Home Laporan Khusus Cara Kepala Daerah Meracik PSBB

Cara Kepala Daerah Meracik PSBB

Tiap kepala daerah memiliki pandangan yang berbeda soal penerapan PSBB. Jawa Barat sudah resmi memberlakukan, Jawa Tengah masih pikir-pikir. Ada juga daerah yang bahkan belum terpikir. Kesiapan ekonomi menjadi salah satu faktor daerah enggan PSBB.


Matahari belum benar-benar terbit, tetapi antrean penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) di Stasiun Manggarai sudah mengular. Di dalam commuter line pada Senin, 13 April pagi itu, situasinya tidak jauh berbeda. Gerbong kereta masih padat penumpang di jam sibuk, jarak fisik antar penumpang tidak memenuhi protokol.

Padahal, sudah tiga hari berselang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kondisi itu mendapat perhatian para kepala daerah di sekitar DKI, utamanya Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek), terkait efektivitas pemberlakuan PSBB, baik di DKI maupun di daerah sekitarnya.

KRL, suka atau tidak, menjadi pilihan transportasi utama masyarakat di pinggiran DKI. Dengan adanya PSBB, semestinya angka pengguna KRL pun menurun. Namun hal ini tampaknya belum terlihat hingga Selasa, 15 April lalu. Akhirnya, Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim angkat bicara dan meminta PT Kereta Commuterline Indonesia (KCI) untuk menghentikan sementara operasional KRL Jabodetabek selama PSBB berlangsung.

Apa yang diminta Dedie sebenarnya menjadi kepanjangan tangan perintah sang Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang akan memberlakukan PSBB di lima daerah mulai Rabu, 15 April 2020. Setelah beberapa hari menunggu, Pemprov Jabar akhirnya mendapatkan restu Kementerian Kesehatan untuk menerapkan PSBB di daerah yang sudah ditargetkan, yakni Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, serta Kota dan Kabupaten Bekasi.

"PSBB di lima wilayah ini akan dimulai hari Rabu, 15 April 2020 dini hari. Akan berlaku selama 14 hari ke depan. Setelah 14 hari kita evaluasi, apakah diteruskan atau dikurangi intensitasnya," kata Gubernur yang akrab dipanggil Emil, dalam Konferensi Pers daring, Minggu, 12 April lalu.

Penerapan PSBB di lima daerah Jabar terbagi menjadi dua zona, yaitu merah dan normal. Untuk kecamatan yang sudah masuk dalam zona merah, PSBB akan diberlakukan dalam standar maksimal. "Non-zona merah, PSBB-nya akan menyesuaikan. Khusus untuk kota Depok, Kota Bekasi, dan Kota Bogor, akan dilakukan PSBB maksimal,” kata Emil.

PSBB maksimal yang dimaksud Emil, yaitu tertutupnya akses masuk dan keluar wilayah. Begitu juga dengan pembatasan kegiatan perkantoran, fasilitas umum, kegiatan pendidikan, komersial, kebudayaan, dan keagamaan. Detailnya, Emil sudah siapkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB di Bodebek. Aturan ini menyebutkan, kendaraan yang boleh bergerak dalam zona PSBB tak lebih untuk pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan, dan pertahanan keamanan. Untuk layanan ride hailing pun hanya bisa mengantarkan barang, tidak orang. Sisanya, tidak ada kendaraan yang boleh lalu lalang.

Kekhawatiran mendasar yang jamak disuarakan oleh masyarakat dalam pemberlakuan PSBB, yakni kemampuan negara dalam menyiapkan kebutuhan pokok mereka. Untuk hal ini, Emil sudah menyiapkan tujuh pintu bantuan, antara lain dari PKH, Kartu Sembako, Kartu Pra-kerja, bansos presiden, dana desa, hingga bantuan pemerintah provinsi. Bantuan ini akan diterima masyarakat dalam bentuk sembilan bahan pokok dan uang tunai.

