Staf khusus milenial dianggap hanya jadi etalase dan bagian dari komunikasi pencitraan Jokowi di kalangan anak muda. Keberadaanya tidak terikat pada syarat dan ketentuan untuk menjadi orang di lingkar dalam presiden.
Baru ditunjuk November tahun lalu, beberapa Staf Khusus Presiden malah tersandung masalah. Andi Taufan, misalnya, berurusan dengan masalah hukum dan maladministrasi pemerintah, akibat surat berkop Sekretariat Kabinet yang dilayangkan kepada seluruh camat se-Indonesia. Surat itu dianggap beraroma kepentingan, melihat posisi Andi sebagai CEO Amartha sekaligus orang dekat Presiden Joko Widodo di Istana.
Sama halnya dengan Adamas Belva Syah Devara. Ia harus mengundurkan diri karena persoalan pelatihan prakerja dan program belajar dari rumah yang didominasi oleh perusahaan rintisannya, Ruangguru. Kedua stafsus yang ditambah embel-embel milenial ini, dituding publik menggunakan kedekatannya pada kekuasaan guna kepentingan pribadi.
Kasus yang dihadapi para stafsus itu, menandakan fungsi substansial pembantu tidak resmi presiden ini diabaikan. Keberadaan stafsus di lingkaran kepala negara seharusnya sebagai penasihat ulung dan mumpuni dalam bidang-bidang tertentu. Posisi ini semestinya diisi oleh kalangan profesional non-parpol yang mampu memberikan saran konstruktif dan lepas dari kepentingan, baik politis maupun ekonomis. Hal ini tentu bertolak belakang dengan jajaran stafsus, utamanya stafsus milenial Jokowi, yang rerata diisi pengusaha dan kader parpol.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor, berpandangan bahwa stafsus milenial di sekitar Jokowi kali ini hanya bisa menghamburkan uang dan waktu. Keberadaan para stafsus milenial ini, sama sekali tidak terikat pada syarat dan ketentuan untuk menjadi orang lingkar dalam presiden.
"Stafsus itu harus punya pengalaman yang luar biasa, punya kearifan yang luar biasa, dan juga punya visi yang luar biasa. Semua kriteria itu didapatkan berdasarkan pengalaman atau kajian akademik yang mendalam," ujar Firman kepada Ucha Jalistian Mone dari GATRA.
Dalam analisisnya, Firman melihat ada dua faktor yang mendorong keberadaan stafsus milenial ini. Pertama, hanya sebagai bentuk politik akomodatif dengan hadirnya kader parpol dari PSI dan PKPI, yaitu Dini Shanti Purwono serta Diaz Hendropriyono. "Kemudian tokoh mahasiswa yang dulu dukung Jokowi ada di situ. Jadi, harusnya stafsus ini bukan untuk politik akomodatif, itu yang harus dibersihkan dan dinetralkan," ia menjelaskan.
Faktor kedua, stafsus milenial hanya dijadikan etalase dan bagian dari komunikasi pencitraan Jokowi untuk kalangan anak muda. Baginya, stafsus milenial belum mengecap asam garam yang cukup untuk menjadikan mereka bijak dan arif. Kurangnya tempaan kearifan dan pengalaman ini, akhirnya menciptakan blunder yang disoroti oleh publik. "Tidak diragukan lagi, milenial memang pemilik masa depan dan milenial harus diajak berpolitik, tapi kan mereka too young to understand," katanya.
Menilik dari analisis Firman, Jokowi sebenarnya sudah menegaskan bahwa keinginannya menggaet stafsus milenial, salah satunya, yaitu sebagai cara memberikan kesempatan kepada kalangan muda untuk belajar dan berperan dalam pemerintahan. "Sebetulnya saya ingin mereka tahu mengenai pemerintahan dan kebijakan publik," kata Jokowi, Jumat pekan lalu, di Istana Merdeka, Jakarta.
Meski demikian, Jokowi tidak menyebutkan lebih jauh tentang pengganti Belva dan Andi Taufan yang kemudian mengundurkan diri. Begitu juga dengan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, yang hanya menjawab bahwa saat ini Jokowi fokus pada agenda penanggulangan COVID-19.
"Kita fokus ngawal bansos agar segera sampai dan menggerakkan ekonomi rakyat/UMKM," kata Pratikno melalui pesan singkat kepada Erlina Fury Santika dari GATRA.
***
Tajamnya sorotan publik terkait fungsi stafsus Jokowi dan konflik kepentingan di lingkar dalam Istana, memang perlu segera diluruskan. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, melihat adanya kelambanan Jokowi dalam menilai situasi. Apalagi kontroversi stafsus ini merupakan hal yang cukup dekat dengan kesehariannya.
Kurnia mengaku, hingga saat ini ia belum sepenuhnya memahami fungsi dari 14 orang yang menjadi kalangan lingkar dalam presiden itu. "Mungkin ke depan, lebih baik setiap tindakan atau advice yang diberikan kepada Presiden Jokowi, diberikan juga kepada publik agar kita bisa mengukur kualitas dari hadirnya 14 orang staf khusus di samping Presiden Jokowi ini,” ujarnya kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA.
Menyikapi kontroversi Belva dan Andi Taufan, Kurnia melihat Jokowi sangat lamban dalam mengambil keputusan, bahkan harus menunggu keriuhan terjadi di masyarakat. "Harusnya ketika ada potensi konflik kepentingan, Presiden Jokowi bisa memanggil yang bersangkutan dan itu sudah clear secara jelas ada konflik kepentingan. Maka, Pak Jokowi harus segera memecat yang bersangkutan,” tuturnya.
Memang, hingga saat ini Jokowi masih enggan memohon maaf kepada publik atas kontroversi yang dibawa oleh dua mantan stafsusnya. Ia hanya membenarkan bahwa kedua anak muda ini berhenti dari jabatannya tanpa adanya penjelasan terperinci terkait persoalan yang membelit mereka.
Hal ini memantik tanda tanya mengenai alasan di balik mundurnya dua stafsus ini. Ada tiga kemungkinan, yaitu karena kesadaran pribadi, desakan presiden, atau desakan publik. Meski demikian, tanggung jawab presiden sebagai atasan para stafsus tetap perlu ditagih.
"Ini menjadi evaluasi bagi Presiden Jokowi agar tidak sembarangan mengangkat orang-orang yang menduduki jabatan staf khusus milenial. Jadi, gimik-gimik milenial hancur atas pengangkatan dua orang ini dan tindakan daripada dua staf khusus yang baru saja mengundurkan diri," ujar Kurnia.
Bagi Kurnia, konflik kepentingan yang tercium saat ini, bukan hanya bisa dipandang dalam bingkai hukum, melainkan dalam hal etika. Jika dirunut lagi, etika merupakan satu anak tangga di atas penegakan hukum. Norma kepantasan sebagai pejabat negara perlu dikedepankan, selain narasi penegakan hukum yang memang perlu tetap diupayakan. "Tidak pantas seorang pejabat negara memaksakan mencari keuntungan pribadi dengan menggunakan kewenangan atas jabatannya, sehingga kebijakannnya tidak lagi efektif," ucapnya.
Aditya Kirana