Sengkarut kasus anggaran KONI di 2017 menjadi pemicu bancakan dana hibah pada 2018. Sejumlah oknum petinggi lembaga terseret dalam pusaran aliran. Beranikah KPK memburunya?
Nama anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman masih menggelinding dalam pusaran aliran dana hibah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) tahun anggaran 2018, yang cair dalam dua tahap dengan total nilai Rp67,9 miliar —tahap 1 Rp50 miliar dan tahap II Rp17,9 miliar.
Adalah Miftahul Ulum, bekas asisten pribadi Menpora Imam Nahrawi, yang sebelumnya mengungkapkan adanya aliran uang kepada Achsanul Qosasi dan Adi Toegarisman dalam kesaksisannya di persidangan Tipikor dengan terdakwa Imam Nahrawi, Mei silam. Dengan gamblang ia membeberkan kalau Achsanul menerima uang Rp3 miliar dan Adi sebesar Rp7 miliar. Semua itu dilakukan untuk mengamankan proses penyelidikan terkait dana hibah Kemenpora untuk KONI tahun anggaran 2017.
Dari berita acara pemeriksaan (BAP) bekas Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy yang diperoleh Gatra, pada Juli 2018 sudah terjadi pemanggilan kepada para pejabat KONI. Bahkan sebelumnya, ada pemanggilan pejabat Kemenpora terlebih dahulu. Ketika itu, pejabat Kemenpora yang dipanggil antara lain Deputi IV Kemenpora, Mulyana, selaku kuasa pengguna anggaran (KPA), pejabat pembuat pomitmen (PPK) Chandra Bhakti, Tim Verifikasi Kemenpora Adhi Purnomo, dan Yunus serta Lina, staf Kemenpora.
Sementara itu, pejabat KONI yang dipanggil di antaranya Sekjen KONI, Bendahara KONI Johny E Awuy, Kabag Ren KONI Twisyono, dan beberapa staf KONI lainnya. Dari pemanggilan itulah munculnya sebuah pemikiran yang dibahas di ruangan aspri Menpora. Ketika itu Miftahul Ulum menyampaikan kepada Ending bahwa agar tidak terjadi pemanggilan lagi oleh Kejagung, diperlukan dana untuk entertainment sebesar Rp7 miliar. Nantinya, dana tersebut akan dimasukan ke dalam proposal KONI dengan menyesuaikan mata anggaran yang ada pada 2018.
Namun persoalanya, mendapatkan dana tahun anggaran 2018 tidaklah secepat yang dikira. Semua butuh proses. Sampai akhirnya, berdasarkan BAP, Lina Nurhasanah selaku Staf Bagian Keuangan Sekretariat Kemenpora, yang juga menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum KONI, menyatakan bahwa dirinya pada awal September 2018 pernah dimintai tolong oleh Ending untuk mencarikan pinjaman dana sebesar Rp7 miliar dengan menggadai dua sertifikat tanah miliknya yang ada di Karawang, Jawa Barat.
Nantinya, uang tersebut dipakai sebagai dana talangan untuk diberikan kepada pihak Kejagung. Sedangkan untuk BPK anggaran sebelumnya sudah tersedia. Menurut sumber Gatra, persoalan muncul ketika ada penemuan BPK tentang dana hibah yang cair Desember 2017 sebesar Rp25 miliar. Di mana penggunaannya diperuntukkan sebagai pembiayaan program pendampingan, pengawasan, dan monitoring prestasi atlet menjelang Asian Games 2018.
Namun diduga telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Ada sejumlah oknum dari Kemenpora dan KONI Pusat yang membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran fiktif. Modusnya diduga melalui pengadaan barang dan jasa tanpa prosedur lelang. Dari laporan BPK itulah Kejagung pun ikut menyelidiki.
Menurut sumber Gatra, kesepakatan terkait pemberian uang itu terjadi antara Ending dan Fery Hadju, Kabid Olahraga Internasional Kemenpora. Dari kesepakatan itulah, pemberian kepada dua petinggi lembaga pun terjadi. Untuk dana tutup mulut BPK yang menyerahkan uang Rp3 miliar adalah salah satu staf Kemenpora.
Sedangkan yang mengantarkan langsung uang kepada Jampidsus Adi Toegarisman ada empat orang. Terdiri dari dua orang dari pihak Kemenpora dan dua orang yang sekarang menjadi petinggi KOI. “Mereka berempat datang langsung ke rumah Adi Toegarisman untuk menyerahkan uang,” ucapnya.
Sementara itu, dari pihak Kejaksaan Agung sangat irit bicara saat diminta konfirmasi terkait adanya aliran dana kepada Adi Toegarisman sebesar Rp7 miliar, guna menghentikan proses penyidikan dana hibah KONI tahun anggaran 2017. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, pun langsung membantah tuduhan tersebut.
Ia menyebut Ulum sudah menarik kata-kata itu saat membacakan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa, 9 Juni lalu. "Kan sudah dicabut yang bersangkutan (Ulum) dan minta maaf," singkat Hari di Gedung Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan kepada Erlina Fury Santika dari GATRA, Selasa kemarin.
Usai berkomentar, Hari bergegas pergi dan enggan ditanya kembali mengenai tuduhan itu. Sementara Adi Toegarisman tak merespons ketika dihubungi Gatra. Pihak lain yang diduga menerima aliran dana KONI ialah anggota BPK Achsanul Qosasi, sebesar Rp3 miliar. Kepada Gatra, ia pun enggan memberikan komentar lebih lanjut. "Enggaklah. Saya enggak mau komentar tentang itu. Toh sudah dibantah sendiri oleh yang bersangkutan," dia menjelaskan melalui pesan singkat WhatsApp, Senin lalu.
