Abhan
Ketua Bawaslu
Pilkada Saat Pandemi Harus Tetap Berkualitas
Metode pelaksanaan tahapan pilkada 2020 berpotensi menghadapi masalah dan memunculkan peluang pelanggaran khas. Bawaslu sedang melakukan proses pemetaan masalah dan pembaruan indeks kerawanan pilkada.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan beberapa potensi masalah dan pelanggaran yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pilkada 2020 di tengah pandemi. Masalah itu mulai dari potensi penyalahgunaan wewenang hingga adanya kemungkinan degradasi kualitas pemilu.
Untuk mengetahui lebih lanjut potensi permasalahan dan antisipasi yang dilakukan Bawaslu, Wartawan GATRA Erlina Fury Santika dan Fotografer Adi Wijaya mewawancarai Ketua Bawaslu, Abhan, di ruang kerjanya, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu lalu. Berikut petikannya:
Apa potensi masalah yang bisa terjadi dalam penyelenggaraan pilkada nanti?
Kalau bicara soal potensi masalah, dalam sejarah demokrasi di Indonesia, ini pertama kali tahapan pelaksanaan pilkada dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Ini putaran pilkada serentak terakhir sebelum kita pemilu serentak nasional. Bawaslu menyampaikan, memang bisa melaksanakan di tengah pandemi ini, tetapi harus dengan prasyarat. Prasyaratnya adalah harus dengan protokol pencegahan penyebaran COVID-19 yang ketat bagi penyelenggara maupun peserta.
Bagaimana Bawaslu mengawasi tahapan pilkada dalam keterbatasan teknis karena pandemi ini?
Pengalaman pada pilkada kan bukan sekali ini. Tahun 2015 ada pengalaman, 2017 juga ada, 2018 ada, 2019 ada. Tentu pengalaman-pengalaman ini menjadi pembelajaran kami dalam pengawasan. Kita nanti menunggu, apakah semua tahapan ini masih dilakukan secara konvensional atau ada perubahan, seperti melalui mekanisme daring (dalam jaringan/online).
Bagaimana contoh mekanisme daring?
Misal, kampanye nantinya menggunakan virtual, kami harus mengubah strategi pengawasan, ya. Kalau itu digunakan dengan media daring, potensi pelanggaran mungkin bisa masif atau banyak terjadi pelanggaran yang sifatnya hoaks, kebencian. Itu seperti pengalaman-pengalaman kemarin, karena kampanye yang virtual itu kan juga sudah dilakukan sebelumnya. Dalam konteks ini, kami ada kerja sama dengan platform yang ada di Indonesia, misalnya dengan Google, Facebook, Twitter, dengan WA. Bawaslu kerja sama dengan Kominfo, platform, dan juga badan siber.
Apakah metode daring tidak akan mendegradasi kualitas penyelenggaraan?
Tentu ini jangan sampai terjadi, ya. Artinya, pilkada di tengah COVID-19 tetap harus berkualitas, baik proses maupun hasilnya, tetapi memang ada beberapa hal yang punya potensi terjadinya malapraktik elektoral. Yang pertama di dalam tahapan verifikasi dukungan perseorangan, yang kedua adalah di pemutakhiran data pemilih coklit (mencocokan dan meneliti), yang ketiga di masa kampanye, dan keempat pemungutan suara.
Empat tahapan ini kompleksitasnya tinggi karena ada tingkat intensitas relasi antara penyelenggara dan masyarakat. Jadi, kan di tahapan verfak (verifikasi faktual) dukungan perseorangan, mutarlih (pemutakhiran data pemilih), kampanye ini kan tingkat intensitas interaksi penyelenggara dengan publik ada.
Artinya tidak semuanya bisa daring?
Kalau seandainya memang ini mekanismenya diubah, tidak konvensional, ini jangan memengaruhi degradasi dari kualitas tahapan itu kan. Apakah nanti mau dilakukan dengan daring. Misal lewat daring, apakah cukup coklit memastikan orang itu memenuhi syarat atau enggak, konfirmasinya ke telepon. Ini jangan sampai mengurangi kualitas coklit, memeriksa data pemilih untuk mencocokkan dan penelitian.
