Anggaran penyelenggaraan pilkada diputuskan mencapai Rp4,7 trilyun. Mulai dicairkan bulan ini. Penyelenggara pemilu harus pintar-pintar melakukan efisiensi. Biaya politik calon kepala daerah cenderung meningkat kala pandemi.
Setelah delapan jam berlangsung, rapat dengar pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perwakilan pemerintah, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 11 Juni lalu akhirnya menyetujui gelontoran dana pemerintah untuk pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) serentak akhir tahun nanti berkisar hingga menyentuh angka Rp4,7 trilyun. KPU sebagai penerima dana ini akan menerima pencairan anggaran ini dalam tiga tahapan berturut-turut sebesar Rp1,024 trilyun, Rp3,236 trilyun, dan terakhir sebesar Rp457 milyar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pencairan tahap pertama sudah bisa diterima KPU selambatnya bulan Juni ini. “Dengan demikian akan memberikan kepastian supaya proses untuk pelaksanaan pilkada, yang menurut Mendagri dan KPU adalah mulai tanggal 15 Juni ini, sudah bisa dilakukan,” katanya.
Tahap selanjutnya anggaran ini akan direalisasikan setelah dilakukan ulasan mendalam dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Penyelenggara Pemilu dan Gugus Tugas Covid-19. Paling lambat, realisasinya akan pada 17 Juni. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga menjelaskan soal pentingnya ulasan yang akan dilakukan untuk mencegah tumpang tindih penggunaan anggaran, baik dari APBD maupun APBN.
Meski demikian, Sri Mulyani tidak menjamin tiap daerah akan mendapatkan tambahan anggaran yang sama. Hal ini tentu saja menyesuaikan dengan kemampuan APBD masing-masing daerah. Apa lagi dengan kondisi pandemi, tentu berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD) yang akan memengaruhi APBD.
Meski terhitung sebagai pilkada serentak dengan anggaran paling kecil, toh duit yang dikucurkan Kementerian Keuangan tidak sedikit, apalagi jika dihadapkan dalam keadaan ekonomi serba sulit saat pandemi Covid-19. Tapi apa mau dikata, demokrasi memang butuh ongkos, terlebih jika ingin menghasilkan demokrasi yang berkualitas.
Jika bicara soal anggaran, KPU telah menghitung kebutuhan tiap daerah. Hasil hitungan ini yang kemudian memunculkan angka Rp4,7 trilyun tadi. “Jumlah tersebut sudah dihitung berdasarkan kebutuhan daerah, karena setiap daerah memiliki jumlah pemilih, TPS, kecamatan, dan kelurahan/desa yang berbeda,” ujar Ketua KPU, Arief Budiman, kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra.
Sementara itu, Arief melanjutkan, anggaran pilkada yang menyangkut kebutuhan kepala daerah sudah termaktub dalam Naskah Perjanjiah Hibah Daerah (NPHD) yang disepakati akhir tahun lalu. Tapi jika dirunut dari aturannya, biaya pelaksanaan pilkada sebenarnya dibebankan kepada APBD. Hal ini tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, persisnya di Pasal 166.
Meski demikian, pasal yang sama juga menyebut klausul tentang dukungan APBN. Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Mochammad Ardian Noervianto, menegaskan bahwa pemetaan dan proyeksi keuangan daerah tahun 2020 ini masih terus digiatkan. “Kita optimistis bisa menghadapi pilkada 9 Desember dengan aman. Penting bagi pemerintah daerah untuk menyiapkan instrumen bagi penyelenggara pilkada, baik KPU, Bawaslu maupun pengamanan,” ujar Ardian.
Jika ditelisik dari data rekapitulasi daerah, total NPHD saat ini seharusnya berkisar di angka Rp13,9 triliun. Dari angka itu, Ardian melanjutkan, yang sudah diterima oleh penyelenggara pemilu baru sekitar Rp5,8 triliun. “Artinya, masih ada 9,1 triliun yang belum diterima penyelenggara,” Ardian menjelaskan.
Kementerian Dalam Negeri sebenarnya juga telah berkoordinasi antara lain dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan juga KPU daerah. Hasilnya, saat ini memang masih ada anggaran yang tersisa dari NPHD. Tapi Ardian mafhum, karena tahapan Pilkada masih panjang. “Maka itu penting untuk penyelenggara di daerah agar saling berkoordinasi dan mencermati tiap dinamika, khususnya terkait pandemi di tiap daerah. Karena kasusnya pasti berbeda di tiap daerah,” ujarnya.
