Home Laporan Khusus Kompleksitas Masalah Budi Daya Lobster

Kompleksitas Masalah Budi Daya Lobster

Sejumlah nelayan budi daya lobster menolak kebijakan ekspor benih lobster. Menteri KKP bergeming, karena faktor kompleksitas budi daya dan butuh waktu. Perlu belajar dari Australia dan Vietnam. 


Perairan teluk di Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Lombok, dikenal sebagai aset terbesar sumber daya lobster di dunia. Arus ombak di kawasan perairan Lombok sukses mendorong migrasi lobster muda yang disebut juvenil dari Perairan Australia dan Filipina. Bahkan, data dari Universitas James Cook Singapura menyebutkan arus migrasi juga datang dari arah Sumatra dan Oman. Belakangan, lobster (Panulirus spp.) akan terpusat di beberapa teluk di Lombok ini, seperti Teluk Bumbang, Teluk Awang, Teluk Grupuk, dan Srewe.

“Spesies lobster dari perairan Lombok dan Sumbawa adalah lobster mutiara dan pasir, yang harganya sangat tinggi baik di pasar domestik maupun mancanegara,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI), Rusdianto Samawa.

Tak mengherankan, kelompok nelayan di NTB adalah salah satu yang paling vokal menyuarakan penolakan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) yang diteken oleh Edhy Prabowo pada 4 Mei silam. Aturan baru ini memungkinkan dilakukannya ekspor benur atau benih bening lobster (BBL). Ketika masih wacana pun, setidaknya 413 nelayan pembudi daya lobster di Teluk Jukung, Kecamatan Jerowaru, sudah menyampaikan keberatan mereka langsung ketika Menteri Edhy berkunjung ke sana pada akhir tahun lalu.

Tapi Edhy jalan terus. “Kalau ternyata budi daya 100% belum ada kemampuan dan belum ada tempatnya, kita harus mulai kan. Anda harus bangun persiapan dulu membangun keramba jaring apungnya. Menentukan tempat dan sebagainya belum lagi transportasi. Sarana ini kan butuh waktu," tuturnya sekali waktu.

Budi daya memang butuh waktu tidak sebentar dan infrastruktur tidak sedikit. Dirjen Perikanan Budi Daya KKP, Slamet Soebjakto, memaparkan sejumlah tantangan pelaksanaan budi daya lobster di dalam negeri. Mulai sistem logistik input produksi yang belum memadai, kompetensi SDM pembudi daya ikan skala kecil belum memadai, pemanfaatan potensi lahan perikanan budi daya belum optimal, sertifikasi sistem produksi dan traceability belum ditangani dengan baik, kelembagaan pembudi daya ikan belum terkelola dengan baik, hingga manajemen pengendalian penyakit dan lingkungan belum optimal.

Sementara itu, dari sisi penjualan, pemasaran produk budi daya laut harus dalam kondisi hidup atau fresh, yang kerap belum terpenuhi. Lalu, diversifikasi kondisi ikan saat dipasarkan harus dalam kondisi hidup, fresh, dan beku. Belum lagi kurang tersedianya infrastruktur pendukung di kawasan budi daya (jalan, listrik, dan air tawar). “Padahal, budi daya lobster sangat menjanjikan untuk Indonesia. Sebab, hasil dari budi daya lobster dapat mendorong perekonomian, baik di daerah maupun nasional,” ujarnya seperti dilaporkan Qanita Azzahra dari Gatra.

Selain itu, budi daya lobster juga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Terlebih jika budi daya lobster dapat semakin dikembangkan. Tidak hanya dalam hal budi daya lobster sendiri saja, melainkan juga dalam hal pengadaan benih lobster.

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran (FPIK Unpad), Yudi Nurul Ihsan, menegaskan pentingnya budi daya lobster. Sebab jika tidak melakukan budi daya, artinya kita masih sangat ketergantungan kepada alam.

Sebetulnya, induk-induk lobster banyak ditemukan di wilayah selatan, terutama Samudra Hindia dan Australia. Mereka bertelur, memijah, dan menetas secara alami. Kemudian terbawah arus ke wilayah Indonesia. Sebagian ke wilayah barat Sumatera, selatan Pulau Jawa, dan ke wilayah timur Indonesia. Padahal, dalam data yang diteliti para ahli, maksimal survivalitas hanya 1% bahkan 0,25%. “Benih lobster kita saat ini masih mengandalkan pasokan dari alam. Kita belum berhasil melakukan pembenihan atau pemijahan lobster karena kita jauh tertinggal,” kata Yudi.

