Home Laporan Khusus Cuan Lewat Tes Cepat

Cuan Lewat Tes Cepat

Meski dinilai tak efektif mendeteksi virus corona, pemerintah masih mempromosikan rapid test antibodi. Kebijakan ini dituding menyuburkan praktik komersialisasi rapid test.


"Ini sudah penyalahgunaan, makanya saya bilang ini sudah menjadi komoditas bisnis," kata Alvin Lie mengkritik pelaksanaan tes diagnosis cepat (rapid test).

Anggota Ombudsman Republik Indonesia ini menerima banyak aduan masyarakat terkait rapid test. Ia mencontohkan kasus di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Enrekang, Sulawesi Selatan. Warga yang melintas ke wilayah tetangganya saja diwajibkan rapid test. "Mereka ini warga biasa, sopir truk, pedagang, petani yang lintas kabupaten, diwajibkan rapid test. Sekali tes, biayanya Rp300.000," katanya kepada GATRA.

Keluhan juga, menurut Alvin, disuarakan manajemen rumah sakit. Kali ini terkait Surat Edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang batasan tarif tertinggi rapid test antibodi. Regulator mematok tarif maksimalnya Rp150.000 di penyedia layanan. Masalahnya, banyak rumah sakit telanjur membeli dan menyetok alat tes saat harganya masih mahal dari distributor. "Mereka tunjukkan harga modalnya Rp200.000. Kalau disuruh jual Rp150.000, yang menanggung selisihnya siapa?" ujarnya.

Alvin melihat akar masalah urusan tes cepat ini adalah kebijakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Gugus Tugas mensyaratkan hasil tes PCR negatif atau rapid test nonreaktif bagi penumpang transportasi umum darat, kereta api, laut, dan udara. Rapid test lebih disukai lantaran lebih murah, mudah, dan hasilnya keluar cepat.

Dalam perkembangannya, banyak pemerintah daerah ikut-ikutan mewajibkan rapid test untuk lalu-lalang orang di wilayahnya. Yang teranyar, peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) masuk universitas pun harus melampirkan hasil rapid test. Memang tidak semua peserta wajib punya hasil tes, ini bergantung kebijakan masing-masing daerah. Namun tetap saja muncul permintaan pasar yang tinggi untuk melakukan rapid test. Bahkan, di berbagai situs penjualan daring, alat uji cepat ini banyak dijual bebas.

Alvin menilai, kebijakan pemerintah turut menyuburkan komersialisasi rapid test. Masyarakat yang menjalani tes sebetulnya tidak butuh hasilnya demi alasan kesehatan diri. Mereka hanya butuh surat keterangannya demi mematuhi persyaratan pemerintah. "Tujuannya bukan lagi pencegahan, tetapi sekadar syarat administratif," katanya.

Alvin mengingatkan, jika demi kepentingan publik, rapid test seharusnya menjadi barang publik yang standardisasi dan pengawasannya dilakukan pemerintah. "Kalau itu barang publik, maka harus diatur, diawasi pemerintah. Siapa yang boleh, berapa biayanya. Apakah disediakan gratis atau disubsidi negara," ucapnya.

Komersialisasi rapid test juga terendus Kemenkes. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Bambang Wibowo, mengatakan bahwa SE Tarif muncul karena banyak penyedia mematok harga mahal. Nominalnya pun berbeda-beda, sehingga membuat masyarakat bingung. "Kementerian Kesehatan sebagai regulator, perlu menetapkan batas atas harga rapid test, karena banyak beredar pemeriksaan rapid test dengan harga bervariasi dan mahal," ujarnya kepada Wartawan GATRA, Almer Sidqi.

SE ini ditujukan ke fasilitas layanan kesehatan (faskes) yang menyediakan rapid test. Batasan harga atasnya Rp150.000. Namun selayaknya imbauan, Bambang mengakui kalau surat edaran ini tidak mengatur sanksi. Edaran ini menjadi acuan, kemudian masyarakat yang memutuskan. "Masyarakat dapat memilih untuk tidak memeriksakan rapid test kepada pihak yang memberikan tarif lebih besar di luar SE," ujarnya.

 

***

 

Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) memonitor tarif tes cepat antibodi para anggotanya. Rata-rata, rumah sakit mematok biaya di kisaran Rp200.000-Rp300.000. "Kalau kebangetan sampai harganya tinggi banget, kami selalu menegur," ujar Sekretaris Jenderal PERSI, dr. Lia G. Partakusuma, Sp.PK, MARS, MM, saat dikonfirmasi Wartawan GATRA, Dwi Reka Barokah.

Penetapan tarif ini, salah satunya, dipengaruhi harga beli alat tes cepat di tingkat distributor. Lia mengatakan, sebelum SE tarif tersebut terbit, harga satuan alat di tingkat distributor sekitar Rp100.000-Rp300.000. Rapid test kit bukan satu-satunya pembentuk tarif. Komponen biaya lain, yaitu penyediaan jarum suntik, kapas, alkohol. Tenaga kesehatan (nakes) juga harus dilengkapi alat pelindung diri (APD) yang memadai.

"Ada juga jasa pelayanan. Nah, itulah komponen, bukan alat rapid tes saja," katanya.

Pihak PERSI sempat meminta waktu transisi untuk menyesuaikan dengan tarif imbauan Kemenkes. Pasalnya, banyak rumah sakit yang kepalang beli banyak saat harganya mahal. Apalagi semenjak pandemi, manajemen keuangan rumah sakit ikut terpukul. Mereka terpaksa membeli APD yang harganya naik gila-gilaan, tidak dapat beroperasi penuh, dan pasien sedikit. Di sisi lain, beban operasionalnya tetap.

