dr. Lia G. Partakusuma, Sp.PK, MARS, MM
Sekretaris Jenderal PERSI
Kami Minta Waktu
Kepada Kemenkes, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia mengajukan masa transisi untuk menyesuaikan harga rapid test Covid-19. Alasannya, ada selisih harga beli di distributor dan keuangan rumah sakit yang terpuruk. Kemenkes menolak.
Surat Edaran (SE) tentang batasan tarif tertinggi rapid test ditujukan kepada fasilitas layanan kesehatan (faskes). Ada dugaan faskes mematok biaya tinggi, sehingga Kementerian Kesehatan perlu menerbitkan imbauan harga tersebut.
Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) meminta masa transisi untuk menyesuaikan dengan patokan tarif pemerintah. Alasannya, banyak rumah sakit yang membeli alat rapid test ketika harga di distributor masih mahal. Selain itu, keuangan rumah sakit sempat terpukul di awal pandemi. Menurut PERSI, kondisi banyak rumah sakit pada Maret, April, dan Mei lalu, berantakan sekali. Pasien hanya 20% dari kapasitas, karena banyak orang takut terinfeksi virus corona dan banyak tenaga kesehatan terinfeksi Covid-19.
Untuk mendalami duduk perkara tingginya harga rapid test di rumah sakit, berikut petikan wawancara Wartawan GATRA, Dwi Reka Barokah, terhadap Sekretaris Jenderal PERSI, dr. Lia G. Partakusuma, Sp.PK, MARS, MM. pada Selasa lalu:
Bagaimana respons PERSI terhadap SE tentang tarif tertinggi rapid test?
Dengan adanya patokan harga, sekarang distributor juga tidak berani jual mahal. Intinya, rumah sakit senang saja kalau memang dipatok, tetapi memang minta waktunya (masa transisi).
Jenis rapid test makin ke sini makin banyak, lebih dari 1.000 macam yang beredar di Indonesia. Tadinya tidak sampai 20. Biasanya rumah sakit akan memilih yang punya nama dan dipakai rumah sakit lain. Rumah sakit hati-hati sekali untuk memilih jenis rapid antibodi ini.
Kita lakukan monitoring ke pihak rumah sakit. Kebanyakan rapid test set ini tidak disediakan pemerintah, apalagi rumah sakit swasta. Mereka mencari dan membandingkan. Kalau misalkan ada yang menawarkan di bawah itu, kadang-kadang ragu soal kualitasnya. Rata-rata membeli di kisaran Rp100.000-Rp300.000, dengan merek bermacam-macam, produk bermacam-macam.
Saya tanya ke Kementerian Kesehatan, kemungkinannya harga patokan [rapid test kit] buatan Indonesia yang dikatakan, bisa jadi Rp75.000-Rp100.000 itu. Makanya diambil (tarif tertinggi) Rp150.000. Hanya saja yang sekarang terjadi, sebelum surat edaran, itu memang riil di lapangan harganya berkisar Rp100.000-Rp300.000.
Berapa lama masa transisi yang diminta?
Ada yang minta sebulan, dua minggu, tetapi rata-rata sebulan.
Bagaimana respons Kemenkes?
Pastinya ditolak. Kemenkes bilang, pokoknya harus dijalankan, usahakan semuanya harus bisa. Buat rumah sakit ini berat, apalagi rumah sakit yang sudah membeli dalam jumlah banyak. Kalau belinya hanya 1-2 boks, tidak terlalu [berat] tetapi untuk rumah sakit besar yang sudah beli banyak, sudah kontrak dengan banyak pihak, itu mereka keberatan.
Setelah SE terbit, berapa harga rapid test kit di distributor?
Rumah sakit sekarang mencari yang harganya di bawah Rp100.000. Sudah ada beberapa yang menawarkan, bahkan ada beberapa rumah sakit membeli barengan dalam jumlah banyak, sehingga harga lebih murah. Sekarang trennya seperti itu. Yang penting buat PERSI, adalah beli dengan harga lebih baik dan mutunya juga harus bagus.
