Home Laporan Khusus Selangkah Menuju Vaksin Covid-19

Selangkah Menuju Vaksin Covid-19

Vaksin Covid-19 yang ditunggu-tunggu diperkirakan baru siap 12 – 18 bulan lagi. Ada harapan waktu tunggu tidak selama itu.


Peneliti di seluruh dunia berlomba-lomba mengembangkan vaksin Covid-19, penyakit yang sudah menginfeksi lebih dari 2 juta orang dan membunuh lebih dari 100.000 orang di seluruh dunia. Meski di beberapa negara yang mengalami pukulan keras, seperti Cina dan Italia, jumlah yang terinfeksi dan kematian sudah melandai dalam beberapa hari terakhir, para ahli memperingatkan risiko gelombang kedua serangan wabah bisa terjadi jika vaksin masih belum siap.

Vaksin, zat yang bisa membangkitkan daya tahan tubuh, itu biasanya butuh waktu bertahun-tahun untuk membuatnya. Para ahli memperkirakan vaksin Covid-19 paling cepat bisa dibuat dalam waktu 12-18 bulan.

Hingga saat ini belum ada vaksin yang siap. Sejauh ini, menurut data yang dilansir WHO lewat "Draft Landscape of COVID-19 Candidate Vaccines", sekurangnya ada tiga negara dengan kandidat vaksin memasuki tahap uji klinis, yang artinya sudah diujikan pada manusia. Sementara itu, 67 vaksin lainnya masih dalam tahap praklinis.

Uji klinis pertama kali dilakukan 16 Maret 2020 di Seattle, Washington, Amerika Serikat. Vaksin mRNA-1273 dikembangkan US National Institute of Health (NIH) dan Moderna Inc., perusahaan bioteknologi yang berbasis di Massachusetts.

Lalu pada awal April, perusahaan AS, Inovio Pharmaceuticals, juga telah memulai uji klinis vaksin INO-4800 di Philadelphia dan Kansas City, Missouri. Perusahaan ini bekerja sama dengan institusi penelitian Cina untuk riset serupa. Sementara itu, di Cina, vaksin potensial yang disiapkan CanSino Biological Inc. bersama Beijing Institute of Biotechnology juga sudah masuk tahap klinis.

Kabar bagus datang dari Inggris. Akhir pekan lalu, Sarah Gilbert, profesor vaksinologi dari Universitas Oxford yang memimpin tim pengembangan vaksin di Inggris, mengatakan "80 persen yakin" bahwa vaksin sudah siap pada September mendatang. Dia menyebutkan, uji klinis akan dimulai dua pekan mendatang. Vaksin buatan Oxford ini juga akan diujicobakan di Australia. 

Di Indonesia, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) ditugaskan memimpin konsorsium pembuatan vaksin antivirus corona. Penunjukan itu turun sepekan setelah pemerintah mengumumkan kasus pertama pasien Covid-19 di Indonesia.

Untuk itu, lembaga Eijkman sudah mengembangkan grand design dari penelitian vaksin untuk Covid-19. "Yang akan menjadi target adalah protein dari virus itu. Kemudian, teknologi yang kami pakai adalah dekluminan protein," kata Direktur Lembaga Eijkman, Prof. Amin Soebandrio.

Proses uji coba dalam pengembangan vaksin melewati beberapa tahapan. Biasanya dimulai dengan uji coba pada binatang, dilanjutkan uji klinis pada manusia. Tahap ini biasanya meliputi tiga fase. Yang pertama dilakukan dalam skala kecil, melibatkan kurang dari 100 orang partisipan. Tujuannya, untuk melihat apakah vaksin ini aman untuk manusia.

Fase kedua jumlah partisipannya ditambah hingga mencapai ratusan orang. Tujuannya, untuk mengetahui manjur atau tidaknya vaksin ini untuk melawan penyakit. Fase ini berlangsung dalam hitungan bulan hingga tahun. Fase ketiga melibatkan partisipan dalam skala luas, hingga ribuan orang, untuk mengukur kemanjuran vaksin dalam periode tertentu. Fase ini berlangsung beberapa tahun.

Namun, di tengah situasi pandemi yang terjadi saat ini, Prof. Amin menilai perlu percepatan dengan memangkas beberapa proses. Hal itu diharapkan mampu membuat perjalanan riset vaksin ini lebih cepat daripada biasanya.

Beberapa proses yang bisa dipangkas adalah administrasi, registrasi, dan sebagainya. "Proses uji klinisnya bisa diperkecil jumlah sampelnya. Kalau dengan prosedur umum, kita butuh melibatkan ribuan orang untuk diuji, untuk memastikan keamanannya. Dengan pandemi ini bisa dipersingkat," Amin memaparkan kepada Ucha Julistian Mone dari Gatra.

Untuk mempercepat proses, para ahli dikumpulkan, khususnya yang membidangi imunorologi, vaksinologi, virurologi, animal eksperimen, molekul kloning, dan biofarmatic yang berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, BPPT, LIPI, dan lainnya."Terbatas dulu, supaya bisa kita matangkan dan sepakati  konsepnya agar prosesnya bisa berjalan lebih cepat," ujar Amin.