PERSI juga menjawab soal tudingan rapid test menjadi lahan bisnis rumah sakit. Lia menuturkan, finansial RS sempat terpuruk karena pandemi. Ketika bisa mengutip sedikit keuntungan dari pelayanan tes cepat, profitnya dipakai untuk menambal kerugian pada masa krisis, yaitu pada Maret-Mei.

"Masyarakat juga harus melihat, peluang bisnis itu bukan berarti rumah sakit tiba-tiba mau mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Keuntungan itu untuk menutupi chaos di masa sebelumnya," ujar Lia.

Alih-alih mengatur harga di tingkat distributor, Kemenkes menyarankan fakses mencari distributor yang menjual produk dengan harga lebih terjangkau. "Saat ini, telah terdapat beberapa jenis alat rapid test, baik buatan dalam negeri dan produk impor, dengan harga yang kompetitif," ucap Dirjen Pelayanan Kesehatan, Bambang.

Pemerintah memberi kelonggaran fiskal dan prosedural bagi produk impor untuk penanggulangan Covid-19. Kementerian Keuangan mencatat, total nilai impornya mencapai Rp2,74 triliun per 19 Mei 2020. Impor rapid test termasuk yang mendapatkan fasilitas ini. Hingga 6 Juli 2020, ada 6.260.048 produk impor rapid test kit.

GATRA mencoba menghubungi distributor mengenai harga jual rapid test ke faskes, antara lain PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), PT Kimia Farma Tbk, dan PT Itama Ranoraya Tbk. Namun ketiganya belum bersedia menanggapi.

Perusahaan distributor alat rapid test di Indonesia yang merespons permohonan wawancara GATRA, yaitu PT Indofarma Tbk. Perusahaan farmasi pelat merah ini mengimpor dari perusahaan Cina, Qingdao Hightop Biotech, serta perusahaan Korea Selatan, Kogene Biotech. Impor dilakukan sejak April, dan telah mendistribusikan 400.000-500.000 alat hingga saat ini. "Kebanyakan [didistribusikan] ke fasilitas kesehatan untuk rumah sakit dan klinik. Untuk Dinas Kesehatan juga ada beberapa," kata Direktur Utama Indofarma, Arief Pramuhanto, kepada Wartawan GATRA, Wahyu Wachid Anshory.

Arief enggan memberi tahu harga jual satuan alat rapid test yang dijual Indofarma. Ia memastikan, harga satuannya di bawah Rp150.000. Sebagai distributor, Indofarma juga tak keberatan dengan SE tentang tarif rapid test. Pihaknya juga kerap memberikan potongan harga ke faskes.

Menurutnya, harga rapid test kit memang sempat melambung di awal pandemi dan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Itu karena permintaan alat ini tinggi, sedangkan pasokannya masih sangat sedikit. Kini pasokan sudah banyak, sehingga harga pun sudah ikut turun. "Sekarang suplai sudah banyak, jadi kita juga enggak pernah jual di atas Rp150.000. Kita jual di bawah Rp150.000," ujarnya.

 

Putri Kartika Utami 

 

- - - - - - 

 

BOX: 

 

Alat Uji Cepat Covid-19 Merah-Putih

 

Enggan bergantung pada impor terus, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan alat rapid test. BPPT menggandeng Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, serta PT Hepatika Mataram. Kolaborasi ini menciptakan RI-GHA-COVID-19.

"Deteksi antibodi IgG dan IgM yang terbentuk pada seseorang yang terinfeksi Covid-19, menjadi pilihan pengembangan produk dengan teknik imunokromatografi," kata Kepala BPPT, Hammam Riza, kepada Wartawan GATRA, Ucha Julistian Mone.

Ia menjelaskan, RI-GHA memiliki fitur penggunaan yang cepat dan praktis. Hasil deteksi muncul dalam 15 menit, tanpa membutuhkan alat tambahan atau tenaga terlatih. Alat ujinya juga fleksibel, dapat menggunakan sampel serum, plasma, atau whole blood.

Dari sisi kualitas, Hammam menggaransi RI-GHA tak kalah dibandingkan produk impor. Saat diuji validasi skala lab, nilai sensitivitas IgM sebesar 96,8% dan IgG sebesar 74%. Tim melaksanakan 10.000 uji validasi di berbagai fasilitas kesehatan dan desa-desa. Saat ini, RI-GHA dalam proses perbaikan akurasi dan sensitivitas. "Sekarang pun RI-GHA-COVID-19 juga sedang dilakukan uji validasi di Balitbangkes Kementerian Kesehatan sebanyak 200 kit," ucapnya.

RI-GHA siap diproduksi massal. Kapasitas produksi PT Hepatika Mataram sebesar 100.000 kit per bulan, lalu PT Prodia Diagnostic Line 100.000 kit per bulan. Izin edar dari Kemenkes pun sudah di tangan.

Soal harga, RI-GHA dibanderol Rp75.000 per kit. Meski belum beredar di pasaran, sudah banyak pemesannya. "Selain Kemenkes, beberapa pihak mengajukan permintaan," ucapnya.

 

Putri Kartika Utami

 

- - - - - -

 

Kutipan:

"Kalau itu barang publik, maka harus diatur, diawasi pemerintah. Siapa yang boleh, berapa biayanya. Apakah disediakan gratis atau disubdisi negara."

– Alvin Lie

 

"Kementerian Kesehatan sebagai regulator, perlu menetapkan batas atas harga rapid test karena banyak beredar pemeriksaan rapid test dengan harga bervariasi dan mahal."

– Bambang Wibowo