Home Laporan Khusus Sengkarut Jalur Zonasi Berpotensi Depresi

Sengkarut Jalur Zonasi Berpotensi Depresi

Persyaratan seleksi siswa baru di Jakarta menuai polemik. Persoalan juknis SK Kadisdik DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 menjadi biang kerok persoalan. Calon siswa usia muda yang gagal masuk jalur zonasi terancam putus sekolah.


“Zonasi Yes Umur Lebih Tua No.” Begitu bunyi salah satu spanduk yang membentang dalam aksi unjuk rasa para orangtua murid di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta Pusat, Senin lalu. Sedari pukul 10.00 WIB, sekitar 100 orang pengunjuk rasa yang didominasi emak-emak ini mulai menggelar demonstrasi. Mereka menyuarakan penolakan terhadap sistem zonasi yang memakai syarat utama usia dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun pelajaran 2020-2021. 

Baru setengah jam aksi berjalan, 12 perwakilan massa aksi di dampingi Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, akhirnya diterima masuk Sekretaris Ditjen PAUD-Dikdasmen Kemendikbud, Sutanto. Menurut Koordinator Aksi Forum Relawan PPDB DKI 2020, Ratu Yunita Ayu, pertemuan tersebut untuk menyampaikan temuan para orangtua tentang adanya ketidaksinkronan antara Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 dan Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) PPDB Tahun Pelajaran 2020-2021.

Ratu juga membeberkan, dalam rapat tersebut banyak keluh kesah dari orangtua yang diutarakan kepada perwakilan Kemendikbud tentang persoalan pola PPDB yang tidak benar, di antarannya aturan persyaratan jarak tapi yang diseleksi utama usia. Ratu mengakui, dirinya pun mengalami kesulitan ketika mendaftarkan anaknya untuk masuk ke jenjang SMA.

Anaknya, yang baru berusia 15 tahun 20 hari, harus menerima kenyataan tak diterima di dua jalur PPDB setelah mendaftarkan ke tiga tempat, yakni SMAN 1, SMAN 77, dan SMAN 5 Jakarta Pusat. "Anak saya penerima KJP, melakukan dua tahapan jalur afirmasi dan zonasi,” ucapnya.

Menurut Arist Merdeka Sirait, aturan tersebut berdampak luar biasa kepada anak-anak. Bisa berujung depresi. “Oleh karena itu, kita minta dibatalkan karena melanggar Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Dan ada 50.000 anak yang kalau [peraturan] tidak dibatalkan, kehilangan pendidikan," ujar dia.

Dari pertemuan itu, Arist mengatakan bahwa pihak Kemendikbud masih meminta waktu untuk membuat keputusan terkait peraturan tersebut. Namun, ia yakin bahwa tuntutan pihaknya dan para orangtua akan dikabulkan.

Kepala SMP Negeri 19 Jakarta, Setiabudi, menyebut bahwa petunjuk teknis yang diberikan oleh Kadisdik DKI Jakarta sebenarnya sudah mengakomodasi kebutuhan atas akses pendidikan. Setiabudi membandingkan kebijakan tahun ini dengan tahun lalu. Ia mengatakan, kebijakan zonasi tahun lalu memang lebih mengutamakan nilai daripada usia dan kuotanya pun sebesar 50%.

Namun, Setiabudi malah menilai jika kebijakan tersebut memberikan kesempatan untuk sekolah berlomba memberikan yang terbaik untuk siswa-siswanya. Mereka yang tertunda sekolahnya karena faktor finansial bisa kembali sekolah lagi, sedangkan yang tersingkir karena usia lebih muda memiliki kesempatan untuk sekolah di tempat lain, seperti swasta. 

"Sudah benar-benar bagus, memberikan kesempatan kepada anak-anak yang usianya lebih, maksimal berumur 21 tahu. [Sisanya] ke swasta, ya keangkatlah itu swasta, jadi kebanggaan sendiri," ia menjelaskan.

Setiabudi juga menyatakan pihaknya sudah menyaring 84 siswa dari jalur afirmasi, 16 siswa dari prestasi non-akademis. Sisanya masih menunggu jalur zonasi, prestasi akademis, dan perpindahan orangtua berlatar pegawai negeri sipil. Total daya tampung di sekolahnya mencapai 360 siswa.

