Home Politik Kuliah Jauh tetapi Bayar Penuh

Kuliah Jauh tetapi Bayar Penuh

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menuntut keringanan uang kuliah tunggal. Disuarakan lewat aksi turun ke jalan hingga demonstrasi virtual yang viral via media sosial. Permendikbud 25/2020 dianggap tak solutif.


Demonstrasi zaman sekarang tak hanya dilakukan di jalanan. Di dunia maya, mahasiswa yang menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT), bisa protes dengan membuat hashtag atau tanda pagar (tagar) lalu mengunggahnya di media sosial.

Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) misalnya, menggemakan #InstitutPalingBorjuis. Mereka membandingkan besaran UKT yang harus mereka bayar dengan kampus negeri lain, yang ternyata UKT IPB tergolong mahal. Tagar ini sempat menjadi tren di Twitter pada 20 Juni dengan 8.324 kicauan. Di kampus lain, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) melawan lewat #UIBergerak, mahasiswa UNS Solo meneriakkan #UniversitasNggaweSusah, atau kampus yang bikin susah, karena uang kuliah mahal.

Selain buka suara di dunia maya, mahasiswa juga tetap turun ke jalan. Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI pernah beraudiensi dengan rektorat pada 6 Juli lalu. Hasilnya, pihak rektorat menyatakan tidak dapat memberikan respons segera terhadap rekomendasi mahasiswa, karena butuh kajian mendalam. Rektorat juga beralasan ada pengurangan bantuan dari pemerintah. Audiensi diakhiri sepihak oleh rektorat.

Di Yogyakarta, mahasiswa UGM berdemo di depan Gedung Rektorat UGM. Mereka membawa keranda hitam untuk menyuarakan protes terkait UKT, dua pekan lalu. Pihak kampus sudah memutuskan akan mendiskon UKT setelah pertemuan antara mahasiwa dan rektorat pada 2 Juli 2020. Namun mahasiswa tak puas terkait besaran potongan dan distribusi bantuannya.

Yang paling parah, yaitu buntut aksi protes mahasiwa Universitas Nasional (Unas), Jakarta. Rentetan aksi mahasiswa berbuah sanksi drop out (DO), bahkan hingga pelaporan ke kepolisian. Akun Instagram @unasgawatdarurat dilaporkan, karena pihak rektorat menilainya sebagai ujaran kebencian. Laporan didaftarkan di Polres Jakarta Selatan sebagai pelanggaran UU ITE, Pasal 27 dan 29.

Para mahasiswa juga dijerat Pasal 170 dan 406 KUHP tentang perusakan barang. Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Unas, Mochammad Ali Asghar, mengatakan bahwa demonstrasi mahasiswa sampai pada pengadangan terhadap beberapa tenaga pengajar dan perusakan beberapa mobil dosen. "Mereka adang, kita bertahan satu jam. Mereka tetap bergeming, bahkan mengejar mobil dosen dan menginjak-injak. Sudah di luar kepatutan," ujarnya kepada Wartawan Gatra, M. Almer Sidqi.

Asghar mengatakan, Rektor Unas sudah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 52/2020 tentang pemotongan biaya kuliah semester genap tahun akademik 2019/2020 sebesar Rp100.000. Bantuan ini diberikan kepada seluruh mahasiswa aktif untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pada 18 Mei 2020, pihak universitas kembali memberikan bantuan tambahan sebesar Rp150.000 dalam bentuk pengurangan biaya kuliah semester berjalan 2019/2020.

Diskon ini diberikan khusus pada mahasiswa yang terdampak Covid-19. Kampus juga menyiapkan skema pembayaran dengan mencicil. Namun, memang tak seluruh tuntutan mahasiswa dapat dipenuhi. "Kami ini kampus swasta, bukan kampus negeri. Kami mandiri dalam pengelolaan," ucap Asghar.

Mahasiswa menuntut potongan UKT sebesar 50%-60%. Korlap Aksi Mahasiswa Unas, Bayu M., menjelaskan bahwa kampus hanya mendiskon Rp100.000, itu pun kuotanya dibatasi untuk 10.000 mahasiswa dari total 13.477 mahasiswa aktif. Adapun Uang Paket Semester (UPS) di Unas sekitar Rp7-10 juta rupiah per semester. "Potongan biaya kuliah tersebut kami nilai tidak demokratis di tengah situasi krisis," ujar Bayu kepada GATRA.

Bayu juga mengeklaim bahwa mahasiswa memiliki informasi valid tentang dosen dan pekerja yang upahnya dipotong oleh pihak kampus. Para dosen tetap dipotong sebesar Rp1,1 juta. "Kita kritisi lagi di dalam tuntutan kami untuk memberikan upah penuh terhadap dosen, cleaning service, dan office boy," ia menambahkan.

