Home Politik Bansos Corona Berwajah Petahana

Bansos Corona Berwajah Petahana

Bansos Covid-19 rawan dipolitisasi menjelang pilkada 9 Desember 2020. Bawaslu mengendus, praktik curang ini rawan dilakukan 200 pasangan petahana. 


Ada wajah Hendrar Prihadi (Hendi) dan Hevearita Gunaryanti Rahayu (Ita) di paket bantuan sosial (bansos) Covid-19. Stiker yang memuat wajah Wali Kota Semarang dan wakilnya ini, ditempel di kardus-kardus sembako yang dibagikan pemerintah kota, awal Mei lalu. Pemasangan foto keduanya itu menjadi soal, karena mereka berpotensi mencalonkan diri pada pilkada 2020 yang digelar 9 Desember mendatang.

Situasi itu memicu dugaan terjadi politisasi bansos corona di Kota Semarang. Hendi buru-buru membantah tudingan tersebut. Politisi PDI Perjuangan ini berdalih dirinya belum ditetapkan sebagai peserta pemilu. "Kalau memang dipanggil, kami siap datang, tapi kapasitasnya apa? Saya belum sah menjadi peserta pemilu. Secara definitif, saya dan Mbak Ita juga masih menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Semarang. Jangan membuat kami menjadi bahan cemooh masyarakat," katanya pada Mei lalu.

Bawaslu Kota Semarang menguatkan pernyataan Hendi. Pemasangan stiker pada bansos Covid-19 itu, menurut Bawaslu, tak terbukti melanggar aturan, baik secara administratif maupun pidana. Ketua Bawaslu Kota Semarang, Muhammad Amin, menuturkan bahwa subjek hukumnya tidak ada lantaran belum ada penetapan calon. Penyelidikan kasus ini pun dihentikan. "Tidak terbukti melanggar peraturan karena belum ada penetapan paslon dan ada penundaan tahapan," kata Amin, Senin lalu.

Meski sedang menghadapi pandemi, pemerintah memutuskan pilkada tetap digelar tahun ini. Konsekuensinya, penyaluran bansos corona rawan diselewengkan para petahana yang berpeluang besar maju lagi pada pilkada 2020.

Potensi penyalahgunaan bansos ini sudah diendus Bawaslu. Tahapan pilkada memang belum sampai penetapan calon, tetapi bakal pasangan calon (bapaslon) petahana berpeluang menebeng "kampanye" melalui bansos-bansos bagi masyarakat yang terdampak wabah.

"Di beberapa daerah, seperti Klaten dan Semarang, Jawa Tengah, sudah kami lakukan teguran dan klarifikasi, karena ada laporan masyarakat terkait dengan itu," kata Ketua Bawaslu, Abhan, saat dihubungi Wartawan GATRA, Almer Sidqi.

Menurut Abhan, pelanggaran yang kerap kali terjadi, yakni penyalahgunaan kekuasaan oleh bapaslon petahana. Dalam catatan Bawaslu, pasangan petahana diprediksi mencapai 200 pasangan. Ia mencontohkan kasus Bupati Klaten, Sri Mulyani. Bantuan hand sanitizer dari Kementerian Sosial ditempeli stiker yang memuat fotonya. Abhan mewanti-wanti agar kepala daerah tak gegabah mempolitisasi bansos. "Silakan jika mau memberikan bantuan, tetapi harus dibedakan mana bantuan pemerintah, mana bantuan pribadi," ujarnya.

***

Sayangnya, Bawaslu belum punya taji untuk menindak para petahana bandel. UU Pilkada, baru bisa dipakai menjerat pelanggar ketika pasangan calon sudah ditetapkan. Meski demikian, UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, bisa dipakai menggebuk petahana yang mempolitisasi bansos.

UU Pemerintah Daerah memuat larangan bagi kepala daerah menyimpangkan bansos untuk kepentingan pribadi. Kalau terbukti melanggar, akan disanksi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sedangkan para gubernur akan dihukum presiden. "Tugas kami mengeluarkan kajian yang akan kami kirim kepada Mendagri dan Presiden untuk bisa menjatuhkan sanksi itu," kata Abhan.

Bawaslu menduga, politisasi bansos oleh kepala daerah yang berpotensi kembali mencalonkan diri pada pilkada 2020, terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten/kota. Daerah-daerah yang tergolong rawan kecurangan tersebut, antara lain Provinsi Bengkulu, Provinsi Jambi, Provinsi Gorontalo, Kota Bengkulu (Bengkulu), Kabupaten Indragiri (Riau), Kabupaten Pelalawan (Riau), dan Kabupaten Ogan Ilir (Sumatra Selatan).

Selanjutnya, Kabupaten Lampung Timur (Lampung), Kabupaten Pesawaran (Lampung), Kabupaten Way Kanan (Lampung), Kabupaten Lampung Selatan (Lampung), Kabupaten Pandeglang (Banten), Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), Kabupaten Sumenep (Jawa Timur), Kota Jember (Jawa Timur), Kabupaten Klaten (Jawa Tengah), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), dan Kabupaten Keerom (Papua).

Soal langkah pencegahan Kemendagri, Wartawan GATRA Erlina Fury Santika mencoba mengontak Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik. Namun, hingga berita ini diturunkan, Akmal belum bersedia menjawab.

Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) memproyeksi kepala daerah petahana akan maju lagi di 200 daerah pemilihan. Direktur Eksekutif Netgrit, Ferry Kurnia Rizkiyansah, menyarankan pemilu tidak dilakukan saat pandemi, karena akan muncul masalah pemanfaatan kekuasaan oleh petahana. Apalagi para petahana ini juga menjabat sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di daerah masing-masing.

Mantan Komisioner KPU ini, mengimbau agar petahana tersebut melepaskan jabatan ketua gugus tugasnya jika berniat berlaga kembali di pesta demokrasi Desember mendatang. "Ketika ada incumbent yang memang mau mencalonkan, dia harus meletakkan jabatan di Gugus Tugas. Selain itu, harus diterbitkan surat regulasinya dari atas, dari tingkat nasional dan Kemendagri," kata Ferry kepada Ucha Julistian dari GATRA.

Ia berharap, langkah preventif politisasi bansos Covid-19 segera dilakukan. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan juga mutlak diperlukan. Pemerintah pusat dan pemda harus menyiapkan rambu-rambu peringatan, serta mengatur sanksinya. Bila perlu, presiden mengeluarkan surat keputusan berupa aturan yang mengikat kepada seluruh kepala daerah agar tidak menyalahgunakan bansos. "Justru di awal ini, harus sudah diberi peringatan preventif, karena bansos itu ada potensi penyelewengan, terlebih juga nilainya kan luar biasa itu," tuturnya.

Putri Kartika Utami dan Intan Alliva Khansa