***

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (Wasekjen FSGI), Satriwan Salim, ikut menyoroti persoalan pelaksanaan kebijakan PPDB tahun 2020 di Provinsi DKI Jakarta yang kini menjadi perhatian publik. Semua persoalan diawali dari implementasi SK Kadisdik DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 yang berujung banyak calon siswa terjegal karena syarat usia. Bukan berdasarkan prioritas jarak rumah calon peserta didik ke sekolah di zona yang sama berbasis kelurahan.

Padahal, sambung Satriwan, prioritas jarak rumah siswa dengan sekolah di satu zona ini merupakan perintah Pasal 25 ayat (1) Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB 2020 yang berbunyi, “Seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang diterapkan.”

Penjelasan berikutnya ada di ayat (2): “Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.”

Karena itu, bagi FSGI, persoalan PPDB DKI Jakarta harus segera diselesaikan jangan sampai berlarut-larut, terus-menerus menyita perhatian dan energi publik. “Sebab jika ini berkepanjangan tak ada jalan tengah sebagai win-win solution, maka para siswa calon peserta didik baru makin tertekan. Mereka makin cemas dan tak menutup kemungkinan depresi," kata Satriwan kepada wartawan Gatra Wahyu Wachid Anshory.

Sementara itu, Kadisdik DKI Jakarta, Nahdiana, membantah kalau SK yang dikeluarkannya tidak sejalan dengan Permendikbud. "Dengan jalur usia ini memang seolah-olah DKI tidak menerapkan zonasi tapi langsung memberikan usia, tadi kami sampaikan kami menggunakan, menetapkan zona sekolah," ucapnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa lalu, yang dihadiri Dwi Reka Barokah dari Gatra.

Menurut Nahdiana, PPDB lewat jalur zonasi dilaksanakan sejak 2017. Dalam tiga tahun terakhir, seleksi dalam jalur zonasi ditentukan berdasarkan hasil ujian nasional (UN). Namun, karena mulai 2020 UN tidak dilaksanakan, maka Disdik DKI membuat kebijakan baru, yaitu dengan menetapkan kriteria usia dalam seleksi jalur zonasi.

Kriteria usia ini, Nahdiana menambahkan, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 yang telah diubah menjadi PP Nomor 66 Tahun 2020 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dimana hal itu tertuang dalam Pasal 70 poin (1) berbunyi, "Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik berdasarkan pada usia calon peserta didik yang paling tua."

Namun persoalanya, jika merujuk SK Kadisdik DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 yang diperoleh Gatra, proses seleksi untuk jalur zonasi dalam hal jumlah calon peserta didik baru yang mendaftarkan dalam zonasi melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan: usia tertua ke usia termuda; urutan pilihan sekolah dan waktu mendaftar. Jadi konteks implementasinya bukan mengacu pada Pasal 25 ayat (1) dan (2) Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019.

Pelaksana tugas (Plt) Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbud, Chatarina Muliana Girsang, mengakui bahwa Juknis yang dirancang Disdik DKI Jakarta dalam keputusan Dinas Pendidikan Nomor 501 nyatanya ada perbedaan dari Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 Pasal 25. “Karena memang, berdasarkan Permendikbud yang dimaksud, Seleksi zonasi persyaratan awal tidaklah menggunakan usia, melainkan jarak,” ucapnya.

Sekretaris Ditjen PAUD-Dikdasmen Kemendikbud, Sutanto sudah menawarkan tiga opsi untuk menyelesaikan polemik PPDB DKI Jakarta. Opsi pertama adalah menambah jumlah siswa dalam rombongan belajar atau jumlah kelas. Kedua, adanya kemungkinan penambahan ruang kelas. “Opsi ketiga, dirinya menawarkan para siswa yang gagal masuk negeri, untuk bisa masuk ke sekolah swasta dengan catatan Kemendikbud akan membantu melalui fasilitas Kartu Jakarta Pintar (KJP),” katanya.

Gandhi Achmad