Kuasa Hukum Mantan Menpora Imam Nahrawi, Wa Ode Nur Zainab, mengungkapkan meskipun dalam menyampaikan nota pembelaan, Ulum menyampaikan permintaan maaf ihwal pernyataannya tersebut. Namun, bukan berarti perkataan sebelumnya tidak benar. “Tidak ada yang mencabut fakta dan kesaksian itu, Ulum meminta maaf karena secara gamblang menyebut langsung nama secara personal bukan inisial,” katanya kepada Gatra, Senin lalu.
Semua yang dibeberkan Ulum adalah fakta persidangan. Sayangnya, semua fakta-fakta yang muncul di persidangan, menurut Zainab, tidak ditindaklanjuti lebih dalam oleh KPK. Termasuk munculnya nama Taufik Hidayat. Bahkan, Zainab menambahkan, KPK juga punya tapping atau sadapan pembicaraan awal dugaan aliran uang ke mantan Jampidsus Kejaksaan Agung Adi Toegarisman.
KPK hanya fokus kepada klienya Imam Nahrawi. Banyak fakta lainya yang terungkap tapi tidak ditelusuri. “Padahal tidak ada bukti kuat yang mengarah ke Pak Imam. Tidak ada bukti rekaman percakapan, CCTV, atau bukti lainnya. Bahkan Ulum pun membantah ada uang [Rp11,5 miliar] yang diserahkan ke Pak Imam. Semua hanya katanya-katanya. Ini jelas konspirasi untuk menjatuhkan Pak Imam. Karena itu kita mengajukan banding atas putusan kemarin,” ucapnya, geram.
***
Persoalan yang menjerat Imam Nahrawi berawal dari KPK menangkap sembilan orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta terkait suap pencairan dana hibah Kemenpora untuk KONI tahun anggaran 2018. Setelah itu, KPK akhirnya telah menetapkan tujuh tersangka dan seluruhnya telah divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Ketujuh tersangka itu yakni pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Kemenpora, Adhi Purnomo; staf Kemenpora Eko Triyanta; mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana; Bendahara KONI Johny E. Awuy; Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy; mantan Menpora Imam Nahrawi; dan asisten pribadi Menpora, Miftahul Ulum.
Menurut KPK, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut dengan mengonfirmasi saksi lainnya tentang berbagai fakta persidangan yang terungkap. "Pengembangan perkara akan dilakukan sejauh fakta-fakta hukum sebagaimana keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain, dan kemudian ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka," kata pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri, kepada Wahyu Wachid Anshory dari Gatra.
Ali menjelaskan, untuk mencari kebenaran materiil perlu cross check dengan keterangan saksi lainnya, termasuk dengan alat bukti lainnya. Karena itulah, seluruh fakta-fakta dari para saksi jaksa penuntut umum (JPU) nanti akan dirangkai di bagian analisa yuridis dalam surat tuntutannya, dan berikutnya menunggu putusan majelis hakim. “Jadi tidak bisa hanya berdasaran keterangan Ulum seorang,” katanya.
Semua harus berdasarkan fakta-fakta hukum maupun pertimbangan majelis hakim dalam putusannya ditemukan minimal setidaknya adanya dua alat bukti permulaan yang cukup. Maka tentu KPK tak segan untuk menentukan sikap berikutnya dengan menetapkan pihak lain sebagai tersangka.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan mengatakan bahwa KPK harus menindaklanjuti keterangan Miftahul Ulum dan mantan Menpora Imam Nahrawi, yang menyatakan adanya dugaan aliran dana kepada mantan Jampidsus Adi Toegarisman dan anggota BPK Achsanul Qosasi. "Setiap apa pun yang disampaikan oleh saksi di muka persidangan harusnya dapat didalami oleh jaksa penuntut umum, dalam ini adalah KPK sendiri," kata Kurnia kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra.
Menurut Kurnia, KPK harus bertindak cepat untuk mengusutnya. Dengan pengakuan itu, KPK bisa mencatat dan melihat apakah keterangan itu memiliki relevansi dengan perkara yang sedang disidangkan saat ini. "Itu kewajiban penegak hukum untuk mendalami lebih lanjut. Persoalan ada atau tidak ada, itu nanti, tetapi dikerjakan dulu," ia melanjutkan.
Kemudian, langkah selanjutnya seharusnya KPK melakukan dua hal. Pertama menindaklanjuti temuan tersebut dan mengecek aliran dana dan kedua, melindungi saksi-saksi yang sesungguhnya berupaya untuk turut membantu membongkar perkara ini. Perlindungan saksi diatur dalam Pasal 15 UU Nomor 19/2019, yang menyebutkan bahwa KPK berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi yang memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
Selain itu, juga terdapat Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang secara tegas menyebutkan bahwa seorang saksi dalam perkara tindak pidana korupsi berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Gandhi Achmad
--------------Kutipan: --------------
"Itu kewajiban penegak hukum untuk mendalami lebih lanjut. Persoalan ada atau tidak ada, itu nanti, tetapi dikerjakan dulu."
Kurnia Ramadhan
------------Boks: --------------
Daftar Terdakwa Kasus Suap Dana Hibah Kemenpora untuk KONI Tahun Anggaran 2018 yang Sudah Divonis Hakim Tipikor:
1. Adhi Purnomo divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan.
2. Eko Triyanta, divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan.
3. Profesor Mulyana, divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan.
4. Johny E Awuy divonis 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider 2 bulan kurungan.
5. Ending Fuad Hamidy divonis 2 tahun dan 8 bulan penjara dan denda Rp100 juta.
6. Mantan asisten pribadi Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
7. Mantan Menpora, Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan.
-------------g -------------------------