Home Politik Menyoal Kewenangan Pemblokiran Internet

Menyoal Kewenangan Pemblokiran Internet

Presiden RI dan Menkominfo dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara atas perlambatan dan pemblokiran akses internet di Papua. Judicial review Undang-Undang ITE.


Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Nelvy Christin, membacakan putusan terkait gugatan pemblokiran internet di wilayah Papua dan Papua Barat pada pertengahan 2019 lalu. Majelis hakim menilai, pemblokiran tersebut sebagai perbuatan melanggar hukum. "Mengabulkan gugatan para penggugat," ucap Nelvy pada Rabu pekan lalu. 

Pemblokiran yang dimaksud, terkait dengan kejadian kerusuhan di beberapa wilayah Papua pada Senin, 19 Agustus 2019. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) saat itu, Rudiantara, disebut melakukan perlambatan hingga pemblokiran layanan data internet di Papua. Gugatan diajukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet). Dalam gugatannya, mereka menggugat Presiden serta Menkominfo.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, sekaligus kuasa hukum penggugat, Ade Wahyudin, menjelaskan bahwa gugatan yang diajukan merupakan salah satu bentuk perlawanan masyarakat secara hukum. Selain itu, putusan ini membuktikan bahwa hak asasi manusia (HAM) masih bisa diperjuangkan di Indonesia.

Langkah untuk melakukan perlawanan secara hukum, terkait kebijakan pemblokiran internet, sepertinya tidak akan berhenti pada putusan PTUN itu saja. Ade mengatakan, tindakan pemblokiran internet yang dilakukan pemerintah nyatanya tidak terjadi di Papua dan Papua Barat saja, tetapi di banyak daerah lainnya.

Oleh karena itu, untuk menguji keabsahan dari pasal pemblokiran internet yang tercantum dalam Pasal 40 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), masyarakat yang akan diwakili oleh LBH Pers akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). "Kenapa kita ingin uji, itu karena menurut kami kepastian hukum masyarakat masih belum jelas di dalam pasal itu," ujar Ade kepada Qonita Azzahra dari GATRA via telepon, hari Minggu lalu.

Ade menilai, selama ini penetapan konten-konten sebagai konten berita bohong atau hoaks hanya ditentukan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa masyarakat mengetahui secara pasti dan jelas di mana letak kebohongannya. Hal yang sama terjadi pula pada penetapan konten berbau SARA. Padahal, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui atas dasar apa sebuah konten dapat digolongkan sebagai berita bohong dan memiliki unsur SARA. "Kemudian karena ada pernyataan itu, akhirnya diblokir. Tanpa pemberitahuan, tanpa segala macam, tanpa proses hukum," tuturnya.

Meski pemerintah telah disebut bersalah, nyatanya putusan yang disampaikan oleh Majelis Hakim PTUN belum berkekuatan hukum tetap. Ade mengaku akan mengawal gugatannya ini hingga putusan memiliki kekuatan hukum sepenuhnya. "Kita masih menunggu 14 hari banding dari Presiden atau pun Kominfo," ujarnya.

***

Menkominfo, Johnny G. Plate, sudah berkonsultasi degan jaksa pengacara negara tentang rencana pihaknya mengajukan banding atas putusan itu. "Saya meyakini, pemerintah dalam melaksanakan tugasnya tidak melanggar hukum. Justru, pemerintah itu tugasnya untuk menegakkan hukum," ucapnya melalui sambungan telepon kepada Erlina Fury Santika dari GATRA, Senin lalu.

Meskipun saat kejadian kerusuhan Johnny belum menjabat sebagai Menkominfo, ia mengatakan bahwa secara teknis peralatan untuk melakukan throttling (perlambatan internet) tidak dimiliki oleh Kemenkominfo. "Tapi saya tahu, waktu itu ada internet yang lambat di Papua. Saya baca di media. Penyebabnya apa, itu yang harus dicari tahu," katanya.

Terkait kebijakan, termasuk dugaan adanya instruksi dari pemerintah terhadap pihak yang memiliki peralatan untuk melakukan perlambatan internet, Johnny meyakini tidak ada keputusan rapat mengenai hal itu. "Saya belum temukan dokumen administrasinya. Nyari-nyari, enggak dapat," katanya.

Soal rencana judicial review Pasal 40 UU ITE, Johnny menjelaskan bahwa pemerintah melaksanakan UU dan membuat UU sesuai dengan kewenangan yang ada dengan parlemen. Keputusan itu merupakan keputusan politik berdasarkan kesepakatan bersama. "Nanti repot [kalau] atas dasar opini-opini. Yang pasti negara harus aman. Pemerintah hadir untuk mengamankan negara," ia menegaskan.

***

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, mengatakan terkejut dengan putusan PTUN tersebut. Menurutnya, yang memblokir bukan Presiden atau Kominfo, tetapi penyelenggara jasa internet (ISP). Meski memang, perizinan ISP dikeluarkan oleh Kominfo dan di dalam izin tersebut ada ketentuan dan aturan turunan yang harus dipatuhi ISP. "Namun, setahu saya, tidak pernah ada perintah dari Kominfo untuk memblokir. Justru, yang memblokir adalah pihak ISP," ujarnya kepada M. Almer Sidqi dari GATRA. 

ISP, kata Ardi, tidak bisa dipersalahkan. Entitas swasta ini menghadapi dilema. Di satu sisi, harus menjalankan amanat seputar pemenuhan hak asasi dalam mendapatkan informasi, di sisi lain, harus mematuhi aturan Permen Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Pemblokiran. 

Jika menilik Peraturan Menteri Kemenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, pasal 2 huruf b tertulis penyaringan konten negatif bertujuan untuk "melindungi kepentingan umum dari konten internet yang berpotensi memberikan dampak negatif atau merugikan". Dengan demikian, pertimbangan yang digunakan adalah munculnya situasi genting. 

Satu-satunya jalan yang ditempuh dalam keadaan seperti ini bagi penyelenggara jasa internet, yaitu melakukan pembatasan ketimbang izinnya dicabut oleh negara. Situasi itu memang dilematis. Namun, kata Ardi, perlu dilihat gambaran yang lebih besar. Apa yang dilakukan di Papua tidak berbeda dengan apa yang dilakukan di daerah-daerah konflik lainnya, yaitu munculnya keadaan genting. "Tujuannya demi kebaikan bersama. Mungkin teman-teman di ISP itu menyadari potensi yang bisa diakibatkan situasi saat itu," katanya.

Hidayat Adhiningrat P.

Infografik

Gugatan Pemblokiran Internet di Papua

- Penggugat: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet

- Tergugat: Presiden dan Menkominfo

- Hakim PTUN menyatakan pemerintah melanggar hukum. 

- Pemerintah akan menggunakan hak-hak hukum terkait putusan ini (banding).

 

Rangkuman Putusan PTUN

1. Mengabulkan gugatan para penggugat.

2. Menyatakan tindakan-tindakan pemerintah, berupa:

- Throttling atau perlambatan akses/bandwidth di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua pada 19 Agustus 2019; 

- Pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet secara menyeluruh di Provinsi Papua (29 kota/kabupaten) dan Provinsi Papua Barat (13 kota/kabupaten) pada 21 Agustus 2019 sampai 4 September 2019;

- Memperpanjang pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet di 4 kota/kabupaten di Provinsi Papua dan 2 kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat sejak 4 September 2019 sampai dengan 9 September 2019; 

adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

3. Menghukum pemerintah untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp457.000

Sumber: putusan PTUN No.230/G/TF/2019/PTUN-JKT