KPK mencokok Bupati Kutai Timur beserta istrinya yang menjabat Ketua DPRD di kabupaten yang sama. Lampu kuning politik dinasti di pilkada serentak 2020.
Bupati Kutai Timur, Ismunandar, dan istrinya, Ketua DPRD Kutai Timur, Encek U.R. Firgasih, harus mengenakan rompi jingga setelah tertangkap basah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 2 Juli lalu. Keduanya diduga menerima suap untuk memuluskan anggaran proyek pembangunan infrastruktur dan pendidikan dari dua pihak rekanan swasta.
KPK berhasil menangkap kedua pasangan ini di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta. Ismunandar ditangkap saat hendak menghadiri sosialisasi pencalonannya sebagai bupati petahana di Jakarta. Rupanya, KPK ternyata telah mengincar Ismunandar sejak ia lepas landas dari Bandara Tanjung Bara, Kutai Timur.
Dari informasi yang berhasil dihimpun Gatra, Ismunandar menerima suap sebesar Rp2,65 milyar dari Aditya Maharani dan Deky Aryanto dalam dua kesempatan yang berbeda. Uang ini menjadi salah satu upaya kedua kontraktor agar anggaran proyek tetap utuh, tanpa terkena rasionalisasi anggaran belanja daerah. Jika ditelisik dari jenis proyeknya, Aditya saat ini sedang menggarap beragam proyek pembangunan dengan total anggaran Rp28,4 milyar. Sementara itu, Deky menjadi rekanan Ismunandar di Dinas Pendidikan dengan total proyek hingga Rp40 milyar.
Wakil Pimpinan KPK, Nawawi Pomolango, menegaskan bahwa Ismunandar diduga melakukan penjaminan agar proyek dari dua rekanan ini tetap aman dari pemotongan atau rasionalisasi anggaran belanja daerah akibat pandemi. “EU selaku Ketua DPRD melakukan intervensi dalam penunjukan pemenang terkait pekerjaan di Dinas Pendidikan dan PU di Kabupaten Kutim,” ujarnya dalam keterangan pers.
Selain Ismunandar dan Encek, KPK juga mencokok setidaknya 13 orang lainnya, yakni lima orang di Jakarta dan delapan orang di Kutai Timur dan Samarinda. Beberapa di antara para tersangka ini menjabat sebagai kepala di Dinas Pekerjaan Umum (PU), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKAD), Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), serta Dinas Pendidikan.
Pembagian tugasnya pun jelas. Selain Encek yang bertugas untuk mengamankan penunjukkan pemenang, ada pula Musyaffa yang merupakan tangan kanan Ismunandar sekaligus Kepala Bapenda. Dia bertugas untuk mengamankan pemenang tender di Dinas Pendidikan. Lalu Suriansyah sebagai Kepala BPKAD mengatur dan menerima uang dari tiap rekanan. Aswandini selaku Kepala Dinas PU bertugas mengatur pemenang tender proyek infrastruktur.
Jika kasus Ismunandar dan Encek masuk hitungan, berarti sudah tujuh dinasti politik yang terjerat kasus korupsi. Meski tidak ada larangan secara eksplisit yang tertuang dalam bentuk aturan, tapi praktik politik oligarki ini memang jamak terjadi. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robertus Endi Jaweng, menilai, gaya politik oligarki ini sebenarnya bisa dipatahkan dengan tiga pilar utama yang semestinya bisa memagari demokrasi Indonesia, yakni partai politik, aturan pemilu atau pilkada, dan pendidikan politik bagi masyarakat.
Bagi Endi, parpol semestinya mampu untuk menjadi salah satu alat demokratisasi yang cukup berpengaruh. Karena, parpol memiliki posisi sentral dalam kaderisasi dan rekruitmen politik, apalagi mendekati kontestasi pilkada serentak, Desember nanti. Dengan posisi yang sangat strategis, parpol diharapkan mampu berkomitmen untuk memunculkan kandidat kepala daerah yang berkompetensi tinggi dan berbasis pada sistem merit. “Tapi, reformasi internal di tubuh partai sepertinya tidak berjalan dengan baik,” ujarnya kepada Gatra.
