Home Laporan Khusus Aroma Kepentingan Hanoi dan Restu Jakarta

Aroma Kepentingan Hanoi dan Restu Jakarta

Polemik pembukaan keran ekspor benih lobster tidak berhenti pada perusahaan pengekspor. Selain tidak berdampak signifikan bagi penerimaan negara, ada kepentingan ekonomi Vietnam yang berkelindan dengan kebijakan pemerintah Indonesia terkait pembebasan operasi kapal cantrang.


Sejak Senin pekan lalu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Zulficar Mochtar, tak lagi menjejakkan kakinya di Gedung Mina Bahari 2. Aktivis Destructive Fishing Watch (DFW) ini, mengaku mengundurkan diri dari jabatan yang didapatnya melalui lelang pada 2015 lalu. "Ini soal prinsip," ia menegaskan.

Memang, Zulficar dikenal sebagai pentolan di lingkup aktivis lingkungan yang berkiblat pada keberlanjutan ekosistem laut. Pada era Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Zulficar kerap menargetkan larangan jangkar serta larangan penangkapan lobster di laut Indonesia.

Meski demikian, Zulficar tak mau membuat publik berspekulasi seputar pengunduran dirinya. "Ini hal biasa saja, tidak perlu heboh atau drama," katanya melalui akun Facebook pribadinya, Jumat, 17 Juli 2020.

Tak hanya Zulficar, beberapa hari kemudian, giliran Chalid Muhammad mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Konservasi dan Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Chalid menegaskan, ada beberapa alasan yang mendorongnya mundur dari tim yang dibentuk pada Januari lalu itu. Satu di antaranya, perlu pemisahan kelembagaan antara Komisi Pemangku Kepentingan dan Tim Konsultasi Publik.

"Konsultasi Publik sebaiknya dijalankan oleh mereka yang memiliki keahlian the art of facilitation dan berpegang pada prinsip content neutral," kata Chalid. Adapun pihak-pihak berkepentingan langsung atas kebijakan yang akan dikonsultasikan, misalnya wakil organisasi nelayan dan wakil dunia usaha, semestinya tidak menjadi bagian dari kelembagaan yang menyelenggarakan konsultasi publik.

Selain di KKP. Chalid sebenarnya juga aktif dalam Kelompok Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang beberapa waktu belakangan getol mengkritisi kebijakan Menteri KP, Edhy Prabowo. Belakangan, pilihan kebijakan Edhy yang bertolak belakang dengan era Susi, mendapat sorotan publik. Dari legalisasi kapal besar yang boleh mencari ikan di lautan Indonesia, pembebasan penggunaan cantrang, hingga ekspor benih bening lobster (BBL) ke Vietnam.

 

***

 

Sejak akhir tahun lalu, Menteri Edhy mulai merestui pembukaan kran ekspor BBL ke Vietnam. Jika dilihat dari data Food and Agriculture Organization (FAO), Vietnam baru menjadi pemain lobster budi daya sejak 2014. Menariknya, negara ini langsung melejit menjadi produsen teratas dari 10 negara produsen lobster budi daya.

Satu tahun kemudian, nilai ekspor lobster Vietnam mendadak turun drastis sejak 2015 hingga akhir 2019. jika dilihat dari trennya, pada periode 2015, ekspor lobster Vietnam mencapai 11.351 ton, lantas menurun hingga 6.774 ton pada 2016, dan terus menurun hingga 6.614 ton saja pada 2018. Di sisi lain, tren ekspor lobster Indonesia justru mengalami peningkatan sangat signifikan (lihat infografis). Ekspor Vietnam yang terjun bebas ini, memang disebabkan oleh dikeluarkannya Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang larangan pengeluaran lobster dari wilayah Indonesia.

Menurut Suhana, Tenaga Ahli KKP era Susi, Vietnam memang sangat mengotot untuk mengambil benih lobster Indonesia karena sarana budi daya yang mereka miliki sudah jauh lebih baik ketimbang Indonesia.

Selain itu, Vietnam juga memiliki kepentingan besar terkait ekspor lobster ke Cina pada Hari Raya Imlek tahun depan. Jika dilihat dari masa pembesaran lobster dari benih hingga siap panen, Indonesia baru bisa membudidayakan benih lobster hingga panen dengan jangka waktu 1 tahun hingga 1,5 tahun. Vietnam sudah bisa lebih cepat, hingga delapan bulan saja.