Apa saja potensi pelanggaran yang mungkin terjadi?
Pelanggaran yang barangkali terjadi adalah adanya abuse of power, penyalahgunaan kewenangan bagi calon, notabenenya petahana. Dari beberapa daerah ini, hitungan kami ada 200-an yang potensinya adalah petahana. Saat ini, pemerintah sedang melakukan penyaluran bansos COVID-19.
Ini dilakukan pemerintah pusat dan daerah, dan kebetulan ketua gugus tugasnya ini kan kepala daerah. Tingkat provinsi, gubernur. Tingkat kabupaten/kota, yang bupati/wali kota. Ini akan menjadi potensi pelanggaran, manakala bantuan sosial ini disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis, kepentingan politik pilkada bagi calon yang petahana.
Apakah ketidakakuratan data pemilih juga berpotensi terjadi?
Ya, tadi karena coklit-nya kurang, tidak bisa turun ke lapangan. Kemudian verfak dukungan perseorangan kurang maksimal.
Ada potensi penyelewengan dana APD?
Kalau itu bukan wilayah pelanggaran pemilu, tapi sudah masuk soal pidana korupsi. Ya, tentu harapan kami, karena ini uang rakyat dan di tengah-tengah pandemi COVID-19, ya jangan sampai ada pihak yang menyalahgunakan dana untuk APD di penyelenggara. Dan itu jadi masalah lagi, soal waktu yang mepet bagi kami untuk melakukan pengadaan (APD).
Di mana masalahnya?
Keputusan rapat ini kan didukung oleh APBN, tapi sampai saat ini kan belum cair, belum jelas disetujui berapa. Usulan Bawaslu itu Rp478 miliar, usulan KPU Rp4,7 triliun itu. Ini berapa dan kapan cairnya, padahal ini tanggal 15 Juni tahapan dimulai, tanggal 24 mulai turun ke lapangan karena verfak.
Kemarin itu, Menteri Keuangan baru menyanggupi Rp1,02 triliun. Jadi kalau Bawaslu, KPU, DKPP itu ditotal, sekitar Rp5,4 atau 5,3 triliun, ya. Sementara pengadaan logistik ini kan harus lelang. Seandainya enggak lelang, penunjukannya pun butuh waktu, distribusi ke daerah, dan sebagainya.
Apa fokus pencegahan dan pengawasan dari Bawaslu?
Di semua tahapan ini, kan ada potensi pelanggaran. Maka di semua tahapan ini, kami melakukan pengawasan. Pertama, tentu melakukan berbagai identifikasi dini, ya. Dengan misalnya membuat indeks kerawanan pilkada, yang tentu kami perbaiki, kita review kembali. Ketika indeks kerawanan pilkada dibuat beberapa bulan yang lalu, ini kan belum ada pandemi COVID-19, jadi belum ada variabel ini.
Kita harus melihat juga daerah-daerah yang barangkali dikategorikan oleh Gugus Tugas daerah hitam, merah, hijau, kuning. Ini kan kira-kira juga punya potensi berbagai pelanggaran.
Apakah enam bulan itu cukup, sedangkan metodenya saja seperti belum ketemu?
KPU sudah menyusun drafnya. Judul PKPU adalah Pelaksanaan Tahapan Pilkada di Masa Pandemi COVID-19. Di situlah nanti kita bisa melihat apakah semua yang dilakukan akan secara konvensional atau daring. Memang kita membaca drafnya daring, manakala konvensional tidak bisa. Jadi, masih menitikberatkan pada konvensional, tapi kalau tidak bisa, ya harus daring. Ini memang mengejar waktu betul, karena secepatnya segera untuk diundangkan dan segera untuk disosialisasikan.
Optimistis enam bulan itu bisa terkejar?
Penyelenggara tetap optimis. Tentu, ini harus didukung semua pihak.