
Jakarta, gatra.net - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa puncak musim kemarau akan jatuh pada Agustus 2020. Pada prediksi kemarau itu, BMKG memperingati akan potensi karhutla dan kekeringan.
Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG Miming Saepudin mengatakan bahwa daerah rawan karhutla terdapat di Pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Wilayah tersebut diprakirakan akan mendapatkan curah hujan menengah sampai rendah pada Juni-September 2020.
Miming menambahkan, daerah rawan karhutla lainnya berada di Pulau Kalimantan, di antaranya Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Wilayah-wilayah ini akan mendapatkan curah hujan menengah hingga rendah pada bulan Agustus dan September 2020.
Masalah lain yang ditemui adalah potensi kemarau dan karhutla itu diduga bertepatan dengan puncak pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Diketahui, angka kasus penyakit dari virus tersebut pun masih tinggi hingga saat ini. Lalu seberapa bahayanya?
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Wiendra Waworuntu menjelaskan jika karhutla terjadi di tengah pandemi. Awalnya, Wiendra menyebut virus Sars-Cov-2, penyebab Covid-19, akan mati dalam suhu 38 derajat celcius. Virus itu juga bisa hidup di Power of Hydrogen atau pH 3-10. Ia membenarkan bahwa virus itu sensitif atau cepat mati jika terkena disinfektan dan sabun, dengan syarat frekuensi penggunaannya harus sesering mungkin.
Namun yang menjadi masalah menurut Wiendra, tingkat suhu panas yang tinggi dan kadar Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) lebih dari 200, sangat berbahaya bagi penderita Covid-19. Dalam tingkat kualitas udara yang buruk itu, siapa pun rentan terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
"Yang jadi masalah gejala ISPA dengan Covid-19 itu mirip. Tapi kalau di karhutla itu (penderita) ISPA-nya naik, ini perlu kesadaran petugas menangani dengan baik agar pasien tidak memburuk," kata Wiendra dalam rapat koordinasi bersama jajaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (8/5).
Masalah lain yang timbul jika karhutla dan pandemi 'bertemu' adalah kelangkaan masker untuk menyaring udara bersih di daerah terdampak karhutla sekaligus pandemi. Wiendra menyebut, masker N95 idealnya digunakan untuk masyarakat atau korban karhutla. Padahal, di masa pandemi Covid-19, masker jenis itu untuk petugas. "Ini akan jadi kelangkaan, kalau prediksi Juni-Juli-Agustus, kalau titik karhutla itu akan terjadi bersamaan dengan puncak pandemi, Covid ini belum (bisa diprediksi kapan) berakhir. Ini harus dicermati penggunaan masker, sementara dunia perlu masker," tutur dia.
Sejurus itu, masalah juga terjadi di fasilitas kesehatan. Wiendra tak menjamin seluruh fasilitas bisa menampung korban jika dikhawatirkan akan membludak akibat karhutla dan pandemi. Hal yang sama berdampak pada tenaga kesehatan. Wiendra menyebut jumlah tenaga kesehatan terbatas. Alternatifnya, masyarakat, di luar tenaga kesehatan, digaet untuk menjadi relawan kesehatan. "Tentu dengan adanya karhutla akan memperberat kondisi pasien Covid-19. Makanya perlu ruangan luas untuk evakuasi, penjernih udara. (Pasien terdampak karhutla) ini tidak, beda dengan Covid-19. Kalau Covid-19 ya isolasinya beda, gak boleh disamakan dengan yang ISPA," jelasnya.
Wiendra mengkhawatirkan, jika karhutla terjadi di tengah pandemi, kondisinya akan sangat membahayakan. Ia menilai korelasi tingkat kematiannya tinggi. "Kalau ada Covid-19 dan ada karhutla pasti tinggi (kematiannya)," kata dia.
Ia mengakui, hingga saat ini pihaknya belum belum merancang skema bagaimana jika Covid-19 berlangsung dengan bencana alam lainnya. Ia menegaskan, Kementerian Kesehatan akan membahas rencana agar bisa membaca dan mengantisipasi bencana itu. "Kami belum buat kontijensi plan (jika) ada karhutla dan Covid-19. Pandemi akan (memasuki) puncak, sementara akan terjadi kemarau. Ini strategi yang harus kita atur," tutupnya.