Home Politik Gerak Mundur Organisasi Penggerak

Gerak Mundur Organisasi Penggerak

Majelis Disdakmen Muhammadiyah, LP Maarif NU, dan PGRI mengundurkan diri dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud. Pemilihan peserta dianggap tidak transparan dan peserta terpilih dipertanyakan kredibilitasnya. Kemendikbud tetap melanjutkan program.


Jauh panggang daripada api. Begitu anggapan yang muncul dalam benak Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Kasiyarno, perihal Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ini merupakan program yang ditujukan bagi berdirinya Sekolah Penggerak yang melibatkan peran serta organisasi masyarakat. Fokus utamanya peningkatan kualitas guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan demi peningkatan hasil belajar siswa.

Oleh karena itu, awalnya Kasiyarno memuji program Kemendikbud ini sebagai program bagus, kreatif, dan sangat dibutuhkan untuk mengubah kualitas pendidikan di masa depan. Apalagi, Indonesia masih punya banyak masalah di bidang pendidikan. Mulai dari akses pendidikan di daerah terpencil hingga masalah-masalah pendidikan di perkotaan. Maka kemunculan program itu, menurutnya, haruslah mendapat apresiasi.

Mewakili Muhammadiyah, Kasiyarno mengajukan proposal untuk terlibat dalam program. Hasilnya, PP Muhammadiyah lolos dan masuk dalam kategori Gajah. Kemendikbud memang membagi kategori peserta dalam tiga skema: kategori Kijang dengan dana hingga Rp1 miliar, Macan dengan dana hingga Rp5 miliar, dan Gajah dengan dana hingga Rp20 miliar.

Dalam prosesnya, Kasiyarno menemukan kejanggalan. Salah satunya, ia mendapat informasi tentang adanya 186 lembaga yang lolos administrasi, tetapi tak pernah ada jadwal visitasi untuk verifikasi di lapangan. Informasi ini membuatnya bertanya-tanya. Apakah organisasi yang lolos itu kompeten, kredibel, dan memenuhi syarat?

Dari kecurigaan itu, Kasiyarno lalu berkoordinasi dengan anggota Muhammadiyah di beberapa daerah untuk membuktikan keabsahan lembaga-lembaga tersebut. "Kantor enggak punya, apalagi staf. Program juga enggak jelas, enggak ada bukti yang bisa ditunjukkan. Itu bisa lolos mendapat [kategori] Gajah. Ini, kan repot," ujar Kasiyarno di Kantor PP Muhammadiyah kepada Wartawan GATRA Erlina Fury Santika, Selasa pekan lalu.

Bahkan, ada organisasi dalam bentuk paguyuban atau forum CSR (corporate social responsibility) yang juga mendapat kategori Gajah. Menurutnya, organisasi semacam itu patut diselidiki lebih lanjut. Ia menduga, ada beberapa lembaga yang memiliki kedekatan dengan pejabat, sehingga ditengarai memudahkan proses penyeleksian.

Atas dasar itulah, Kasiyarno menegaskan bahwa PP Muhammadiyah memutuskan mundur dari POP Kemendikbud. "Daripada kita ini sudah susah payah ingin bantu pemerintah dengan baik, sementara yang lain tidak serius. Tentu Muhammadiyah kena imbasnya," ucapnya.

Muhammadiyah tidak sendiri. Usai memutuskan keluar, LP Maarif Nahdlatul Ulama (NU) menyusul. Ketua LP Maarif NU, Arifin Junaidi, beralasan bahwa hasil seleksi calon organisasi penggerak tidak mencerminkan konsep dan kriteria organisasi penggerak yang jelas. "Saya sudah mempelajari. Penerimanya aneh-aneh. Ada yang proposalnya diajukan [padahal] sudah tahu dia akan dapat," kata Arifin kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.

