

Yogyakarta, gatra.net - Aplikasi Injil berbahasa Minang ditolak di Sumatera Barat dengan dalih adat Minang dan Islam satu kesatuan. Padahal kalangan Islam di Minang tidak tunggal, bahkan ada yang mengritik adat Minang yang dinilai tak sejalan dengan Islam.
Hal itu disampaikan peneliti Program Studi Agama dan Lintas Budaya/ Center for Religious dan Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM) Mohammad Iqbal Ahnaf, saat dihubungi gatra.net, Selasa (16/6).
“Injil berbahasa Minang ini bukan sesuatu yang baru. Isunya muncul-hilang, muncul-hilang, dan sekarang diangkat lagi dengan nuansa politik lebih kuat karena itu dianggap laku,” tutur Iqbal.
Ia menjelaskan, hubungan ajaran Islam dan adat Minang sebenarnya saling melengkapi dan tak dikotomis. Dalam sejarahnya, kalangan Islam awal di Minang adalah kalangan Islam tradisional yang dekat dengan ajaran tarekat. “Kalangan Islam di Minang dulu terbuka pada budaya lokal,” ujar Iqbal.
Namun kini terjadi proses perubahan sosial dan politik di Sumatera Barat. Salah satu perubahan itu ditandai dengan munculnya lembaga adat baru yang memiliki bias politik kuat.
“Jadi ada aktor politik yang membentuk lembaga adat dengan kepentingan politik dan punya afiliasi kelompok Islam keras dan eksklusif. Kalangan ini lantas mendefinisikan adat Minang sesuai keislaman mereka,” papar doktor dari Victoria University of Wellington, Selandia Baru, ini.
Kelompok Islam ini mengklaim Islam dan adat Minang satu kesatuan. “Menariknya, kelompok ini juga menyerang adat tertentu di Minang yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam,” ujar Iqbal.
Iqbal menjelaskan, adat yang dinilai tak sejalan dengan Islam itu adalah adat pernikahan dan waris. “Prosedur-prosedur pernikahan Minang itu nuansa adatnya kuat. Sebagian tokoh Islam menyatakan prosesi adat itu tidak perlu karena tidak diajarkan di Islam,” tuturnya.
Selain itu, adat Minang juga mengenal kategori harta waris, yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun temurun, sedangkan harta pusaka rendah adalah harta seseorang yang diperoleh sendiri.
“Harta pusaka rendah ini yang dibagikan sesuai hukum Islam. Sementara harta pusaka tinggi mengikuti adat Minang dan diberika ke anak perempuan. Tokoh muslim mengkritik ini tidak sesuai dengan Islam,” kata Iqbal.
Kritik tokoh Islam atas adat Minang ini sebenarnya menunjukkan kelompok Islam di Minang tidak tunggal. Selain aktor politik Islam, ada kelompok Islam puritan yang apolitis dan berbeda pandangan dengan kelompok Islam tradisionalis.
Iqbal menyatakan, kasus penolakan Injil bahasa Minang hanya contoh bahwa ada kepentingan politik yang diuntungkan atas situasi tersebut di Minang. Apalagi, narasi yang mendikotomikan Islam dengan unsur lain menguat, termasuk di kancah nasional. “Identitas Minang dan Islam sebenarnya hanya menjadi instrumen politik,” kata dia.