Demi lolos masuk ke SMA/SMK favorit, banyak siswa dibekali surat keterangan domisili (SKD) palsu. Marak terjadi di Jateng. Belajar dari kasus tahun lalu,Jabar punya solusi.
Pendaftaran masuk sekolah tahun ajaran baru tengah berlangsung. Prasyarat penerimaan peserta didik baru atau PPDB 2020 untuk tingkat SMP dan SMA/SMK mengharuskan adanya pembaharuan kartu keluarga atau KK, yang disesuaikan dengan zonasi, atau domisili orangtua. Hal ini, membuat antrean memanjang di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) sejumlah daerah.
Masalah baru yang muncul adalah sejumalah orangtua membuat surat keterangan domisili (SKD) palsu untuk melakukan pendaftaran agar anak-anak mereka masuk zonasi sekolah favorit.
Saat melakukan sidak ke Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menemukan ada sejumlah orangtua membuat surat keterangan domisili (SKD) palsu agar anak-anaknya masuk zonasi sekolah favorit. Tercatat, ada 13.834 calon siswa yang menggunakan SKD. Dari jumlah itu, ada 1.007 calon siswa yang mencabut berkas SKD mereka karena terindikasi aspal (asli tapi palsu).
"Hari ini PPDB ditutup. Setiap hari memang saya pantau terus karena ada beberapa problem, di antaranya SKD ini," kata Ganjar saat sidak di Semarang pada Kamis, 25 Juni silam.
Belakangan, Tim PPDB SMA Negeri 1 Semarang menemukan 40 SKD asli tapi palsu dalam tahap pendaftaran. "Temuan 40 SKD bermasalah ini datang dari aduan masyarakat yang mendatangi sekolah dan menyerahkan 27 lembar kertas yang berisi nama dan alamat yang dicurigai palsu," ujar Ketua PPDB 2020 SMAN 1 Semarang, Budiyono.
Menanggapi aduan tersebut, pihak sekolah kemudian menerjunkan tim survei beranggotakan empat orang yang bertugas mendatangai satu per satu alamat yang dicurigai. Beberapa keluarga memang terbukti tinggal di alamat yang tertera. Tapi sebagian lainnya benar-benar tidak bisa ditemukan di wilayah yang disebut. Dengan kata lain, alamat di SKD tak sesuai dengan KK. Ada pula nama yang tercantum di SKD ternyata tidak ada di RT/RW setempat.
“Temuan SKD palsu ini menunjukkan rumitnya sistem online pada PPDB 2020 ini,” Budiyono menambahkan. Bandingkan dengan 2019, saat itu calon siswa mendaftar ke sekolah, melakukan verifikasi, baru diberikan akses untuk mendaftar. Sementara tahun ini, mendaftar online terlebih dulu baru dilakukan verifikasi.
Diketahui, pada tahun ajaran baru 2020, SMAN 1 Semarang menerima 384 siswa baru yang terbagi dalam 12 rombongan belajar (rombel). Masing-masing rombel terdiri dari 32 siswa. Mereka membuka tiga kelas IPS dan sembilan kelas IPA.
Sekolah yang mencakup 49 kelurahan di Kota Semarang ini menerima 192 siswa melalui jalur zonasi, 115 siswa melalui jalur prestasi, 58 siswa melalui jalur afirmasi, dan jalur perpindahan orang tua dengan 19 siswa.
Kepala Disdikbud Jawa Tengah, Jumeri, mengatakan bahwa 1.007 pendaftar terindikasi menggunakan SKD aspal karena telah mencabut berkas setelah diancam akan dibawa ke ranah hukum. “Tidak ada sanksi bagi pendaftar yang mencabut berkas dan memperbaiki sesuai data SKD yang benar sebelum pengumuman PPDB,” ujarnya.
Penggunaan SKD banyak terjadi di sekolah-sekolah yang dianggap favorit, semisal SMAN 1, SMAN 2, dan SMAN 3 Kota Semarang. Di SMAN 1 Semarang tercatat sebanyak 103 orang pendaftar memakai SKD, di SMAN 2 Semarang sebanyak 114 SKD, dan di SMAN 3 Semarang sebanyak 139 pendaftar menggunakan SKD.