Di tempat yang sama, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Barat, Daud Ahmad, mengatakan bahwa proses pengajuan PSBB di Bodebek tidak menemukan halangan. Meski memang ada beberapa daerah yang tidak sempat melengkapi lampiran, kajian ekonomi, dan bahkan tanpa kajian epidemiologi. Namun syarat-syarat itu berhasil dilengkapi oleh data dari Bappeda Jabar dan Pusat Informasi dan Koordinasi COVID-19 Jabar (Pikobar). "Kemarin sudah lengkap, karena didukung data dari kita. Kalau buat epidemiologi, ada dari Pikobar. Malah ada salah satu Dirjen di Kemenkes mengapresiasi kelengkapan persyaratan dari kita," ujarnya.

***

Beda lagi dengan Jawa Tengah yang masih menunggu hasil dari pemberlakuan PSBB di daerah tetangganya. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, masih terus berkoordinasi dengan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil yang memang sudah siap memberlakukan PSBB di daerahnya.

Tidak hanya itu, Ganjar juga mengakui hingga saat ini masih mencermati sebaran dan percepatan COVID-19 dengan para ahli, sambil memelototi kesiapan daerah, seperti logistik, transportasi, dan keuangan. "Agar nantinya lebih siap bila kondisi memang harus masuk ke PSBB, semua mendukung dengan kesadaran penuh," katanya kepada GATRA di Semarang, Senin, 13 April lalu.

Kesiapan daerah menjadi penting agar ketika PSBB kelak diberlakukan, tidak ada lagi ganjalan, baik dari segi teknis maupun administratif. "Saat ini, kami mematangkan pendataan masyarakat sebagai salah satu skenario teknis pemberian bantuan, bila nantinya mengajukan PSBB," ujar Ganjar.

Meski demikian, tetap saja tidak akan diberlakukan PSBB di seluruh Jateng, karena ada beberapa daerah yang belum ditemukan kasus COVID-19. Bila nantinya PSBB diberlakukan, hanya untuk kabupaten/kota yang masuk zona merah atau ada pasien positif COVID-19. "Sampai sekarang belum ada pemkab/pemkot yang hendak mengajukan penetapan PSBB di wilayahnya kepada Pemprov Jateng," kata Ganjar.

Berdasarkan data Pusat Informasi Seputar COVID-19 Jateng, pada 14 April 2020 jumlah pasien positif COVID-19 tercatat sebanyak 199 orang. Dengan perincian masih dalam perawatan di sejumlah rumah sakit sebanyak 133 orang, sembuh sebanyak 31 orang, dan meninggal dunia sebanyak 35 orang.

Penyebaran kasus COVID-19 di Jateng telah merata di 35 kabupaten/kota. Beberapa daerah sudah masuk dalam zona merah, yakni Kota Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Demak, Rembang, Pati, Grobogan, Tegal, Cilacap, Purbalingga, Wonosobo, Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kota Solo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Purworejo, dan Kebumen.

***

Beda daerah, beda sikap dalam menghadapi COVID-19. Bisa dilihat dari cara DKI Jakarta dan Jateng yang cukup kontras dari sisi pengajuan PSBB. Namun, pemberlakuan PSBB tentu saja tidak bisa lepas dari kesiapan daerah untuk menutup diri. Bagi Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robertus Endi Jaweng, PSBB menjadi berat ketika daerah harus memikirkan kondisi perekonomiannya. Ia mencontohkan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung yang tidak ingin menutup semua industri di daerahnya, meski hanya sementara.

Tidak hanya dari sisi industri, pemerintah daerah juga harus menimbang alokasi anggaran dari APBD untuk melakukan PSBB. "Ada juga yang tidak ingin terlalu banyak APBD yang dialokasikan untuk PSBB, karena pasti dana yang keluar itu besar," kata Endi saat dihubungi Dwi Reka Barokah dari Gatra, Selasa, 14 April lalu.

Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat sejumlah daerah yang masih dipusingkan oleh investasi dan gerak ekonomi ketimbang menghentikan pandemi. Jika realita ini masih terus terjadi, pemerintah pusat sebenarnya bisa mengambil sikap tegas dan langsung memberlakukan PSBB di daerah.


Aditya Kirana, Restu Nugraha Sauqi (Bandung), Insetyonoto (Semarang)