Pada tahap awal, tim peneliti akan mengidentifikasi bagian-bagian dari virus itu untuk mengetahui bagian yang memiliki sifat antigen yang paling, baik karena tiap virus beda. Fase ini sangat krusial. Proses berikutnya mungkin tidak akan berbeda dengan vaksin-vaksin yang lain. "Antibodi itu harus bisa punya sifat protektif, artinya melindungi infeksi virus. mudah-mudahan tidak terjadi infeksi. Kalau terjadi infeksi lagi, berarti itu tidak akurat. Vaksin ini diharapkan akan memiliki sifat cross protective di antara virus-virus corona," Amin menjelaskan.

Di dalam konsorsium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ada BUMN PT Bio Farma, yang sudah lama memiliki kemampuan memproduksi vaksin baik.

Direktur Utama PT Bio Farma, Honesti Basyir, menerangkan bahwa saat ini di Bio Farma sendiri masih melakukan tahapan skala lab. Jika formulasi vaksinnya sudah aman untuk diaplikasikan pada manusia, virus akan diproduksi massal. Dan itu tidak butuh waktu lama. Honesti menyebut produksi dua-tiga bulan saja. Meskipun begitu, pihaknya belum dapat memastikan berapa banyak vaksin yang akan diproduksi nantinya.

Bio Farma juga turut serta dalam program Badan Kesehatan Dunia (WHO) Join Clinical Trials. Di dalamnya, berbagai lembaga penelitian dari seluruh dunia berperan aktif dalam memberikan informasi guna menemukan vaksin virus ini secepat mungkin. Tidak hanya disitu, para peneliti juga dapat saling membantu dalam proses penelitian jika ada yang mengalami kesulitan.


Rosyid

Kandidat Obat Covid-19

Sampai saat ini belum ada obat spesifik untuk Covid-19. Menurut data Clinical Trials.Gov, lembaga yang mencatat penelitian kesehatan di AS, sudah lebih dari 100 penelitian berlangsung untuk mencari obat Covid-19.

Dari ratusan kandidat itu, berikut beberapa obat yang dianggap punya potensi besar dan menjalani uji klinis.

Remdevisir:

Obat buatan Gilead perusaha bioteknologi asal California ini sebelumnya disiapkan untuk menyembuhkan ebola. Sejauh ini sudah lima ujian klinis yang dilakukan pada pasien Covid-19 di Cina, AS, dan Korea Selatan. WHO menyebut Remdesivir sebagai "kandidat yang paling menjanjikan". Diharapkan April ini data klinis pertama sudah tersedia.

Kaletra:

Salah satu obat yang pertama dilirik untuk pengobatan Covid. Obat buatan AbbVie ini sejatinya untuk HIV. Kombinasi Kaletra dan imunomodulator interferon-beta. Masuk dalam prioritas WHO untuk diteliti secara serius bersama Remdesivir dan Chloroquine.

Actemra dan Kevzara:

Actemra buatan Roche dan Kevzara (diproduksi Regeneron dan Sanofi) masuk dalam kelompok inhibitor IL-6. Obat ini menghambat mekanisme biologis yang menyebabkan inflamasi paru-paru pasien. Kedua obat telah memulai uji klinis tahap akhir yang akan memastikan apakah kedua obat ini bisa membantu pasien Covid-19.

Chloroquine dan Hydroxychloroquine:

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) pada 28 Maret menyetujui dua obat antimalaria itu sebagai obat darurat virus corona. Di Cina, obat ini menunjukkan kemampuannya membantu mengobati penyakit Covid-19. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia juga memasukkan obat ini dalam daftar kelompok obat yang bisa dipakai untuk pasien Covid-19, khususnya gejala ringan. Obat ini dikombinasikan antibiotik Azithromycin.

Avigan:

Obat buatan Fujifilm Toyama Chemical ini sebenarnya untuk perawatan flu dan obat antiviral spektrum luas. Obat dengan nama generik Favipiravir ini disetujui sebagai obat anti-influenza di Jepang. Produksinya dilakukan Toyama Chemical Co., anak perusahaan Fujifilm. Avigan unggul dari obat antiviral lainnya Arbidol dan ujicoba di Cina. Hasil pengujian di Cina, Avigan membantu mengurangi gejala Covid-19 seperti batuk dan demam. Pemerintah Jepang telah berkomitmen membantu 20 negara, termasuk Indonesia, untuk menyediakan Avigan. Hal itu disampaikan Menlu Jepang Motegi Toshimitsu pada Selasa pekan lalu.

Plasma konvalensi:

Perawatan ini melibatkan plasma darah pasien Covid-19 yang sudah sembuh dan mengandung antibodi penangkal virus yang membantu pasien yang sakit. Transfusi plasma darah dapat mentransfer antibodi ke pasien baru untuk melawan virus dan meningkatkan respons kekebalan. Dua uji coba baru-baru ini, satu diterbitkan Journal of American Medical Association dan lainnya di jurnal PNAS, menunjukkan hasil yang menjanjikan pada sekolompok kecil pasien Covid-19 dengan kondisi parah.

*Diolah dari berbagai sumber