Home Politik ​​​​​​​Aksi Balik Badan di RUU HIP

​​​​​​​Aksi Balik Badan di RUU HIP

Pemerintah memutuskan menunda pembahasan RUU HIP. Sejumlah fraksi DPR balik badan dan menilai RUU tersebut dicabut dari Prolegnas 2020. Fraksi PDI Perjuangan sendirian?


Tergesa dan samar. Begitu Mulyanto mengingat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) ini, merupakan anggota panitia kerja (panja) RUU HIP.

Usulan RUU ini muncul dari salah satu anggota Fraksi PDI Perjuangan agar menjadi RUU inisiatif Baleg. Awalnya, nomenklatur yang disodorkan berjudul UU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Pertimbangannya, setelah dicabutnya TAP MPR Nomor II/MPR/1978, tak ada lagi payung hukum yang mengatur pembinaan Pancasila. UU ini juga memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang hingga kini dasar pembentukannya Peraturan Presiden Nomor 7/2018. Atas dasar itu, akhirnya disetujui RUU Pembinaan ini sebagai usulan Baleg.

Namun Mulyanto ingat di draf kedua, judul RUU sudah berubah. Kata "pembinaan" hilang. Hal ini menuai banyak protes dari fraksi-fraksi, lantaran penghapusan satu kata itu membuat pembacaan atas UU tersebut sama sekali berbeda. "Kalau pembinaan, kita memahami UU ini perangkat instrumental untuk menyosialisasikan Pancasila. Begitu kata "pembinaan"-nya hilang, dia menjadi Pancasila itu sendiri, kedudukannya lebih tinggi dari UU, menjadi haluan," ia menuturkan.

Saat itu, PKS dan Demokrat yang berada di luar koalisi pemerintah, menolak pengerjaan tergesa karena sedang menghadapi pandemi COVID-19. Alasan lain, pembahasan dilakukan secara virtual sehingga rapat menjadi kurang optimal.

Pengawasan kian buram lantaran peran ganda Politisi PDIP, Rieke Diah Pitaloka. Wakil Ketua Baleg ini, selalu memimpin jalannya sidang Baleg. Dalam rapat 22 April 2020, Mulyanto tak yakin agendanya berupa pengambilan keputusan atas penyusunan RUU HIP. "Samar-samar. Kita enggak yakin ini pleno [atau] bukan, karena pemimpin sidangnya juga ketua panja. Jadi, yang melaporkan hasil panja Ibu Rieke, yang memimpin [rapat pleno] juga Bu Rieke," katanya.

Saat rapat pleno itu, fraksi-fraksi juga tak menyiapkan pandangan mini fraksi dalam pengambilan keputusan. Dalam tata tertib DPR, pandangan ini bersifat tertulis dan harus dibacakan.

PKS keberatan lantaran TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tak dicantumkan sebagai konsiderans. Ketetapan ini mengatur pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia, serta larangan menyebarkan ajaran komunis, marxisme-leninisme. Kedua, munculnya klausul Trisila, Ekasila, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Ini mendegradasi Pancasila sekaligus sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. "Banyak sekali catatan kami. Meski ditulisnya oleh sekretariat, menerima dengan catatan, karena itu lisan," ujar Mulyanto.

Masukan terkait hal-hal itu, sebetulnya muncul pula dari fraksi lain. Rieke ketika itu menyatakan, saran-saran tersebut akan dipertimbangkan untuk dimasukkan. Namun, begitu drafnya muncul, masukan mereka tak diterima. PKS bereaksi dengan membuat pandangan mini fraksi yang harusnya dibacakan di rapat pleno. Isinya, menolak. Demokrat pun sebarisan dengan PKS. Demokrat bahkan menarik diri dari keanggotaan dari Panja RUU HIP.

Alhasil, pembahasan RUU diteruskan di Badan Musyawarah (Bamus) dan diputuskan dimajukan ke paripurna pada 12 Mei untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. Saat pembahasan di paripurna, waktunya pun mepet jelang berbuka puasa. Pandangan masing-masing fraksi tidak dibacakan, sehingga tidak dapat diketahui mana saja yang menerima atau menentang. "Langsung disebut semua setuju. Kita kaget, interupsi nyalakan mik, tapi mik mati," ucap Mulyanto.