Menariknya, jika dilihat dari lini masa, Imlek akan jatuh pada bulan Februari tahun depan dan memang bertepatan dengan masa panen lobster. Dari data perilaku ekspor, sejak 2012 hingga triwulan I 2020, pola lonjakan ekspor lobster memang terjadi satu bulan jelang Imlek. "Jika mereka ngotot impor sekarang, maka hitungannya sudah pas," ujar Suhana.

Cina memang menjadi sasaran ekspor negara-negara produsen lobster. Pada tahun lalu, permintaan Cina untuk lobster Panulirus spp sebesar 61% dari semua share nilai impor dunia, mencapai US$1,02 miliar. "Vietnam sebenarnya sedang mengejar itu," ucap Suhana kepada GATRA.

Bagi Suhana, kontradiksi yang ada pada kebijakan KKP saat ini, yaitu mengupayakan budi daya, tetapi sambil mengirim BBL ke Vietnam. Padahal, Vietnam menjadi satu-satunya kompetitor Indonesia dalam perdagangan lobster ke Cina. "Kalau kita ekspor BBL ke Vietnam, sama saja mematikan ekspor nasional," ujar peneliti senior Institut Pertanian Bogor ini.

Di sisi lain, penyelundupan lobster siap panen pun sebenarnya marak terjadi. Modusnya, budi daya yang dilakukan tidak pada lokasi penangkapan benih. Misalnya, benih lobster banyak terdapat di kawasan perairan Nusa Tenggara, kemudian dibawa dengan alasan budi daya ke kawasan Sumatra. "Justru titik keluar penyelundupan lobster banyak terserak di kawasan Selat Malaka. Budi daya ini hanya dijadikan kamuflase penyelundupan benih," tutur Suhana.

Dulu pada era Susi, ada alternatif budi daya lobster dengan syarat pembesaran lobster harus berada di kawasan benihnya ditangkap. "Tidak boleh keluar dari lokasi penangkapan benih agar pengawasannya juga ketat," kata Suhana.

Apa yang dikatakan Suhana terbukti jika dilihat dari data produksi lobster yang dikeluarkan organisasi pangan dunia FAO. Sejak 2000 hingga saat ini, sebesar 99,69% produksi lobster dunia masih mengandalkan perikanan tangkap sebagai ujung tombaknya. Sisanya baru bisa diupayakan oleh perikanan budi daya dengan persentase sangat kecil, 0,31%.

Indonesia sendiri masih mengandalkan produksi lobster pada perikanan tangkap sebesar 96,91% dan hanya sekitar 3% saja produksi lobster budi daya, itu pun dengan pasokan benih yang disediakan alam. Belum lagi dengan legalisasi cantrang sebagai alat tangkap. Menurut Suhana, budi daya lobster membutuhkan ikan rucah sebagai pakannya. Untuk menghasilkan satu kilogram lobster, dibutuhkan sekitar 20 kilogram hingga 30 kilogram ikan rucah. Ikan ini hanya bisa ditangkap dengan menggunakan alat tangkap jenis cantrang atau trawl. "Makanya kapal Vietnam banyak menggunakan trawl di Indonesia," katanya.

Kepentingan Hanoi hanya satu dari sekian banyak persoalan kebijakan ekspor BBL yang kini dilegalkan administrasi pemerintah Indonesia di Jakarta. Hal lain yang turut menjadi soal, yakni pendapatan negara yang sebenarnya tidak seberapa dari dibukanya ekspor BBL ini.

Jika dilihat dari acuan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang Tarif atas Jenis Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), keuntungan negara dari hasil ekspor 100.000 benih hanya berkisar di angka Rp34.000 saja. "Artinya, apa yang diklaim KKP bahwa ekspor ini memberikan keuntungan dari sisi negara, itu tidak sebanding dengan PNBP yang masuk," ucap Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, saat dihubungi Dwi Reka Barokah dari GATRA, Sabtu lalu.

Bahkan, nelayan pun tidak kecipratan untung seperti yang dicita-citakan Edhy. Nelayan penangkap BBL hanya mendapatkan Rp15.000 per ekornya, sedangkan keuntungan yang didapat perusahaan pengekspor sungguh menggiurkan. Angka tertinggi mencapai Rp42.000 per ekor.

Memang, ada sedikit peningkatan harga setelah keran ekspor BBL kembali dibuka. Namun tidak terlalu besar, hanya Rp5.000 saja. Persoalannya, yaitu tangkapan BBL makin menipis di laut Indonesia. "Tapi, ya begitu kehabisan tangkapan di lapangan, karena masih banyak orang yang menangkap cepat, habis juga itu materi yang mereka peroleh. Ini fakta yang disampaikan oleh teman-teman nelayan," Halim menuturkan.