Diskdikbud Jawa Tengah tidak membentuk tim investigasi untuk mengusut SKD aspal, tapi melakukan koordinasi dengan para kepala SMAN dan SMKN se-Jateng untuk validasi secara cermat pendaftar PPDB yang menggunakan SKD. Bila nantinya ditemukan ada pendaftar PPDB yang masih menggunakan data SKD aspal, maka penerimaan siswa bersangkutan akan dibatalkan.
***
Akal-akalan SKD paslu bukanlah hal baru. Pada PPDB tahun lalu, laporan sejenis sudah diadukan pula di berbagai lokasi. Kala itu, Panitia PPDB SMA 2019 di Brebes, Jawa Tengah, mewaspadai munculnya SKD palsu. Untuk itu, panitia membentuk tim khusus untuk memverifikasi SKD para pendaftar.
Sementara itu, Pemerintah Kota Bogor menduga adanya praktik jual-beli surat domisili sebagai syarat pada pendaftaran peserta didik baru (PPDB) tingkat SMA tahun ajaran 2019/2020. Wali Kota Bogor, Bima Arya, menyatakan, ia mendapatkan infromasi bahwa harga surat domisili itu diperkirakan mencapai Rp1 juta hingga Rp2 juta.
Tahun ini, Tim Investigasi Domisili PPDB Jawa Barat berupaya menekan kecurangan pemalsuan domisili dengan memeriksa alamat-alamat diduga bermasalah. “Sampai saat ini belum ditemukan laporan kasus SKD palsu,” ucap Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dedi Supandi.
Menurut Dedi, potensi kecurangan dapat diredam karena sistem PPDB Jabar sudah integrasi dengan sistem kependudukan Dirjen Dukcapil. Jika, misalnya, ada seseorang yang tidak diterima jalur prestasi lalu mencoba di jalur zonasi dengan membuat KK dan SKD palsu dengan cara mendekatkan alamat dengan lokasi sekolah, maka otomatis sistem tidak akan bisa mendeteksi alamat palsu yang tertera di SKD karena justru yang terdeteksi adalah alamat sesuai dengan NIK pada KTP.
Sama halnya ketika ada masyarakat yang melakukan pendaftaran melalui jalur Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM). Sistem pendaftaran Jabar ternyata sudah terkoneksi dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kemensos, sehingga bisa memastikan status ekonomi seseorang. “Jadi kasus di Jawa Tengah sebenarnya tidak akan terjadi di Jabar karena sistem PPDB kita sudah terintegrasi dengan data kependudukan dan DTKS,” ujar Dedi.
Pelaksanaan PPDB Tahun 2020/2021 Jawa Barat mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 37 Tahun 2020 tentang PPDB pada SMA/SMK/SLB.
Berdasarkan regulasi tersebut, ada empat jalur pada PPDB SMA, yakni jalur zonasi, prestasi, afirmasi, dan perpindahan orangtua. Untuk PPDB SMK hanya tiga, yakni prestasi, afirmasi, dan perpindahan orangtua. Sedangkan untuk SLB disesuaikan dengan jenis kebutuhan dari siswa. Dengan total kuota SMA/SMK negeri sebanyak 149.977 kursi.
“Awal-awal pembukaan pendaftaran ada sedikit kendala membuka web. Saat itu web lambat,” sebut Dedi. Ada sekitar 390.000 orang berupaya mengunduh formulir dalam waktu yang sama dan 3,8 juta yang membuka web secara bersamaan.
Pengamatan Disdik, banyak orang yang belum memahami cara daftar daring, sehingga saat menentukan sekolah kurang mempertimbangkan secara matang. Akibatnya, bertumpuk ke satu sekolah. Ini bisa terlihat dari hasil pendaftaran tahap pertama sebanyak 12,6 persen kuota belum terisi. Akhirnya, 12,6% kuota ini dimasukan ke kuota pendaftaran tahap kedua.
“Di jalur zonasi, kita membuka posko pengaduan bagi warga yang tidak puas. Baik di sekolah yang dituju, di kantor cabang dinas, dan Dinas Pendidikan Jawa Barat,” ia menjelaskan.
Dari total siswa SMP di Jawa Barat yang lulus tahun ini, kuota SMA/SMK negeri hanya bisa mengakomodasi 65%. Artinya, akan ada sebanyak 35% siswa lulus SMP tahun ini tidak bisa masuk sekolah negeri.
Flora Libra Yanti, Restu Nugraha Sauqi (Bandung), Intan Alliva, dan Insetyonoto (Semarang)