Home Kesehatan Sebulan Corona Yogya: Gunung Es Masalah & 2 Gelombang Baru

Sebulan Corona Yogya: Gunung Es Masalah & 2 Gelombang Baru

Yogyakarta, gatra.net - Satu bulan sejak diumumkan pasien positif pertama, kasus Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta terus bertambah. Jika dirata-rata, dua orang positif Covid-19 di DIY per hari. Banyak kematian terjadi bukan hanya pada kasus positif, melainkan juga saat masa penantian hasil tes.

Dengan kondisi ini, kemampuan diagnosis menjadi puncak gunung es masalah penanganan Covid-19 di DIY. DIY harus mengurai kendala itu sekaligus menyiapkan langkah strategis karena diprediksi akan terjadi gelombang kedua dan ketiga wabah tersebut.

Pemda DIY mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama pada 15 Maret 2020. Saat itu, seorang anak usia tiga tahun yang memiliki riwayat keDepok, Jawa Barat, dinyatakan positif Covid-19.

Sebulan kemudian, Rabu (15/4), dua kasus baru positif Covid-19 di DIY dilaporkan hari itu. “Angka kumulatif menjadi 62,” kata Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY Biwara Yuswantana dalam siaran persnya.

Dalam beberapa hari terakhir, penambahan kasus per hari relatif tinggi. Pada 12-14 April, kasus positif baru masing-masing 7,7, dan 6 kasus per hari. ‘Rekor’ penambahan kasus positif baru terjadi pada 25 Maret 2020. Saat itu, pasien positif baru bertambah 12 orang, dari semula 6 kasus melonjak jadi 18 kasus.

Baca Juga: Lonjakan Sehari, Total Positif Covid-19 di DIY Jadi 48 Kasus

Dengan 62 kasus saat ini, jika dirata-rata selama sebulan setidaknya dua orang di DIY terkena Covid-19 tiap hari. Dugaan paparan Covid-19 semakin besar dan luas jika melihat jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) 581 orang dan orang dalam pemantauan (ODP) sebanyak 3.652 orang.

Semua warga terkategori Covid-19 itu tersebar di wilayah DIY, yakni satu kota dan empat kabupaten. Bahkan tak ada satu pun kecamatan di DIY yang luput dari ODP. Sebanyak 581 PDP itu mencakup pasien positif Covid-19, negatif Covid-19, dan dalam proses tes. Dari jumlah itu, 158 orang masih dirawat di 27 rumah sakit rujukan Covid-19 di DIY.

Dari 62 kasus positif Covid-19, 22 orang dinyatakan sembuh. Pasien positif Covid-19 dinyatakan sembuh setelah dua tes selanjutnya menunjukkan hasil negatif. Data terbaru menunjukkan empat orang sembuh pada Rabu (15/4), yakni dua pasien usia 30 tahun, serta warga berusia 45 dan 70 tahun.

Namun dari 62 kasus positif tersebut, enam orang meninggal dunia. Bukan hanya pasien positif, sejumlah pasien yang dinyatakan negatif Covid-19 pun tercatat wafat. Jika dirinci, dari 581 PDP, ada 244 orang negatif Covid-19 dan 10 di antaranya wafat. Kematian pasien negatif karena mereka mengidap penyakit penyerta atau komorbid.

Kematian juga terjadi pada 14 dari 275 PDP yang harus menunggu hasil tes sampel. “Terdapat penambahan empat PDP yang meninggal dunia dan hasil uji lab belum diketahui,” tutur Biwara membacakan data Rabu (15/4).

Baca Juga: Sembuh tapi Meninggal dan 21 Kematian PDP Covid-19 di DIY

Jumlah kematian saat pasien menanti hasil tes ini bahkan paling banyak dibanding kasus kematian pada pasien positif dan negatif. Bahkan ada kasus pasien wafat sebelum sempat diambil sampelnya.

Jika ditotal pada semua kategori, jumlah kematian PDP terkait Covid-19 mencapai 30 orang. Angka ini setara dengan satu orang meninggal per hari dalam sebulan ini.

Atas kondisi itu, sebagai pusat tes sampel Covid-19 di DIY, pihak Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta merasa bak menelan buah simalakama. Laboratoirum balai ini bekerja sesuai antrean dari sampel pasien yang dikirim pihak rumah sakit.

“Kalau ada (sampel) yang diprioritaskan, yang lain ketinggalan,” ujar Kepala BBTKLPP Yogyakarta, Irene, saat ditemui, Senin (13/4).

Kapasitas maksimal tes Covid-19 di laboratorum balai mencapai 180 sampel per hari. Jumlah itu setara sampel untuk 90 orang karena tiap orang harus memiliki dua sampel. “Kami menerima rata-rata 200 sampel per hari,” kata Irene.

Baca Juga: Kematian PDP di DIY Terus Bertambah, Stok Bahan Tes Menipis

Ia mengakui bahwa sampel pasien sempat menumpuk pada akhir Maret-awal April lalu. Kondisi ini karena bahan tes, yakni primer dan reagen, sempat habis dan harus menunggu kiriman dari pemerintah pusat. Bahan tes ini harus sesuai standar tes Covid-19 secara global dan tengah jadi rebutan negara-negara di dunia.