Jika parpol dinilai masih jauh dari harapan, dinasti politik sebenarnya bisa dikendalikan dengan aturan. Sebelumnya, pemerintah memang sudah memagari dinasti politik dalam Undang-Undang Pilkada, khususnya pada pasal 7 huruf r. Tapi sayangnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal ini ketika uji materi pada Januari 2017 lalu.
Upaya pamungkas untuk menghentikan dinasti politik di daerah, kata Endi, hanya bersandar pada pendidikan politik rakyat. Karena pilkada serentak tinggal hitungan bulan, maka penting bagi semua kalangan untuk menggalakan politik cerdas. “Pemilih sebaiknya tidak lagi mempertimbangkan urusan primordial – parokial. Pemilih harus sepenuhnya sadar bahwa memilih kepala daerah menjadi penting bagi kelangsungan pembangunan di daerah selama lima tahun,” Endi menjelaskan.
Endi mengaku tidak heran jika korupsi kepala daerah terjadi di Kutim. Menurutnya, wilayah Kutim memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Tapi, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian rakyatnya. “Justru kantong kemiskinan terbesar di Kalimantan Timur itu ada di Kutai Timur dan Kutai Kertanegara. Ini adalah paradoks kekayaan kita,” katanya.
Karena basis sumber daya alam yang melimpah ditambah dengan dinasti politik yang bercokol, maka sudah dapat dipastikan nasib masyarakat Kutim tidak keruan. Dapat dibayangkan jika segala urusan pemerintahan, dari penyusunan, pengesahan, dan eksekusi program, semuanya dilakukan dalam lingkup keluarga.
Belum lagi dengan kaitan hubungan keluarga dengan kepala dinas. Praktik korupsi itu, kata Endi, melingkupi tiga kamar sekaligus. Yakni kamar eksekutif, kamar birokrasi, dan kamar legislatif. “Inilah bahayanya politik oligarki yang menggumpalkan kekuasaan hanya pada satu-dua keluarga dan sangat membatasi akses kontrol publik,” ia menjelaskan.
Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, melihat kasus OTT Kutim dari sisi kontestasi politik dan sistem pengawasan politik yang melahirkan kerajaan politik di daerah. “Ketika dinasti politik muncul, maka potensi penyalahgunaan wewenang, dan abuse of power juga pasti akan ikut serta di dalamnya. Karena itu perlu sistem pengawasan yang ketat,” ujarnya kepada Gatra.
Sebenarnya, kata Fadli, sudah ada sistem yang mampu mengawasi dan memproteksi para kepala daerah dan birokrasi dari perilaku korupsi. Tapi sistem tersebut belum mampu mencegah maraknya korupsi, terlebih di daerah. Misalnya, dalam pengadaan barang dan jasa sertai proses perizinan. Dalam dua hal ini, korupsi masih saja terjadi. “Ditambah lagi dengan perilaku elite politik lokal yang terlalu mendominasi dalam proses pemerintahan di daerah dan dihadapkan dengan sistem yang lemah, kemudian dicampur dengan politik oligarki, akhirnya politik korup menjadi paripurna,” Fadli menjelaskan.
Idealnya, Fadli melanjutkan, pengaturan politik dinasti juga perlu dilakukan, baik dalam internal parpol maupun pada kontestasi pilkada. Bagi Fadli, parpol sudah seharusnya memperhatikan lebih dalam soal rekam jejak kandidat dalam berpolitik. Selain juga mempertimbangkan loyalitas dan kerja-kerja politik yang terukur. “Jika memang berpotensi memiliki relasi dengan petahana dan lain sebagainya, harus ada upaya untuk membatasi itu," ujarnya.
Aditya Kirana