Home Politik Drama Hukum Iuran Kesehatan

Drama Hukum Iuran Kesehatan

Presiden Jokowi masih bersikeras menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Perpres baru dianggap inkonstitusional. Mungkinkah akan dibatalkan kembali oleh MA?


Polemik di tengah pandemi Covid-19 kembali muncul ketika Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hadirnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan diklaim merupakan respon atas putusan Mahkamah Agung (MA) bernomor 7/P/HUM/2020 yang terbit pada 9 Maret lalu.

Lagi-lagi, keluarnya Perpres tersebut pun tidak berjalan mulus. Malah membuat Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) kembali semangat untuk melayangkan uji materi aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ke MA. Kali ini mereka ingin menguji Pasal 34 dan Pasal 42 yang ada dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020, yang rencananya akan berlaku bertahap dimulai pada 1 Juli 2020.

Sebelumnya, KPCDI pernah menggugat aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan dikabulkan MA. Putusan tersebut intinya membatalkan Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang menaikkan 100% iuran peserta BPJS mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) untuk seluruh kelas perawatan.

Ketua KPCDI, Tony Samosir, mengatakan saat MA mengabulkan uji materi para pasien cuci darah lantaran melihat kondisi ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi kurang. Kemudian, MA merekomendasikan BPJS melakukan perbaikan tata kelola di manajemen mereka. "Kita tahu fraud terus tentang sistem rujukan bagi pasien kronis termasuk pasien cuci darah yang tidak tepat sasaran, aksesibilitas terhadap obat juga itu yang menjadi dasar MA membatalkan iuran BPJS Kesehatan yang naik hampir 100%,” kata Tony kepada wartawan Gatra Wahyu Wachid Anshory.

Menurut Tony, gugatan baru pihaknya ini hendak menguji apakah BPJS Kesehatan sudah melakukan perubahan atas rekomendasi MA itu sebelum menaikkan iuran. “Jadi harus bisa dibuktikan dulu adanya perubahan layanan termasuk hak-hak peserta mengakses obat dan pengobatan dengan mudah. Ini yang kita uji nanti," ujar Tony.

Tony menjelaskan dengan kondisi sosial ekonomi saat ini, terjadi gelombang gangguan kesehatan besar-besaran, pengagguran naik, dan daya beli masyarakat turun, pemerintah harusnya tidak menaikkan iuran. Padahal, pelayanan kesehatan dinilai belum ada perbaikan.

Ditambah lagi, dalam Pasal 42 terkait denda juga menjadi beban masyarakat. Di mana yang tidak membayar selama ini adalah golongan masyarakat yang tidak mampu. Tony menilai masyarakat yang tidak bisa membayar ini bukan mereka tidak peduli. "Mereka menunggak 12 triliun itu kemungkinan mereka yang tidak mampu. Sudah tidak mampu dinaikkan dari 2,5% ke 5% ini sama saja mencekik mereka. Ini juga dialami pasien cuci darah yang rentan PHK,” katanya.

Atas beragam hal itulah, pihaknya telah ajukan gugatan kepada MA per tanggal 20 Mei 2020. “Intinya bahwa masih ada tata kelola manajemen yang buruk tentang penyelenggaraan jaminan kesehatan ini di lapangan," Tony menerangkan.

Menyikapi gugatan tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Dany Amrul Ichdan, mengatakan bahwa dirinya tak ingin berandai-andai dengan keputusan MA nantinya. Ia menyebut pemerintah hanya ingin fokus dengan apa yang dijalani saat ini.

Dany mengklaim, pemerintah mengeluarkan Perpres bukan tanpa alasan. Menurutnya, MA telah menyodorkan tiga opsi kepada pemerintah menyusul pembatalan tarif tersebut. Yakni, pemerintah diminta mencabut, menerima, atau mengubah Perpres tersebut. Namun, kata Dany, pemerintah memilih untuk mengubah Perpres Tahun 2019 itu. "Itu kan sesuai dengan keputusan MA, jadi sangat konstitusional," ujarnya kepada Erlina Fury Santika dari Gatra.

Penentuan tarif baru dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 di tengah pandemi memang membuat masyarakat panik. Namun sebelumnya, Dany mengutarakan bahwa penentuan tarif itu harus cepat dilakukan karena pemerintah harus menindaklanjuti keputusan MA yang memang dikasih tenggat hingga 90 hari sejak putusan MA terbit.

Dany menilai, keputusan penentuan tarif itu di tengah pandemi tidaklah gegabah, sebab pemerintah sudah memiliki sedikitnya empat indikator. Pertama, pemerintah melihat kemampuan masyarakat untuk membayar atau ability to pay. Dari situ didapatkan bahwa kemampuan membayar dari masyarakat dianggap sudah cukup, hanya kelas III yang dinilai perlu dibantu. "Makanya yang kelas tiga enggak dinaikin. Karena kalau itu dinaikin, maka tidak ada ability to pay," tuturnya.

Indikator kedua dalam penentuan tarif baru itu adalah nilai aktuaria BPJS Kesehatan. Dany mengatakan, iuran yang dibebankan ke masyarakat masih di bawah aktuaria yang ditetapkan. Indikator ketiga, pemerintah komitmen menjalankan keputusan MA dengan memperbaiki kualitas, fundamental Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Sedangkan yang keempat, pemerintah mengajak semua ekosistem JKN-KIS untuk merumuskan paket tarif dari rumah sakit yang ideal, terbaik, tidak merugikan rumah sakit maupun BPJS. "Perbaikan itu harus dilahirkan secara menyeluruh untuk menciptakan sistem yang efektif, efisien, dan memberikan nilai tambah pada ketahanan, kesehatan nasional," ia menambahkan.

***

Anggota DPR Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menyebut, Perpres kenaikan iuran BPJS itu tidak mengindahkan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR. Padahal, DPR telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana kenaikan itu melalui rapat-rapat di Komisi IX dan rapat-rapat gabungan Komisi IX bersama pimpinan DPR.

Saleh juga menilaipe merintah tidak patuh pada putusan MA yang membatalkan Perpres No.75 Tahun 2019. “Kalau mau lebih spesifik, kita bisa merujuk pada pasal 31 UU tentang MA yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini mengamanatkan dua hal. Pertama, sesuatu yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi. Kedua, kalau sudah dibatalkan tidak boleh dibuat lagi. Apalagi, substansinya sama, yaitu kenaikan iuran,” katanya kepada Muhammad Guruh Nuary dari Gatra.

Menurutnya, keluarnya perpres ini sekaligus mengukuhkan kekuasaan eksekutif yang jauh melampaui legislatif dan yudikatif. Padahal, di dalam negara demokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sama tinggi. Karena itu, keputusan-keputusan ketiga lembaga itu harus saling menguatkan, bukan saling mengabaikan.

Ketua Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan bahwa pada dasarnya Perpres yang baru juga tidak mengubah substansi dari Perpres yang sebelumnya dibatalkan MA. "Yang diganti bajunya saja. Isinya tetap digunakan. Secara hukum itu bermasalah. Presiden tidak patuh pada putusan pengadilan," kata Khairul kepada wartawan Gatra Muhammad Almer Sidqi.

Dengan tidak dipatuhinya putusan MA, maka Perpres baru itu juga inkonstitusional, meski tetap potensial untuk diuji kembali ke MA. Dan, besar kemungkinan akan dibatalkan kembali oleh MA. "Itu pun kalau MA konsisten dengan putusan-putusan yang dikeluarkan ketika membatalkan Perpres sebelumnya," ujar Khairul.

Gandhi Achmad