Pengadaan alat tes ini tidak dibantu pemerintah?
Memang ada bantuan dari dinas kesehatan, misalnya satu boks, tidak sampai ratusan. Jumlahnya terbatas, sehingga pemakaiannya sangat selektif. Belakangan karena adanya surat perjalanan, barulah mulai jadi masalah karena banyaknya kebutuhan.
Oke, tidak usah semua disumbang oleh pemerintah, tetapi sediakan saja di di e-catalog. Harganya berapa, harga eceran tertinggi berapa, kemudian rumah sakit yang butuh akan beli. Jadi, aman buat semua. Yang sekarang, pengadaannya kita banding-bandingkan saja dari beberapa yang menawarkan.
Tarif rapid test beragam. Apa yang membedakannya?
Harga jual rumah sakit rata-rata Rp200.000-Rp300.000. Ada yang menaikkan menjadi Rp400.000, ada juga yang lebih dari itu. Ada beberapa komponen yang menentukan harganya. Pertama, harga alatnya karena macam-macam jenisnya. Kedua, penggunaan jarum, karena ada yang mengambil darah dari jari, ada juga dari lengan. Artinya, harus ada jarum suntik, kapas, alkohol.
Hanya yang paling menentukan itu, reagennya. Harga rapid test bervariasi juga karena ada yang dengan pemeriksaan dokter. Kemudian APD yang harus dipakai oleh petugas yang mengambil darah. Ada juga jasa pelayanan. Nah, itulah komponen, bukan alat rapid test saja.
Tenaga kesehatan juga termasuk cost, karena harus dipastikan APD-nya terjamin. Kalau tenaga kesehatan butuh screening, biayanya ditanggung oleh rumah sakit. Tidak mau juga, dong, masyarakat datang ke tempat yang tenaga kesehatannya ada yang positif.
Ada dugaan rumah sakit turut membisniskan rapid test, saat sekarang permintaannya tinggi.
Rumah sakit itu mengalami masa sulit duluan. Mungkin masa sulitnya itu, masyarakat tidak tahu. Masa di mana pasien tidak berani ke rumah sakit, BPJS sedikit sekali pasiennya, ada yang mem-PHK karyawan. Mereka juga harus mengetes [Covid-19] sendiri karyawannya. Kalau karyawannya positif, mereka mesti tanggung terus.
Ada masa di mana rumah sakit chaos di awal-awal. Nah, artinya ketika mereka bisa mendapat keuntungan sedikit, itu dipakai untuk pengelolaan yang kemarin mereka mengalami kerepotan. Itu masa-masa yang membuat semua manajer rumah sakit berteriak.
Jadi, masyarakat juga harus melihat peluang bisnis itu, bukan berarti rumah sakit tiba-tiba mau mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka itu ada keuntungan untuk menutupi chaos di masa sebelumnya, di mana mereka harus beli masker yang harganya naik tiga kali lipat tetapi harus dibeli, lalu harus tetap menggaji karyawan, sementara pasien tidak ada.
Saya pernah wawancara ke banyak rumah sakit, kalau kondisinya seperti kemarin, banyak yang hampir tutup karena tidak bisa lagi membayar operasional sehari-hari. Itu terjadi dan mungkin sekarang ini mereka mengambil sedikit kelebihan untuk menutup kondisi sebelumnya.
Kalau kebangetan sampai harganya tinggi banget, kami selalu menegur. Waktu awal, kita sempat menegur beberapa rumah sakit yang mempersyaratkan atau memberatkan. Kita juga sudah tetapkan bahwa tidak boleh keluar harga, itu juga PERSI membuat edaran.
Sekarang ini tidak ada rumah sakit yang membuka seluruh kegiatannya. Rata-rata masih separuh bukanya karena khawatir kalau dibuka full, masuk pasien yang menularkan semua orang di rumah sakit, lalu ditutup rumah sakitnya. Jadi, performance rumah sakit untuk memberikan rasa aman dan nyaman untuk pasien, itu kan cost juga.