Home Nasional Strategi Adang Pandemi

Strategi Adang Pandemi

Jakarta, GatraReview.com - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya dipilih sebagai opsi menangani Pandemi Covid-19. Tidak serta merta diterapkan di daerah, karena harus dengan restu pemerintah pusat. Meski terbilang lambat dan terlalu birokratis, diharapkan mampu menekan penularan.

 

Presiden Joko Widodo memutuskan memilih skema Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), menggugurkan opsi-opsi sebelumya yang pernah mencuat, seperti karantina wilayah dan lockdown. Jokowi, dalam rapat terbatas di Istana Bogor pada Senin, 30 Maret lalu, menegaskan pelaksanaan PSBB. Untuk teknis pelaksanaannya, pemerintah daerah diminta taat mengikuti panduan prosedural kekarantinaan.

“Semua harus dikalkulasikan, harus dihitung, baik dampak kesehatan maupun dampak sosial ekonomi yang ada,” kata Jokowi.

Landasan hukum pelaksanaan PSBB sendiri bersandar pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 pada 3 Maret 2020, disusul dengan keluarnya Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, kepada Gatra review mengatakan, ada sejumlah indikator yang menjadi syarat terbitnya restu pusat kepada daerah untuk memberlakukan PSBB. Di antaranya, faktor epidemiologi, yakni terjadi penambahan kasus cepat dalam skala waktu pendek. Kemudian, adakah penambahan area terdampak, serta disusul terjadinya penularan lokal.

Selain kepala daerah yang bersangkutan, Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga dapat mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan PSBB di wilayah tertentu. Tentunya, harus disertai data dan didukung bukti epidemiologis berupa peningkatan jumlah kasus menurut waktu, peta penyebaran kasus, waktu kejadian transmisi lokal, dan informasi mengenai kesiapan daerah.

“PSBB itu jangka waktu evaluasi yang akan dilakukan, dilaksanakan dalam 14 hari penerapan kebijakan,” kata Terawan.

Kemungkinan akan terjadi perpanjangan, jika hasil evaluasi menunjukkan belum ada pengendalian epidemi. Daerah juga tidak perlu mengajukan izin PSBB lagi.

Gerakan Sosial Secara Masif

Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, ketika Rapat dengan DPR via Zoom pada Senin, 6 April 2020,mengatakan bahwa masalah Covid-19 bukan hanya masalah medis. “Kalau bicara medis, apa yang terjadi di Inggris, Italia, Spanyol, Prancis, Amerika? Mereka adalah negara dengan tingkat kualitas medis yang tinggi. Mereka pun tidak mampu menghadapi wabah kali ini,” ujarnya.

Doni mengatakan, perkara medis diserahkan kepada yang ahli, yakni Menteri Kesehatan berserta para pakar kesehatan. Ia menyatakan, pihaknya cenderung pada upaya menggerakkan naluri sosial. Indonesia, menurutnya, memiliki instrumen dari pusat sampai tingkat RT/RW. “Kalau kita bisa bersama-sama menggerakkan ini, maka salah satu faktor yang menjadi penentu tentang seseorang terpapar atau tidak, yaitu permasalahan imunitas ini, bisa kita dapatkan,” katanya. Hal yang tidak kalah pentingnya, yakni koordinasi.

Doni mengakui, masih terjadi nuansa ego sektoral. Namun, perlahan mulai mencair dengan masuknya keterlibatan tokoh informal, seperti sosiolog, ulama, budayawan, yang masuk dalam gugus tugas. Beberapa organisasi masyarakat juga dilibatkan, terutama yang pernah bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Masyarakat (BNPB) dalam menangani sejumlah kejadian bencana alam di berbagai daerah.

Ketersediaan alat pelindung diri (APD), bagi Doni, juga sangat penting. Layaknya peluru kendali, betapa strategisnya perlengkapan itu. Sama halnya dengan pentingnya ketersediaan pangan. Setelah melapor kepada Presiden, beberapa badan internasional juga mengonfirmasi banyak pimpinan dunia mewaspadai kerawanan pangan tahun ini. Indonesia bisa mengatasi jika kolaborasi antara pusat dan daerah terjalin baik.

Salah satu problem nyatanya, yaitu mengantisipasi warga yang memilih pulang kampung dari kota ke desa karena tidak ada pekerjaan. Realokasi dan refocusAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selain untuk penanganan Covid-19 harus dipikirkan. “Kami juga sudah hubungi Bapak Menteri Pertanian, kami sampaikan tentang sejumlah masyarakat yang sudah pulang kampung untuk bisa dibantu benih padi atau benih tanaman tertentu yang bernilai ekonomis,” katanya.