Sebagai akademisi, Yudi mendorong KKP melaksanan riset ketat. Baik terkait survival rate lobster maupun cara peningkatannya hingga soal pakan dan media budi daya. Riset soal media budi daya dan pakan penting dilakukan agar bisa didapatkan pakan dan habitat yang cocok bagi lobster. “Pembudidayaan lobster baiknya dilakukan di kawasan khusus yang mana tidak sama dengan kawasan penangkapan benih lobster. Selain karena letak geografis yang kurang sesuai, hal ini juga dilakukan untuk mengurangi resiko kontaminasi penyakit dari lobster ke benih lobster maupun sebaliknya,” Slamet menjelaskan.

KKP mengaku telah berusaha untuk memastikan ketersediaan lobster di perairan lepas. Karena itu, di dalam Keputusan Dirjen (Kepdirejen) Perikanan Budi Daya (PB) Nomor 178 Tahun 2020, ditetapkan agar pembudi daya melepasliarkan setidaknya 2% dari lobster yang telah dibudidayakan, dengan ukaran minimal lobster seberat 50 gram. Di kawasan budi daya lobster juga sudah diatur carrying capacity, sehingga jumlah lobster dibatasi sesuai dengan daya dukung kawasan tersebut dan akan menjamin lingkungan kawasan tersebut bisa sustainable.

Menurut Yudi, daerah yang tepat sebagai lokas lepas liar adalah pantai barat Sumatra, bagian selatan Jawa, dan Lombok. Bahkan kalau perlu dibuat Marine Protective Area (MPA) sebagai daerah khusus pelepasliaran lobster.

Selain itu, Yudi melanjutkan, Indonesia juga didorong terus belajar pada negara lain yang sudah berhasil melakukan budidaya seperti Australia dan Vietnam. Alih-alih hanya menjadikannya sebagai negara tujuan ekspor benih lobster Indonesia, tidak ada salahnya membuka penawaran kepada kedua negara itu melakukan budidaya langsung di Tanah Air, agar nelayan bisa belajar. Atau dengan menyusun strategi agar kedua pihak tersebut mau melakukan investasi dan budi daya di dalam negeri. 

Flora Libra Yanti dan Restu Nugraha Sauqi (Bandung)

 

Upaya Rekayasa Lobster

 

Salah satu taktik dalam budi daya lobster adalah artificial breeding. Metode yang sangat memungkinkan dilakukan walau memang butuh waktu. “Kalau mau breeding sendiri harus punya induk yang bagus, unggul, dan lainnya. Yang paling penting pemerintah konsisten dan menjalani tahapan, sekarang mungkin pembesan dulu dari benih yang ada sehingga besar dan mendapat induk yang bagus. Sehingga kalau ini sudah berjalan, dua atau tiga tahun ke depan kita bisa breeding sendiri yang benihnya tidak lagi tergantung ke alam,” tutur Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran (FPIK Unpad), Yudi Nurul Ihsan.

Balai Perikanan Budi Daya Air Payau (BPBAP) KKP telah mulai mencoba melakukan perekayasaan lobster sejak awal 2020. Kegiatan perekayasaan yang dikerjakan ialah pembesaran benih benih lobster dan pematangan gonad.

"Ini dalam rangka mendukung program KKP untuk industrialisasi budi daya lobster," kata perekayasa BPBAP Situbondo, Febriko, pada Minggu, 12 Juli silam.

Sosok yang akrab disapa Yayan ini memaparkan bahwa satu induk lobster bisa menghasilkan 25.000-50.000 nauplisoma atau anakan yang baru menetas. Dari jumlah tersebut, sekira 1%-nya bertahan dan menjadi benur. Dengan pemberian pakan yang tepat, tiap bulan dapat dihasilkan induk-induk yang matang gonad.

Kepala BPBAP Situbondo, Nono Hartanto, mengungkapkan pembagian perekayaan dimulai dari pembesaran lobster I (Puerulus-50 gram) atau untuk tujuan produksi lobster ukuran 50 gram. Adapun padat tebar larva 100 ekor/0,5 m⊃3; dengan media pemeliharaan di bak terkontrol dan keramba jaring apung (KJA).

Setelah mencapai ukuran 50 gram, kemudian dilakukan pembesaran lobster II (50 gram-250 gram) atau produksi lobster ukuran 250 gram. Padat tebar larva mencapai 50 ekor/0,5 m⊃3; dengan media pemeliharaan di bak terkontrol dan KJA.

Terakhir, pematangan gonad dan pemijahan lobster yang ditujukan untuk memproduksi induk lobster yang matang gonad dan siap memijah. Pakan yang digunakan untuk pematangan gonad induk berupa, kekerangan, krustasea, dan moluska dalam bentuk segar.

Flora Libra Yanti dan Restu Nugraha Sauqi (Bandung)