Tudingan Suhana dan Abdul Halim disanggah Edhy pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Senin dua pekan lalu. Menurutnya, kebijakan ekspor BBL sudah melewati kajian ekologis dan akademis. Dari sisi kemampuan lobster bertahan hidup, Edhy menyebut, hanya 0,02%. "Artinya, dari 20.000 benih, hanya satu ekor saja yang bisa hidup," ujarnya.

Dengan adanya pengelolaan dan budi daya yang baik, Edhy menjamin kelestarian ekosistem lobster. "Karena setiap orang yang menangkap benih, kami wajibkan untuk mengembalikan sekitar 2%. Berarti sudah ada 100 kali pertambahan lobster dewasa," kata Edhy lagi.

Dari sisi kuantitas, bila ditarik dari seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, jumlah lobster diperkirakan bisa bertelur hingga sekitar 27 miliar. Lobster dengan nilai jual tinggi, yaitu jenis lobster mutiara dan lobster pasir. "Kita anggap ada sekitar 10 miliar ekor untuk dua jenis ini," ucap Edhy.

Dari sisi alat tangkap, Edhy melihat tidak ada persoalan dengan kapal cantrang. Menurutnya, sebagian besar nelayan kecil di Indonesia mengandalkan cantrang sebagai alat tangkapnya. Ia juga menepis anggapan bahwa penggunaan cantrang bisa merusak terumbu karang. "Bagaimana bisa? Cantrang kena karang, justru jaring cantrangnya yang rusak," kata Edhy.

 

***

 

Setelah KKP membuka keran ekspor BBL, sempat terjadi persoalan yang cukup memalukan ketika dua perusahaan pengekspor BBL belum menyelesaikan tunggakan PNBP dari kegiatan ekspornya. Hal ini terjadi pada pertengahan Juni lalu, ketika dua perusahaan pengekspor BBL yang akan mengirimkan paket berisi bayi lobster ke Ho Chi Minh City, Vietnam, harus tertunda di Bandara Soekarno-Hatta karena lalai bayar pajak.

Dari data Direktorat Bea dan Cukai, dua perusahaan itu, antara lain PT ASR dan PT TAM. Perinciannya, PT ASR dan PT TAM mengirimkan sekitar 37.500 ekor live lobster fry dan 60.000 ekor benih hidup.

Persoalan ini kemudian menimbulkan pertanyaan terkait kelayakan perusahaan pengekspor yang ditunjuk KKP. GATRA sudah mencoba menelusuri perusahaan-perusahaan yang tercantum dalam daftar pengekspor BBL seperti PT Indotama Putra Wahana yang tidak pernah mengangkat telepon kantornya. Bahkan, dari 26 perusahaan pengekspor, hanya beberapa saja yang dapat ditelusuri rekam jejaknya di mesin pencari, tetapi tidak merespons pertanyaan yang diajukan GATRA.

Hanya ada satu perusahaan pengekspor yang ternyata bersedia memberikan klarifikasi terkait izin ekspor BBL, yakni PT Bima Sakti Mutiara. Perusahaan ini belakangan menjadi perhatian publik, karena direktur utamanya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo atau Sara, merupakan putri dari salah satu tokoh utama Partai Gerindra, Hasyim Djojohadikusumo.

Ini yang membuat publik menyimpulkan, ada permainan bawah tangan antara kader Gerindra dalam izin ekspor BBL ini. Namun, Sara mengatakan bahwa perusahaannya bukan pemain baru di sektor kelautan. Selama 34 tahun, perusahaannya memang hanya fokus pada ekspor mutiara. "Ini pertama kalinya kami mengembangkan usaha ke bidang bahari lainnya, termasuk lobster," ujarnya kepada Ucha Julistian Mone dari GATRA.

Menurut Sara, kegiatan perusahaannya bukan semata urusan ekspor, melainkan budi daya. "Ekspor akan dilakukan sesuai dengan aturan dan hanya sebagai secondary mean of income untuk mendukung upaya budi daya kami," ia menjelaskan.

Sara juga menepis anggapan bahwa ada jatah ekspor bagi kader Gerindra. Menurutnya, perusahaan di bawah komandonya ini sudah melewati semua syarat yang ditetapkan KKP, mulai dari penyampaian rencana bisnis, penyerahan daftar mitra nelayan, hingga verifikasi lapangan.

Aditya Kirana