Selama bahan habis dan tak bisa mengetes, BBTKLPP tetap menerima kiriman sampel swab pasien Covid-19 dari DIY dan Jawa Tengah. Akibatnya, sampel sempat menumpuk selama tiga hari hingga maksimal 600 sampel harus antre untuk dites.

Setelah bahan ada, tes pun berlanjut. Namun hasil tes sampel-sampel itu baru diketahui 3-4 hari setelah sampel tersebut diterima balai. “Penumpukan dulu itu berdampak sampai sekarang. Tidak bisa kami urai begitu saja,” ujar Irene.

Dua lab lain belakangan ditunjuk untuk mengetes sampel Covid-19 di DIY, yakni lab di RSUP Dr. Sardjito dan RS Akademik UGM. Pembagian sampel dari 27 rumah sakit rujukan di DIY ke tiga lab ini pun sudah diatur. BBTKLPP menerima sampel 10 RS ke BBTKLPP dan 17 RS ke dua lab lain.

Namun, kata Irene, kebanyakan RS masih mengirim sampel ke BBTKLPP. Hal itu juga dilakukan sejumlah RS di Jateng kendati provinsi ini telah punya tiga lab untuk memeriksa sampel Covid-19. “Kami tak membeda-bedakan asal sampel. Semua kami terima,” kata Irene.

Baca Juga: Tes Sampel Makin Masif, Positif Covid-19 di DIY Kian Banyak

Apalagi balai tak hanya menguji sampel baru, melainkan juga sampel konfirmasi untuk pasien Covid-19 sebelumnya dan sampel evaluasi seperti jika sampel itu tak lengkap.

Selama masa wabah, hingga Senin (13/4), BBTKLPP telah memeriksa 2.159 sampel. Dari jumlah ini, sekitar 1000 berupa sampel swab Covid-19 dari sekitar 500 orang

Untuk mengejar hasil, pihak BBTKLPP menyatakan telah memaksimalkan kinerja dengan tetap bekerja di hari libur, menambah personel dari 15 jadi 19 orang, hingga membuka tambahan ruang untuk membongkar dan memilah sampel.

Dua lab lain dengan kapasitas 100-150 sampel per hari pun harus optimal bekerja. “Pekan ini, pemeriksaan kembali normal (tidak antre menumpuk),” kata Irene.

Pakar penularan penyakit Universitas Gadjah Mada Riris Andono Ahmad menyatakan kapasitas diagnosis sampel Covid-19 menjadi faktor penting dan menjadi puncak masalah dalam penanganan Covid-19 di DIY selama sebulan ini.

“Isunya, kapasitas diagnosis seberapa besar. Seberapa cepat (pasien) mengakses layanan kesehatan,” kata anggota Satuan Tugas Covid-19 UGM yang akrab disapa Doni ini.

Keterbatasan diagnosis membuat pasien dengan gejala berat Covid-19 mendapat prioritas. “Karena layanan kesehatan harus memprioritaskan siapa yang didiagnosis, kita lihat puncak gunung es dari masalah (penanganan Covid-19),” ujarnya.

Menurut dia, jika kapasitas diagnosis optimal, peningkatan kasus pun dapat diantisipasi lebih baik, sehingga jumlah kematian berkurang. Kondisi ini melengkapi faktor lain yang belum optimal, seperti pelacakan kontak pasien belum dilakukan secara luas, hingga terlambatnya penyiapan fasilitas-antara terutama untuk pasien dengan gejala ringan.

“Manajemen kesehatannya tak siap sejak awal. On the right track (sudah di jalur yang benar), tapi tidak optimal,” ujar pengajar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM ini.

Baca Juga: Inovasi Desa Melawan Virus Corona

Apalagi Doni memperkirakan penyebaran wabah ini berlangsung hingga akhir tahun, termasuk adanya gelombang kedua dan ketiga di DIY atas wabah ini. “Gelombang kedua pasca-Lebaran kalau banyak pemudik. Gelombang ketiga saat tahun ajaran baru, terutama karena akan ada 100 ribu mahasiswa dari berbagai tempat di Indonesia,” tuturnya.

Untuk itu, langkah demi langkah menghadapi kondisi itu harus disiapkan. Doni menyebut, pelacakan kontak harus diperluas dan warga terkait Covid-19 dari berbagai kategori harus segera ditemukan.

“Mereka harus dipisahkan dari populasi dan butuh perawatan medis--tak harus di RS. Penanganan kondisi moderat dan berat harus jelas,” ujarnya.

Pemerintah dan masyarakat harus membuat model penerapan protokol kesehatan mandiri berbasis komunitas, seperti desa tangguh bencana. “Saat ini masyarakat diminta melakukan (protokol) itu, tapi masyarakat belum tahu. Ini butuh support dari komunitas,” ujarnya.

3277