Keberatan LP Maarif NU juga terkait dengan siaran pers dari Kemendikbud khusus untuk Tanoto Foundation dan Yayasan Putra Sampoerna. Keterangan pers itu mengatakan, keduanya tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam program ini. "Ngapain daftar di situ. Kalau dia dana sendiri, saat ini kami juga melakukan pelatihan untuk madrasah sampai Oktober 2020. Latihan ini didanai sendiri. Aneh. Dalam keputusan itu, yang mengajukan proposal memperoleh dana. Sekarang dibantah pakai dana sendiri," tutur Arifin.

Menyusul Langkah LP Maarif NU dan Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) resmi menarik diri dari POP Kemendikbud. Seperti Muhammadiyah dan NU, Ketua umum PGRI, Unifah Rosyidi, menyebutkan salah satu alasan yang mendorong PGRI menarik diri, yaitu kriteria pemilihan dan penetapan peserta program tidak jelas. 

***

Dalam polemik POP Kemendikbud, masuknya Tanoto Foundation dan Yayasan Putra Sampoerna juga jadi sorotan publik. Keduanya dinilai kurang tepat masuk dalam daftar organisasi yang lolos seleksi POP, karena keduanya merupakan CSR dari induk perusahaan masing-masing. Namun Direktur Komunikasi Tanoto Foundation, Haviez Gautama, menjelaskan bahwa Tanoto Foundation bukanlah sebuah organisasi CSR dari suatu grup bisnis. 

Organisasi ini, diklaim sebagai filantropi independen dengan misi mengembangkan potensi individu dan memperbaiki taraf hidup, melalui pendidikan yang transformatif. Haviez juga menepis anggapan bahwa pihaknya menggunakan dana pemerintah. "Tidak ada hibah dana pemerintah ke Tanoto Foundation," katanya seperti dilaporkan Ucha Julistian Mone dari GATRA.

Sejak proses pendaftaran POP, pihak Tanoto mengaku telah memilih skema pembiayaan mandiri di dalam pelaksanaannya. Dengan skema itu, Tanoto Foundation justru akan menginvestasikan lebih dari Rp50 miliar untuk pengembangan pendidikan Indonesia pada periode 2020-2022 mendatang. "Jadi, tidak ada dana dari pemerintah/APBN yang digunakan Tanoto Foundation," ucap Haviez.

Di samping itu, Direktur Program Pendidikan Dasar Tanoto Foundation, Ari Widowati, mengatakan bahwa dalam proses pendaftaran, Tanoto Foundation memasukkan pilihan pendanaan secara mandiri. Maka dari itu, mereka tidak menerima bantuan dana dari pemerintah dalam menjalankan program. 

Sejak 16 April 2020, mereka mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan Kemendikbud kecuali melalui platform tanya jawab POP. Selain itu, mereka juga dihubungi secara blind review oleh evaluator dalam proses seleksi, sehingga pewawancara tidak mengetahui asal organisasi. "Semua dilakukan dengan prosedur yang ketat," kata Ari.

Di sisi lain, Head of Marketing & Communication Putera Sampoerna Foundation, Ria Sutrisno, memberikan klarifikasi senada. Ria menyebut, Putera Sampoerna Foundation bukan Organisasi CSR dari PT HM Sampoerna Tbk. Putera Sampoerna Foundation secara terbuka telah dipilih oleh Kemendikbud untuk menjadi salah satu pelaksana POP, bersama ratusan organisasi lainnya.

Ria menjelaskan, Putera Sampoerna Foundation merupakan yayasan usaha sosial yang didirikan dan bertujuan meningkatkan kualitas serta akses pendidikan bagi bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, yayasan tidak menggunakan dana operasional korporasi dari PT HM Sampoerna Tbk. "Ini bukan CSR. Kami adalah yayasan yang fokus kepada peningkatan kualitas pendidikan. Kami memilih skema partnership dengan berbagai pihak sebagai wujud komitmen kolaborasi dalam memajukan pendidikan nasional," ujarnya.