Dari sisi landasan hukum, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai pemerintah masih tergagapgagap mencegat merebaknya Covid-19. Pelaksanaan PSBB tidak akan mudah bagi antardarerah. “Daerah-daerah mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab, suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya. Apakah untuk efektivitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI, misalnya?” tuturnya.

Hal-hal tersebut, kata Yusril, tidak diatur dalam PP 21 Tahun 2020. Bahkan, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberi kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB. Pemda hanya dapat mengerahkan Satpol PP.

Polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika pemerintah pusat memutuskan untuk melaksanakan “karantina wilayah” sebagaimana diatur Pasal 54 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 2018. Karantina Wilayah hampir sama dengan “lockdown” yang dikenal di negara-negara lain, seperti Malaysia dan Filipina.

“Pemerintah memang tidak memilih menerapkan karantina wilayah, karena mungkin khawatir dengan masalah ekonomi. Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah, yang diterapkan karantina wilayah. Bayangkan, jika Jakarta saja dikenakan karantina wilayah, maka pemerintah pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 14 juta orang, entah untuk berapa lama. Bisa-bisa kita seperti India,” ujar Yusril lagi kepada Wahyu Wachid Anshory dari Gatra review.

Daerah Melawan Wabah

Berdasarkan aturan PSBB, masing-masing kepala daerah diberi kewenangan menafsirkan pandangan berbeda mengenai teknis penerapan PSBB. Provinsi Jawa Barat, sebagai daerah kedua yang mendapat restu dari pemerintah pusat, mulai memberlakukan PSBB di lima daerah pada Rabu, 15 April 2020. Daerah itu, antara lain Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, serta Kota dan Kabupaten Bekasi. “PSBB di wilayah ini akan dimulai Rabu, 15 April 2020 dini hari. Berlaku selama 14 hari ke depan. Setelah 14 hari kita evaluasi, apakah diteruskan atau dikurangi intensitasnya,” kata Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, melalui konferensi pers daring pada Minggu, 12 April lalu.

Lima daerah Jabar, menurut pria yang akrab disapa Emil itu, akan dibagi menjadi dua zona, yakni merah dan normal. Untuk kecamatan yang masuk zona merah, PSBB akan diberlakukan standar maksimal. Adapun non-zona merah, PSBB akan menyesuaikan. Khusus Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kota Bogor akan dilakukan PSBB maksimal. Status yang dimaksud Emil, yakni tertutupnya akses masuk dan keluar wilayah. Begitu pula dengan pembatasan kegiatan kantor, fasilitas umum, pendidikan, komersial, kebudayaan, dan keagamaan.

Secara detail, Emil siapkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB di kawasan Bodebek (Bogor, Depok, Bekasi). Isinya,yakni kendaraan yang boleh bergerak dalam zona PSBB hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, kesehatan, pertahanan, dan keamanan. Untuk layanan ride hailing pun hanya diizinkan mengantar barang, bukan orang. Sisanya, tidak ada kendaraan lalulalang.

Meski demikian, PSBB dinilai belum menjawab kekhawatiran. Salah satunya, kemampuan negara menyiapkan kebutuhan pokok masyarakat. Emil sendiri mengaku sudah menyiapkan tujuh pintu bantuan. Mulai dari PKH, Kartu Sembako, Kartu Pra-kerja, bansos presiden, dana desa, hingga bantuan pemerintah provinsi. Bantuan berupa sembilan bahan pokok,ditambah uang tunai demi menjaga daya beli.

Jawa Tengah memilih menunggu hasil pemberlakuan PSBB di daerah tetangganya. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sementara memilih berkoordinasi dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, sambil terus memantau sebaran Covid-19 di wilayahnya. Logistik, transportasi, dan keuangan menjadi fokus utama. “Agar nanti lebih siap bila kondisi harus masuk ke PSBB,” katanya kepada Gatra review di Semarang, Senin 13 April lalu.

Kini, ia dalam posisi mematangkan pendataan masyarakat sebagai salah satu skenario teknis dalam memberi bantuan. Senada dengan Ganjar, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga belum berpikir mengajukan PSBB. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyatakan dirinya fokus mempersiapkan lonjakan pemudik. Di sisi lain, soal serangan wabah, Sultan menilai belum memenuhi syarat epidemiologi dan transmisi lokal juga belum besar.

“Jadi, [PSBB] belum perlu,” kata Sultan pada Rabu, 8 April lalu, di kantornya, usai rapat bersama para kepala daerah di DIY. Sultan khawatir, lonjakan pemudik bakal terjadi justru dimulai jelang PSBB di Jakarta. Sebelumnya, ia mengimbau para warga DIY yang merantau agar tak mudik.