Unjuk rasa mahasiswa berujung pemanggilan terhadap 27 mahasiswa. Dari pemanggilan tersebut ada tiga mahasiswa di-DO, dua mahasiswa mendapat skors, dan 17 mahasiswa diberi peringatan keras.

 

***

 

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nizam, mengatakan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 25 Tahun 2020 sebagai kerangka gotong royong dalam menyelesaikan persoalan UKT. Di masa pandemi memang banyak masyarakat yang ekonominya terdampak, tetapi penyelenggaraan pendidikan tetap berjalan dan butuh pembiayaan. Misalnya, harus menggaji dosen, keamanan, pemeliharaan gedung, dan kebersihan.

"Bagaimana membiayainya? Ya harus bergotong royong. Kalau PTN, ya dari pemerintah dan mahasiswa, sedangkan kalau PTS, dari yayasan, bantuan pemerintah, dan mahasiswa atau masyarakat," tutur Nizam saat dihubungi Ucha Julistian Mone dari GATRA. Menurutnya, masalah pembiayaan ini tak bisa dibereskan pemerintah sendiri. Kemendikbud mengembalikan keputusan keringanan kepada rektor masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu Permendikbud 25/2020.

Hasil pantauan kementerian, kampus-kampus sudah mengupayakan membantu mahasiswa. Nizam yakin, gesekan antara rektorat dan mahasiswa hanya karena kesalahpahaman terkait prosedural pengajuan keringanan saja. "Kalau ada prosedur administrasi yang harus dipenuhi [mahasiswa], wajar, karena penggunaan uang negara ada akuntabilitasnya. Harus ada kecermatan juga untuk memastikan bantuan tepat sasaran," ujarnya.

Semester depan, Kemendikbud akan mengucurkan Rp4,1 triliun untuk membantu mahasiswa. Alokasinya untuk beasiswa bidik misi bagi 267 mahasiswa lama, KIP-Kuliah bagi 200.000 mahasiswa baru, baik negeri maupun swasta, serta paket bantuan uang saku kuliah sebesar Rp419.000 bagi mahasiswa semester 3, 5, dan 7.

Pada 18 Juni lalu, Mendikbud Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud 25/2020 untuk memberikan dukungan finansial bagi mahasiswa terdampak Covid-19. Pelajar dapat mengajukan kerinanan UKT. Mahasiswa yang sedang cuti kuliah atau menunggu kelulusan pun tidak wajib membayar UKT. Lalu, mahasiswa semester akhir dapat membayar maksimal 50% UKT saja. Namun, keputusan terkait UKT akhirnya diserahkan kepada masing-masing kampus.

Permendikbud ini dianggap tak solutif. Sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengajukan uji materi regulasi tersebut ke Mahkamah Agung. Yang diuji, yaitu Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa mahasiswa wajib membayar UKT secara penuh pada setiap semester. Ini bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU Pendidikan Tinggi (Dikti), dan UU Penanggulangan Bencana.

Langkah judicial review diambil mahasiwa, lantaran rektorat selalu berdalih kebijakan otonom rektor soal kebijakan UKT dilegitimasi oleh Permendikbud tersebut. Mahasiswa merasa tuntutan mereka soal keringanan UKT tak ditanggapi manajemen kampus.

Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, melihat Permendikbud 25/200 tak mengurai masalah. Di lapangan, kebijakan keringanan masih belum diterima mahasiswa. "Kenyataannya, kan masing-masing kampus belum [menerapkan]. Artinya, implementasinya di lapangan belum dirasakan mahasiswa," ujarnya kepada Wartawan GATRA, Erlina Fury Santika.

Menurutnya, Permendikbud ini seperti saling melempar tanggung jawab antara pemerintah dan kampus. Padahal situasi pandemi ini perlu direspons dengan kebijakan yang luar biasa, terutama oleh pihak kampus. Meskipun ada biaya operasional yang harus dibayar kampus, biaya UKT harusnya bisa lebih ditekan karena operasional kampus tidak berjalan penuh seperti masa normal. Biaya listrik, telepon, internet, konsumsi dosen, otomatis berkurang, sehingga meringankan biaya operasional.

"Kalau kampus enggak beroperasi, kenapa UKT penuh? Ini aneh juga. Saya tidak tahu kenapa kampus itu kekeuh sekali mempertahankan UKT itu. Menurut saya perlu ada audit, bisa juga dari Ombudsman," Darmaningtyas menegaskan.

Putri Kartika Utami