***

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, menjawab kritik terhadap Program Organisasi Penggerak, yang menjadi salah satu gagasan unggulannya, dengan menggelar taklimat media secara daring. Nadiem mengaku berkomitmen menyempurnakan gagasan program tersebut.

Komitmen yang akan dilaksanakan Kemendikbud terhadap penyelesaian polemik ini, yaitu melakukan evaluasi lanjutan terhadap pelaksanaan POP. "Evaluasi lanjutan akan melibatkan berbagai pakar pendidikan, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan juga lembaga-lembaga negara," kata Nadiem.

Nadiem mengaku menaruh harapan besar terhadap kesuksesan POP. Dengan asas gotong royong, ia menyebut POP sebagai bentuk permintaan tolong Kemendikbud kepada gerakan masyarakat untuk menemukan inovasi gerakan reformasi pendidikan yang selama ini luput dari perhatian kementerian. Maka dari itu, POP akan tetap berjalan dengan adanya penambahan evaluasi lanjutan.

Meski tidak secara eksplisit menyebutkan nama Muhammadiyah, LP Maarif NU, dan PGRI, Nadiem menegaskan pihaknya akan tetap melibatkan organisasi yang selama ini berandil besar dalam peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Ia mengatakan, suatu kehormatan bagi Kemendikbud untuk berdiskusi dan mendapat dukungan dari organisasi tersebut dalam rangka menyukseskan POP. "Tanpa peran aktif organisasi dengan sejarah yang panjang, pencapaian pendidikan kita tidak mungkin sampai pada titik ini," ucapnya.

Pengamat Pendidikan dari Komnas Pendidikan, Andreas Tambah, menilai bahwa mundurnya ormas-ormas besar dari POP bisa jadi karena ketidakjelasan proses seleksi. "Saya yakin, kekecewaan NU, Muhammadiyah, PGRI, mungkin seperti itu. Begitu masuk, bergabung, loh kok orang-orangnya begini. Jadi, bukan masalah pembiayaan, tapi kompetensinya diragukan. Kalo saya melihatnya seperti itu," ujarnya saat dihubungi Dwi Reka Barokah dari GATRA, Sabtu pekan lalu.

Menurut Andreas, verifikasi mestinya tak hanya dilakukan berdasarkan berkas-berkas yang didaftarkan organisasi. Tahap seleksi ini harus disertai dengan pengawasan di lapangan untuk memastikan apakah organisasi tersebut memang benar-benar ada secara fisik dan sudah berapa lama mereka berdiri. Bagi Andreas, kejanggalan ini akan membuat masyarakat mempertanyakan kompetensi dari organisasi-organisasi yang lolos.

Andreas pun mempertanyakan mengapa pemerintah tidak langsung menggandeng organisasi besar yang mutu dan kredibilitasnya sudah tidak diragukan lagi. "Mengapa harus menggandeng organisasi-organisasi yang munculnya dadakan? Saya juga bingung. Kok tiba-tiba ada ratusan organisasi yang bergerak di pendidikan. Saya tuh amat sangat bingung," ujarnya.

Hidayat Adhiningrat P.

Program Organisasi Penggerak

- 260 organisasi kemasyarakatan mengirim proposal.

- 156 organisasi terpilih sebagai peserta program.

- Menggunakan tiga kategori: Gajah, Macan, Kijang

- Kategori Gajah: Target lebih dari 100 sekolah atau PAUD dengan alokasi anggaran Rp20 miliar/tahun.

- Kategori Macan: Target lebih dari 21-100 sekolah atau PAUD dengan alokasi anggaran Rp5 miliar/tahun.

- Kategori Kijang: Target lebih dari 5-20 sekolah atau PAUD dengan alokasi anggaran Rp1 miliar/tahun.

- Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, LP Maarif NU, dan PGRI mengundurkan diri dari program.

(Sumber: data Kemendikbud dan wawancara, diolah)