
Yogyakarta, gatra.net - Sejumlah kasus kematian pasien terkait Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta tercatat tak akurat bahkan “hilang” di data resmi pemerintah daerah. Di tengah kapasitas tes yang terbatas, data kasus kematian menjadi indikasi penting untuk mengetahui seberapa parah pandemi Covid-19 dan langkah tepat penanganannya.
Penanganan dan pencatatan kasus kematian secara tidak tepat ini dialami BS, 47 tahun, yang meninggal pada 31 Maret 2020. Warga Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DIY, itu masih beraktivitas seperti biasa pada medio Maret 2020. Namun sepekan kemudian, tepatnya pada 22 Maret 2020, BS mulai batuk.
Selama ini, BS memang memiliki penyakit bawaan asma dan hipertensi. Esoknya, ia memeriksakan diri ke dokter. Namun kian hari kondisinya tak kunjung membaik. Lima hari sejak mulai batuk, BS mengalami sesak napas sehingga dibawa ke puskesmas.
Selang satu hari, pada 28 Maret, BS dilarikan ke sebuah rumah sakit swasta di Sleman. Pihak rumah sakit menyatakan Budi sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) dan harus menjalani isolasi. Sayangnya, menurut pihak rumah sakit, ruang isolasi di semua rumah sakit rujukan Covid-19 di DIY--jumlahnya 27--penuh.
Pihak rumah sakit sempat menyatakan masih tersisa satu kamar siolasi di rumah sakit rujukan lain. Namun rumah sakit itu tak bisa menerima BS dengan alasan tak punya kamar ICU khusus Covid-19.
“Akhirnya diminta isolasi mandiri di rumah,” kata RS, istri BS, yang menuturkan kronologi penanganan suaminya lewat pernyataan tertulis.
Baca Juga: Kajian Agama di Jakarta Sumbang 5 Kasus Corona di Yogya
Tiga hari kemudian, di hari terakhir bulan Maret, BS mengalami sesak napas berat. Ia sempat tak sadarkan diri. Pihak keluarga segera membawanya ke salah satu rumah sakit pemerintah di Sleman. Namun sayang, dalam perjalanan ke rumah sakit, BS tak tertolong.
Prosedur penanganan Covid-19 pada BS menimbulkan pertanyaan, seperti penetapan statusnya sebagai PDP yang tanpa keterangan tertulis. “Pernyataan PDP hanya lisan saja disampaikan oleh petugas IGD setelah melihat hasil ronsen dan lab darah,” kata RS yang juga dibenarkan oleh satu anggota keluarga BS yang lain.
Dengan status PDP hingga akhir hayat dan dimakamkan, sampel BS juga belum diambil. “Belum sempat di-swab karena alat tesnya katanya habis,” kata RS yang kini harus menjalani isolasi di rumah sakit dan menanti hasil tes swab dirinya.
Sebelumnya, pernyataan Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19 Berty Murtiningsih pada 2 April mengonfirmasi kondisi BS. “Laporan kematian PDP belum ada hasil laboratorium, 1 orang: laki-laki, 47 tahun, warga Sleman (belum diambil swab),” ujarnya.
Dalam prosedur penanganan PDP yang meninggal dan belum diambil sampelnya, PDP tersebut harus segera di-swab maksimal empat jam setelah kematiannya. Sampel itu dites melalui metode polymerase chain reaction (PCR) di laboratorium.
Hasil tes ini untuk mengetahui seseorang positif dan negatif Covid-19. Di DIY, data mereka yang terkait Covid-19 muncul di laman resmi Pemda DIY tentang persebaran Covid-19, corona.jogjaprov.go.id, yang bebas diakses publik.
Baca Juga: Lacak Peserta Hajatan, Positif Corona Gunungkidul Bertambah
Laman tersebut memang memuat data yang identik dengan BS. Di bagian data Sleman, di Kecamatan Ngaglik, tercantum PDP nomor 289, seorang laki-laki usia 47 tahun. Jenis kelamin, usia, kecamatan, dan status PDP ini cocok dengan data BS.
Namun, anehnya, di bagian keterangan data itu tertulis bahwa BS ‘negatif’ Covid-19 dan keterangan bahwa BS meninggal tak ada. Keterangan ini jelas bertolak belakang dengan pernyataan keluarga bahwa BS belum di-swab, sehingga tes PCR tak dapat dilakukan dan statusnya belum dapat dipastikan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sleman, Novita Krisnaeni, membenarkan bahwa data PDP 289 di laman Pemda DIY adalah BS. Novita juga mengonfirmasi BS belum di-swab. Menurut dia, penulisan keterangan ‘negatif’ Covid-19 untuk BS terkait dengan perubahan kebijakan.