Menurutnya, pemudik dari wilayah endemi Covid-19 otomatis akan berstatus orang dalam pemantauan (ODP). Pemda DIY menyiapkan empat posko di empat terminal, stasiun, dan bandara, serta tiga pos di jalur masuk utama DIY, yaitu di perbatasan Sleman-Magelang, perbatasan Kulonprogo-Purworejo, dan Sleman-Klaten. Pemudik akan diperiksa di pos-pos ini. Mereka yang dinyatakan sehat harus melajukan isolasi mandiri.

Namun disiapkan pula dua shelter, seperti di Asrama Haji, Sleman, untuk menampung pemudik berstatus ODP, yang sedang menjalani tes kesehatan atau menunggu hasil tes tersebut. Shelter itu juga bisa digunakan untuk PDP (Pasien Dalam Pengawasan) yang sudah sembuh dan petugas medis yang tidak bisa pulang ke rumah. Pemda DIY akan membantu kabupaten/kota dalam hal pengadaan suplemen berupa vitamin selama 14 hari untuk dikonsumsi para ODP.

Pemkab Sleman juga menyiapkan lahan pemakaman bagi jenazah terkait Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Madurejo, Kecamatan Prambanan. TPU seluas tujuh hektare ini cukup jauh dari permukiman warga.

DKI Jakarta Paling Agresif

Anies Baswedan mau tidak mau harus terima keputusan pemerintah pusat, ketika akhirnya mendapat restu melaksanakan protokol PSBB di wilayah otoritasnya. Keputusan Menteri Kesehatan baru keluar pada Selasa siang, 7 April lalu. Berselang lebih dari sepekan sejak Anies meminta pemerintah memberlakukan karantina wilayah yang akhirnya ditolak. Anies sah-sah saja khawatir, mengingat DKI Jakarta merupakan wilayah dengan pasien positif terbanyak seIndonesia, termasuk dengan angka kematian tertinggi dibanding wilayah lain.

Sebelum mendapat restu PSBB, Anies sudah terlebih dahulu berinisiatif membentuk tim tanggap Covid-19 yang merupakan gabungan pejabat Pemprov DKI dari Dinas Kesehatan, Dinas Kominfo, dan Dinas Pendidikan. Kini, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB, ada beberapa hal yang harus dilakukan Anies selama Jakarta memberlakukan PSBB.

Dalam Pasal 12, disebutkan bahwa pemda harus secara konsisten mendorong dan menyosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat. Kemudian, Pasal 13 menjelaskan bahwa sekolah dan kegiatan perkantoran harus diliburkan, sedangkan kegiatan keagamaan serta kegiatan yang melibatkan fasilitas umum harus dibatasi.

Meski demikian, ada beberapa sektor yang diminta untuk tetap beroperasi. Dalam Pasal 13 Ayat (7) disebutkan, pembatasan dikecualikan untuk minimarket, pasar, dan toko yang menjual kebutuhan pokok, pangan, medis, bahan bakar, serta energi. Selain itu, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum untuk pemenuhan kebutuhan dasar penduduk, juga diminta tetap beroperasi seperti biasa.

“Yang bisa bekerja dari rumah, diatur atasannya untuk bisa bekerja dari rumah, tetapi pelayanan untuk kebutuhan jalan terus, karena itu tidak ada yang tutup,” ujar Anies seperti dilaporkan Dwi Reka Barokah dari Gatra review. Selain itu, tak ada penutupan akses untuk transportasi umum. Namun, kapasitas angkutan tetap dibatasi. Hal ini disebutkan dalam Pasal 13 Ayat (10).

“Kapasitas penumpangnya turun 50%. Jadi, kalau misalnya sebuah bus itu bisa diisi dengan 50 penumpang, maka tinggal 25 penumpang yang bisa berada dalam satu bus,” Anies menjelaskan. Agar teknis pemberlakuan PSBB detail, Anies juga menerbitkan Pergub Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam penanganan Covid-19 di DKI Jakarta. Pergub yang berisi 28 pasal ini akan menjadi dasar hukum atas pelaksanaan PSBB yang dimulai Jumat, 10 April 2020 hingga 23 April 2020.

“Selama dua minggu, masyarakat Jakarta diminta berada di dalam rumah dan mengurangi bahkan meniadakan kegiatan di luar. Tujuannya memangkas mata rantai penularan Covid-19, menyelamatkan diri kita, keluarga, tetangga, kolega, agar virus ini bisa kita kendalikan,”tutur Anies, dikutip dari siaran pers PPDI DKI Jakarta.

Sandika Prihatnala, Arif Koes Hernawan (DI Yogyakarta), Restu Nugraha Sauqi (Bandung), dan Insetyonoto (Semarang).

355