 48
2019: 48
2020 (Q1): 14
Lainnya
2017: 1
2018: 1
2019: 3
2020 (Q1): 4
Australia dan Oseania
2017: 19
2018: 16
2019: 16
2020 (Q1): 12
Timur Tengah
2017: 2,921
2018: 4,362
2019: 4,290
2020 (Q1): 1,045
Afrika
2017: 2
2018: 0
2019: 2
2020 (Q1): 2
Amerika
2017: 87
2018: 19
2019: 20
2020 (Q1): 8
Eropa
2017: 39
2018: 35
2019: 32
2020 (Q1): 8
Jumlah
2017: 8,761
2018: 10,974
2019: 11,435
2020 (Q1): 2,575
Sumber: Bank Indonesia dan BNP2TKI