
Jakarta, gatra.net - Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati mengatakan ketimpangan gender dalam penanganan COVID-19 masih terjadi. Lantaran, Peraturan Kepala BNPB Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pengarusutamaan Gender (PERKA PUG) dalam Penanganan Bencana, masih belum menjadi landasan dalam kerja Satgas Percepatan Penanganan COVID-19, dan seluruh jajaran pemerintah.
“Absennya Perka BNPB Nomor 13 tahun 2014 ini berdampak serius kepada beberapa hal. Pertama, tidak terwujudnya representasi perempuan dalam Gugus Tugas Penanganan COVID-19 mulai dari tingkat nasional, daerah sampai dengan desa. Padahal pasal 17 dokumen PERKA telah mengatur perlunya perwakilan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki untuk terlibat,” katanya di Jakarta, Minggu (3/5).
Padahal menurutnya, keterwakilan perempuan bisa membantu memberikan masukan berdasarkan pengalaman-pengalaman spesifik yang dialami oleh masyarakat dalam menghadapi situasi darurat. Selain itu, belum ada pemahaman yang sama tentang PERKA PUG dari nasional sampai daerah.
“Hal ini menandai bahwa sosialisasi PERKA belum dilakukan secara optimal baik lintas Kementrian/Lembaga di nasional dan daerah. Oleh karena itu pandemi COVID-19 yang menghantam secara global termasuk Indonesia harus menjadi momentum yang tepat untuk memahami urgensi pengarusutamaan gender dan komitmen mengimplementasikannya dalam respon kedaruratan bencana, agar setiap warga bangsa ini memperoleh hak perlindungan yang setara dan adil untuk keluar dari masa sulit pandemi COVID-19,” tuturnya.
Oleh karenanya, Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender dalam Penanganan COVID-19 (Pokja PUG COVID-19) memberikan rekomendasi kepada beberapa instansi pemerintah serta DPR. Rekomendasi-rekomendasi ini ditujukan agar pemerintah bisa mengedepankan PUG dalam penenganan COVID-19.
“DPR harus fokus pada pemantauan kebijakan-kebijakan yg relevan dengan pencegahan COVID-19 agar berjalan dengan menggunakan prinsip HAM, keadilan gender, dijalankan dengan efektif, adaptif dengan kebutuhan lokal, partisipatoris dan mempertimbangkan segala bentuk kerentanan di masyarakat. Menggunakan semua kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat, untuk sinergi merespon COVID-19,” jelasnya.
Bahkan, Mike juga meminta DPR untuk menunda pembahasan dan pengesahan RUU Omnibus Law, RUU KUHP, RUU Masyarakat Adat , RUU Ketahanan Keluarga, RUU Perlindungan pemuka agama dan lainnya. Lantaran, hal ini membutuhkan masukan publik yang tidak memungkinkan di masa pandemi COVID-19 ini.
“Memastikan semua tahapan pembuatan perundang-undangan dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi bermakna masyarakat seperti Mendorong efisiensi alokasi dan penggunaan anggaran penanganan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.