Home Politik Untung-Rugi Ambang Batas Tinggi

Untung-Rugi Ambang Batas Tinggi

Pemilihan Umum nasional masih empat tahun lagi. Memang "Belanda masih jauh", tapi DPR sudah memulai kerja inisiatifnya menyusun revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ada sejumlah materi dalam draf usulan revisi yang memicu diskusi lumayan seru. Diantaranya urusan ambang batas parlemen alias parliamentary threshold (PT). Dua fraksi di DPR, Golkar dan Nasdem sudah berancang-ancang untuk mendukung draf revisi UU Pemilu yang menetapkan ambang batas parlemen sebesar 7%. Sedangkan fraksi lain masih memilah-milah antara 3%, 4%, atau 5%.

Asal-muasal naiknya angka ambang batas ini ternyata bisa ditarik hingga pertemuan antara Airlangga Hartarto dan Surya Paloh di markas Partai Golkar, awal Maret lalu. Usai pembicaraan antar-elite partai itu, Surya Paloh menyebut ingin menaikkan ambang batas parlemen. Angka yang disebut juga tepat dengan apa yang ada dalam draf revisi: 7%. Gayung bersambut, Airlangga yang juga menjabat Menko Perekonomian, sepakat dengan tawaran Paloh di angka itu.

Tiga bulan berselang, revisi UU Pemilu pun selesai dibuat oleh tenaga ahli Komisi II dan Badan Keahlian DPR. Salah satu isinya yakni menaikkan ambang batas, dari 4% menuju 7%. Tentu ada tujuan tertentu dibalik usulan kenaikan hampir dua kali lipat itu. Utamanya terkait penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen. Ketua Komisi II, Ahmad Doli Kurnia, menyebut Golkar ingin mendorong sistem pemerintahan presidensial yang kuat. “Ini akan efektif dan selaras jika DPR menganut sistem multipartai sederhana,” ujarnya kepada Muhammad Guruh Nuary dari GATRA.

Doli, yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, mengingatkan bahwa selama kurun waktu 22 terakhir,  ambang batas parlemen sudah naik lima kali. Selama itu pula, menurutnya, tidak ada UU yang dihasilkan DPR bisa bertahan lebih dari lima tahun. “Karena kita menginginkan UU ini adalah UU yang fixed dalam waktu yang cukup panjang, tidak berubah dalam waktu lima tahun sekali berubah, bahwa 15 tahun atau 20 tahun sekali kita akan uji,” ia memaparkan.

Usulan 7% berbeda dengan banderol Fraksi PDI Perjuangan dan PKB yang memilih angka kenaikan yang dianggap moderat, yaitu 5%. “Jangan langsung drastis. Memang angka yang kita anggap rasional itu di 5%,” ujar anggota Fraksi PKB Jazilul Fawaid kepada Ryan Puspa Bangsa dari GATRA.

PKB memiliki hitungan politis-matematis dengan angka 5% itu. Menurut Jazilul, PKB ingin membangun kultur demokrasi yang baik. Artinya, dengan memberikan kesempatan lahirnya partai-partai baru yang relatif memiliki suara kecil. Hal ini tentu berbeda jika angka ambang batas sudah sebesar 7%. “Kita mempertimbangkan rasionalitas dan keadilan untuk perjalanan demokrasi yang lebih mementingkan tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru,” ujarnya.

Apa yang diucapkan Jazilul memang ada benarnya. Dengan ambang batas terlampau tinggi, mustahil melahirkan kekuatan politik baru di parlemen. Hal ini juga dirasakan oleh Partai Hanura, yang harus rela absen di Senayan hingga 2024 nanti. Sekjen Partai Hanura, Gede Pasek Suardika, menjelaskan bahwa revisi UU Pemilu dengan ambang batas sangat tinggi ini justru melanggengkan oligarki kekuasan parpol tertentu di DPR. “Parameternya jelas, kompetisi demokrasi berikutnya ingin dibuat sedemikian rupa agar hanya dirinya (partainya) yang lolos,” ujarnya kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.

Pasek juga beranggapan, aturan main dalam Pemilu 2024 dibuat agar jauh dari kesan netral dan jauh dari filosofi demokrasi yang mengamanatkan kedaulatan di tangan rakyat. Revisi ini, ia melanjutkan, tidak lebih dari upaya pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat tersebut. Alasan Pasek cukup masuk di akal. Ketika ambang batas berada di angka 4%, ada sekitar 13,5 juta suara yang terbuang sia-sia. “Kalau 7% kelipatannya akan jadi dua itu yang pertama lebih banyak suara rakyat sengaja yang dihilangkan atas dasar melanggengakan kekuasaan dengan kompetisi yang tidak fair,” Pasek menegaskan.

Kecaman Pasek terhadap angka ambang batas ini seolah mewakili keresahan tiap parpol non-parlemen. Maka, wajar jika semua parpol yang harus absen di Senayan periode ini saling berkomunikasi satu sama lain. Sama wajarnya jika kemudian muncul wacana fusi parpol, selain untuk urusan pemenuhan ambang batas, juga sebagai salah satu cara suara rakyat tidak mubazir. “Tetapi yang prinsip bukan fusi atau tidak fusi. Urusanya UU Pemilu harus memastikan suara rakyat tidak banyak hilang. Pembuat UU harus menjaga suara rakyat jangan dibalik,” ucap Pasek lagi.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, DPR belum terlalu perlu menaikkan ambang batas parlemen. Sebab alasan fundamental dari kenaikan itu belum bisa terlihat dengan pasti. “Jika memang perlu ada kenaikan, tentu ada persoalan di angka 4%. Nah, ini perlu dijabarkan alasan-alasannya,” ujarnya kepada Erlina Santika Fury dari GATRA.

Apa yang dikemukakan Pasek tentang menjaga kelanggengan kekuasaan pun diamini Firman, ketika alasan DPR untuk menaikkan ambang batas belum dapat dikatakan rasional. Jika alasannya pun belum jelas, maka hal yang paling mungkin adalah negosiasi politik di DPR bisa lebih mudah dan singkat.

Firman tidak menampik bahwa ada keuntungan di balik ambang batas yang tinggi. Salah satunya adalah para politisi lebih berhati-hati jika ingin membentuk parpol baru. Karena, suka atau tidak, angka 7% memang cukup tinggi bagi parpol seumur jagung. “Orang tidak bisa main-main dalam membuat partai. Sehingga memang partai tidak dikelola secara serampangan atau seadanya. Artinya kita mendorong partai untuk lebih profesional di tengah masyarakat,” ia menjelaskan.

Partai politik yang berkualitas menjadi salah satu manfaat dari angka ambang batas yang tinggi. Ini menjadi hal baik untuk masa depan demokrasi Indonesia. Tapi, bagi Firman, kondisi demokrasi selama sepuluh tahun ke belakang semakin tak karuan. “Karena salah satunya kekuatan semakin terpusat, tersentralisir, semakin oligarkis. Itu yang harus kita benahi dulu," ujarnya.


Aditya Kirana