Karena itu, maka rasionalisasi dan optimalisasi anggaran penting untuk disegerakan, bukan hanya bagi KPU melainkan juga bagi para kepala daerah yang mengelola NPHD. Ardian berharap, hasil koordinasi ini dapat segera dilaporkan pada Kementerian Dalam Negeri. “Untuk menghitung kembali kapasitas fiskal masing-masing daerah. Tentunya kami memperhatikan kondisi APBD daerah,” Ardian memaparkan.
Jika bicara APBD, dari data yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri, 270 pemerintah daerah yang melaksanakan pilkada mengalami penurunan PAD yang mempengaruhi besaran APBD. Belum lagi jika ditambah dengan turunnya dana transfer daerah. “Di 270 pemda pelaksana pilkada, total APBD sebelum pandemi sebesar Rp506 trilyun. Setelah pandemi menjadi Rp445,4 trilyun atau turun sebanyak Rp60,6 trilyun. PAD turun sekitar Rp19,79 trilyun, dana transfer turun Rp7,56 trilyun,” Ardian memaparkan.
Anggaran pelaksanaan Pilkada baru satu dari demikian banyaknya dimensi keuangan dalam pesta demokrasi. Salah satu yang juga menjadi penting adalah biaya politik tiap-tiap kandidat. Dalam hasil riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), biaya politik jika direratakan sebesar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar untuk level bupati atau wali kota.
Sementara itu, untuk posisi gubernur, kandidat harus mengeluarkan kocek hingga Rp100 milyar. Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan bahwa biaya politik ini sepertinya jauh jika dibandingkan dengan harta kekayaan calon kepala daerah. “Dalam LHKPN, harta kekayaan kandidat berkisar Rp6 miliar hingga Rp8 miliar saja. Hal ini makanya kandidat mencari sponsor ke pengusaha atau sektor swasta,” ujar Titi.
Kebutuhan dana politik ini belum cukup jika dikaitkan dengan kondisi pandemi yang menyebabkan daftar pengeluaran politik mereka semakin panjang. Sebut saja pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi tim pemenangan dan masyarakat.
Belum lagi jika adanya titik temu antara kepentingan ekonomi masyarakat terdampak Covid-19 dan pragmatisme calon kepala daerah. “Ini bisa menjadi tantangan besar, yakni menguatnya politik transaksional. Biaya politik bisa makin tinggi,” Titi memaparkan.
Sebenarnya, ada solusi yang dapat dilakukan untuk menekan biaya politik transaksional dalam pilkada kali ini. “Bisa dilakukan efisiensi karena model kampanye yang berorientasi digital,” katanya.
Tapi dari hasil kajian Perludem, massa pemilih masih lebih menggemari interaksi langsung dengan para calon kepala daerah. Maka, dalam jangka panjang, perlu aturan main yang lebih dekat kepada realitas di lapangan. Termasuk memperbaiki kualitas transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana kampanye.
Tapi toh ujungnya ada pada kemampuan pemilih dalam memilah kandidat yang terbaik bagi daerahnya. Apa lagi dengan kondisi pandemi yang belum tentu membaik saat Pilkada mendatang, Titi menyarankan agar literasi pemilih secara gradual ditingkatkan secara lintas sektoral.
Selain itu, partai politik (parpol) perlu memaksimalkan peran kontrolnya dalam pemilu. Fungsionalisasi peran parpol ini penting untuk menjaga pemilu tetap kompetitif. “Jika parpol berkompetisi secara baik, 50% dari persoalan kita sudah selesai. Sayangnya, ini belum terjadi, termasuk ketika di tengah pandemi ini,” Titi memaparkan.
Aditya Kirana
Anggaran Pilkada Serentak
2015
9 daerah pemilihan gubernur dan 260 daerah pemilihan kabupaten/kota.
Rp 7,09 triliun
2017
7 daerah pemilihan gubernur dan 94 daerah pemilihan kabupaten/kota.
Rp 5,96 triliun
2018
17 daerah pemilihan gubernur dan 154 daerah pemilihan kabupaten/kota.
Rp 15,16 triliun
2020
9 daerah pemilihan gubernur dan 261 pemilihan kabupaten/kota.
Rp4,7 trilyun
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah dan KPU