“Kebijakan dulu memang kalau PDP belum di-swab tetap dianggap PDP. Tapi kebijakan sekarang kalau PDP tapi belum di-swab berarti tidak termasuk PDP. Kebijakan penangaan Covid-19 sangat dinamis,” tutur dia lewat aplikasi pesan.
Hingga Rabu (29/4) sore, sesuai data Pemda DIY, total PDP di DIY 822 orang dan ada 4.564 orang dalam pemantauan (ODP). Dari 822 PDP itu, hasil tes laboratorium menunjukkan 94 positif dan 661 negatif Covid-19. Dari 94 positif, 40 orang telah sembuh dan tujuh orang meninggal.
Dari 661 orang negatif Covid-19, 40 orang meninggal. Para mendiang di kategori ini umumnya memiliki riwayat penyakit penyerta dan wafat saat menanti hasil tes.
Selain itu, hingga kini, ada 67 PDP tengah menanti hasil tes dan empat di antaranya wafat. Alhasil, jumlah kematian PDP ini dan pasien positif Covid-19 sesuai data Pemda DIY adalah 11 orang.
Baca Juga: Kabar Duka Tiap Hari, Yogyakarta Kukuh Belum Usulkan PSBB
Sementara itu, data yang dihimpun dari Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (TRC BPBD) DIY, RSUP Dokter Sardjito, dan Palang Merah Indonesia (PMI) Gunungkidul menunjukkan terdapat 60 kematian di DIY yang ditangani dengan standar Covid-19.
Komandan TRC BPBD DIY Pristiawan Buntoro menjelaskan TRC menangani pengurusan jenazah hingga pemakamannya setelah diminta pihak rumah sakit. Keterangan status jenazah terkait Covid-19 tak selalu ada.
Namun TRC menerapkan prosedur Covid-19 pada tiap pemulasaraan jenazah di masa pandemi ini.“Standar kami bukan (status terkait Covid-19) itu, tapi keterangan ada penyakit menular atau tidak. Karena saat ini darurat Covid-19, kami pakai standar penanganan Covid-19,” ujarnya.
Ke-60 jenazah yang ditangani TRC, RSUP dr. Sardjito, dan PMI Gunungkidul dengan standar Covid-19 ini meninggal dalam rentang waktu 24 Maret hingga kasus kematian pada 26 April 2020.
Dari 60 orang itu, dua orang positif Covid-19, 43 PDP, satu orang dinyatakan diduga PDP, dan empat ODP. Selain itu, ada kematian tujuh orang yang tak terkait Covid-19 dan tiga orang tanpa status jelas.
Dari 60 kematian tersebut, setelah dibandingkan dengan data di corona.jogjaprov.go.id, 24 kematian sesuai dengan data Pemda DIY dan 28 kematian belum dapat dipastikan pendataannya. Adapun delapan kematian “hilang” atau tidak tercatat di data Pemda DIY.
Delapan orang ini yang terdiri dari lima laki-laki dan tiga perempuan ini dinyatakan berstatus PDP. Mereka berada di semua kabupaten/ kota di DIY, yakni tiga warga Kota Yogyakarta, dua warga Sleman, dan masing-masing seorang dari Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo. Usia mereka terentang dari 43 hingga 82 tahun.
Baca Juga: Empat Warga India Jamaah Tabligh di Yogya Positif Corona
Salah satu mendiang PDP yang datanya “hilang” di pencatatan Pemda DIY adalah TH, warga Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul. Perempun 43 tahun ini meninggal pada 17 April 2020 setelah dirawat di rumah sakit dan dimakamkan di pemakaman kecamatan setempat.
Lurah Desa Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi, menyatakan pengurus desa tak tahu bahwa TH adalah seorang PDP. “Kami selalu dapat informasi dari Dinas Kesehatan Bantul tentang warga ODP dan PDP lalu biasanya kami monitor. Tapi yang bersangkutan (TH) tidak termasuk,” ujarnya.
Menurutnya, TH punya riwayat penyakti kronis, seperti asam lambung, jantung, dan ginjal. Selain itu, tak ada informasi lain, temasuk tentang perawatannya di rumah sakit dan kondisi keluarga.