***

RUU HIP tak hanya buat gaduh di parlemen. Berbagai kalangan publik pun menolak, terutama kelompok Islam yang menentang paling keras. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan Front Pembela Islam (FPI), kompak mendesak RUU ini dicabut.

Kelompok nasionalis juga mengkritik RUU HIP karena dinilai mengusik Pancasila. Sejumlah purnawirawan TNI dan Polri bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juni lalu. Mereka menyampaikan sikap mereka terkait RUU ini. "Mereka ingin Pancasila tidak tercabik-cabik oleh paham seperti liberalisme, komunisme, dan radikalisme," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Karena riuhnya suara kontra, pemerintah memutuskan menunda pembahasan RUU HIP. Pemerintah meminta DPR kembali mendengar masukan publik. "Presiden belum mengirim supres (surat presiden) untuk membahasnya dalam proses legislasi. Pemerintah sudah mulai mempelajarinya secara saksama dan sudah menyiapkan beberapa pandangan," kata Mahfud.

Anggota Baleg F-NasDem, Taufik Basari, membenarkan awalnya NasDem mendukung RUU HIP. Namun, dalam beberapa rapat panja di Baleg, NasDem mendengar berbagai masukan dari partai lain yang menilai RUU ini tak sejalan dengan nilai-nilai ideologis Pancasila itu sendiri. "Salah satu yang kemudian tersisa di ujung rapat panja tersebut adalah permintaan beberapa fraksi dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Itu kemudian jadi catatan di rapat terakhir," ujar Tobas, sapaan akrabnya, kepada M. Guruh Nuary dari GATRA.

NasDem meminta agar pandangan itu diakomodasi dalam draf UU. Jika tidak dilakukan, partainya menolak melanjutkan pembahasan. "Ternyata masih belum dimasukkan juga TAP MPRS tersebut. Akhirnya di paripurna, Fraksi Partai NasDem kembali menyatakan menolak apabila tidak dimasukkan TAP MPRS tersebut," ujar Ketua DPP NasDem tersebut.

Wakil Ketua Fraksi PAN, Saleh P. Daulay menjelaskan keberatan PAN, yaitu absennya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 sebagai rujukan RUU. Dari awal, PAN mengeklaim sudah menyadari dan memberikan catatan. Jika masukan tersebut tidak diakomodasi, fraksi ini menarik diri dari pembahasan. "Kita sudah mengingatkan itu," ujarnya  kepada Wartawan GATRA, Ucha Julistian Mone.

Di tengah gaduhnya penolakan, Saleh menilai sebaiknya DPR segera mencabut pembahasan RUU HIP dari Prolegnas 2020. Ia mengusulkan agar dewan berdialog dengan pihak-pihak yang memperdebatkan regulasi tersebut. Lagipula, tak genting menuntaskan segera RUU ini.

***

Kini, fraksi-fraksi yang menyetujui penyusunan RUU HIP balik badan, meninggalkan PDIP sendirian. Fraksi Golkar, PAN, Gerindra, NasDem, PKB, dan PPP ikut mengkritisi substansinya. Soal sikap balik badan fraksi lain, Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah, memandang hal itu wajar. Menurutnya, politik memang dinamis, apalagi ketika hal ini mendapatkan perhatian publik.

"Saya sangat memahami dan menghormati sikap fraksi-fraksi di DPR yang saat ini menolak atau berbalik menolak setelah sebelunya mendukung RUU HIP ini," ujarnya saat dihubungi Wartawan GATRA, Dwi Reka Barokah.

Basarah mengatakan, RUU HIP dibuat untuk menguatkan BPIP. Pasalnya, dasar pembentukan BPIP hanya Perpres. Kalau alas hukumnya UU, baik pembentukan norma hukum maupun pengawasan pelaksanaanya akan lebih terbuka, karena melibatkan DPR dan publik.

Soal klausul Trisila dan Ekasila, ia menjelaskan bahwa kedua hal itu merupakan bagian dari isi pidato Bung Karno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Menurutnya, kedua rumusan itu menjadi bagian dari konstruksi sejarah dan filsafat pemikiran yang harus diketahui oleh setiap anak bangsa.

Namun Basarah menegaskan, hal itu tak muncul dari PDIP. Gagasan tersebut muncul dari fraksi lain, yang enggan ia sebutkan. "Saya tidak mungkin membeberkannya karena akan melanggar etika dan sopan santun berdemokrasi," ucapnya.

Putri Kartika Utami