“Warga hanya diberi arahan untuk menyiapkan liang. Kami anggap standar Covid-19 itu wajib karena sekarang pingsan di jalan saja ditangani pakai standar Covid-19,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie menyatakan Pemda DIY mustahil tak tahu jika ada PDP yang meninggal. Sebab pihak pemerintah kabupaten/ kota pasti melaporkan kasus terkait Covid-19 ke Pemda DIY.
“Tidak mungkin enggak ada (datanya). Pasti kalau kematian, kami terinformasi. Kalau tidak ada, sekarang yang punya data dia meninggal dunia atau masuk RS, siapa?” ujar Pembajun saat ditemui.
Pembajun menekankan status tiap pasien terkait Covid-19 harus jelas melalui tes PCR atas sampel swab. Jika seorang berstatus PDP meninggal, statusnya tetap harus dikonfirmasi melalui tes PCR.
“Kalau meninggal hasil (tes) belum ada, tak bisa dia PDP. Tapi dia dicurigai sebagai PDP. Itu bisa OTG (orang tanpa gejala) atau ODP. Di data pemda, dia harus masuk ODP dulu,” katanya.
Menurut Pembajun, pihak rumah sakit juga tak boleh membubuhkan status PDP pada mendiang dengan gejala identik Covid-19 yang belum di-swab.
“Wong belum positif, belum tegak diagnosanya. Betul, PDP enggak harus (sampai dites) positif. Tapi kalau semua PDP (meninggal dengan gejala) ringan masuk PDP, matinya PDP banyak banget. Sebenarnya bukan PDP, tapi pasien yang masih dalam proses PCR,” tuturnya.
Baca Juga: Jalanan Yogya Ramai, Pemda Dinilai Gagal Atasi Covid-19
Pakar biostatistik dan pemantauan penyakit Iqbal Elyazar mengingatkan supaya pemda terbuka dan cermat soal data Covid-19, termasuk data kematian PDP. Sejumlah daerah, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, telah membuka data PDP wafat, meski data ini tak disampaikan pemerintah pusat.
“Upaya pendataan PDP yang meninggal itu penting karena kita enggak sanggup memeriksa orang dalam jumlah banyak. Dengan data itu, peneliti bisa kasih advis dan skenario intervensi,” ujar dia lewat konferensi video.
Ia menjelaskan, kasus kematian menjadi indikator penting saat kapasitas pemeriksaan untuk menemukan kasus Covid-19 di Indonesia baru 5000 tes per hari. Riset London School of Tropical Medicine bahkan menyatakan Indonesia hanya mampu mendata 5% kasus Covid-19.
“Kasus positif Covid-19 di Indonesia tidak mencerminkan secara utuh situasi pandemi,” kata Manager Program Geospatial Epidemiology Eijkman-Oxford Clinical Research Unit ini.
Untuk mengetahui kondisi riil pandemi, epidemiologi memotret ekses mortalitas, yakni gap antara jumlah kematian saat pandemi dengan jumlah kematian pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Besarnya ekses mortalitas bisa dilihat di DKI Jakarta saat jumlah kematian saat ini meningkat drastis daripada tahun lalu.
“Angka meninggal dunia untuk positif Covid-19 itu tidak representatif menggambarkan situasi pandemi. Jadi pertimbangkan pula PDP dan ODP yang meninggal dunia. Bahkan di suatu daerah angkanya bisa tiga kali lipat dari positif yang meninggal,” ujar Iqbal.
Baca Juga: Sebulan Corona Yogya: Antara PSBB & Potensi Daerah Istimewa
Untuk itu, data kematian pasien terkait Covid-19 harus akurat. Keterangan ‘negatif’ untuk PDP belum di-swab dan telah meninggal seperti kasus BS di Sleman adalah contoh pendataan yang tak sesuai fakta. Kondisi ini semestinya dicantumkan dalam kategori tersendiri. “Kalau dia dinyatakan negatif, jadi enggak perlu tracing. Ini akan misleading,” ujarnya.
Menurut Iqbal, kasus itu baru ditemukan di DIY. “Saya tidak melihat tambahan kolom itu di daerah lain. Saya duga hal yang sama terjadi di daerah lain dan kasusnya lebih besar. Ini masalah di level daerah, tapi tak dibawa ke pusat,” kata dia.
Ia menekankan, akurasi dan transparansi data soal Covid-19, terutama kasus kematian, berimbas pada respons kita atas wabah ini. “Respons kita jadi tidak optimal. Masyarakat tidak tergugah untuk berhati-hati. Keterbukaan data itu penting karena masyarakat akan waspada dan dapat menjadi penilaian atas efektivitas intervensi pemerintah atas pandemi ini,” papar Iqbal.