Home Laporan Khusus Wabah Sosial Yang Luput Dari Pemerintah

Wabah Sosial Yang Luput Dari Pemerintah

Wabah Covid-19 tak pandang bulu membuat sengsara semua pihak. Tidak hanya orang berisiko yang terpapar bahkan sampai jenazah masih menjadi korban. Kasus penolakan pemakaman jenazah perawat RSUP Kariadi Senarang oleh warga agar tidak dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) tempat asal daerahnya, di Ungaran Barat Kabupaten Semarang, menjadi buktinya.

Sejatinya, warga penolak pemakaman pun sebenarnya menjadi korban. Akibat kurangnya edukasi dan sosialisasi Covid-19, hingga akhirnya menjadi wabah sosial yang akut akibat paranoid tanpa dasar dari para pemangku daerah. Wabah sosial ini luput dari pengawasan pemerintah.

Kasus tersebut bergulir sampai ranah hukum, dimana Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Tengah, Edy Wuryanto, Kamis (10/4), melaporkan sebagai delik aduan kepada Polda Jawa Tengah. Memperkarakan para provokator yang menolak pemakaman jenazah perawat pejuang pengendali virus corona.

Diketahui, Polda Jateng bergerak cepat selang satu hari, menangkap tiga terduga pelaku provokator yakni THP (31), BSA (54) dan STM (60), yang disebut menghalang-halangi petugas pemakaman.

"Selain melakukan provokasi, mereka juga diduga menghalang-halangi dan melarang petugas pemakaman bersama 10 orang lainnya untuk memblokade jalan untuk masuk ke pemakaman agar petugas membatalkan penguburannya," ungkap Kombes (Pol) Budi Haryanto, Direktur Resese Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jateng, Sabtu (11/4).

Ia menjelaskan, dengan provokasinya ketiga terduga pelaku yang merupakan asli warga Desa Sewakul, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang berhasil menggagalkan niat keluarga perawat RSUP Kariadi tersebut untuk menguburkan almarhumah di TPU Siwarak.

"Karena ramai, banyak warga yang ikut terprovokasi maka jenazah ditolak dan harus dikuburkan di tempat lain," jelasnya.

Untuk mempertanggung jawabkan aksinya, ketiga terduga pelaku yang disebut sebagai tokoh masyarakat dapat diancam dengan Pasal 212 KUHP dan 214 KUHP dan Pasal 14 ayat 1 UU no 4 th 1984 tentang wabah penyakit.

"Ancaman hukumannya paling ringan satu tahun penjara paling lama 8 tahun 6 bulan penjara. Tapi kalau menyebabkan luka berat maka terduga pelaku dapat dikenai hukuman 12 tahun penjara dan jika menyebabkan kematian akan diancam hukuman penjara 15 tahun," sebutnya.

Di sisi lain, keterangan dari Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah, Dr Djoko Handoko menegaskan, jenazah pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia tidak akan bisa menularkan Virus Corona kepada masyarakat.

"Masyarakat tidak usah khawatir jenazah pasien positif Covid-19 tidak akan menularkan virus kepada masyarakat yang masih hidup, karena jika inang virus meninggal, maka virusnya juga ikut mati," tandasnya.

Komisioner Komisi Informasi Propinsi (KIP) Jateng Zainal Petir menyatakan, kepala daerah baik bupati/walikota maupun gubernur harus bertanggungjawab,jika ada penolakan terhadap pemakaman jenazah pasien positif Covid-19 di wilayahnya.

Menurut Zaenal, jika ada kepala daerah yang tidak mampu mengatasi atau gagal menjalankan salah satu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yakni ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, sebagaimana amanat UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemda,maka Gubernur Jateng selaku wakil Pemerintah Pusat harus segera bersikap.

Sesuai PP 33 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, maka tugas Gubernur Ganjar Pranowo untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Bupati/Walikota yang wilayahnya ada penolakan jenazah.

"Saya sedih sekali mendengar penolakan pemakaman jenazah perawat. Mereka itu ujung tombak ikhiar menyelamatkan pasien, memberikan perawatan 24 jam, rela tidak tidur ketika dinas malam, risiko kena nosokomial infection atau infeksi yang diperoleh dari rumah sakit. Mereka akan merasa bahagia bila melihat pasien sembuh dan tersenyum. Begitu berat pengorbanan perawat, lha kok mau dimakamkan masih dipingpong dan ditolak. Kasihan sekali," ujarnya.

Zainal Petir berharap, Gubernur Ganjar membuat kebijakan dengan menggelar rapat Forkopimda plus MUI, IDI maupun pakar forensik dalam rangka memberikan edukasi atau pemahaman kepada masyarakat supaya tidak ada lagi kasus penolakan jenazah baik perawat atau tenaga kesehatan lainnya maupun masyarakat umum.

Lebih efektif, tambah Zainal Petir, Ganjar didampingi Fokopimda plus melakukan dialog video conference dengan bupati/ walikota Kota se Jateng.

"Masing-masing unsur menyampaikan pencerahan, ada aspek kesehatan, agama, penegakan hukum maupun pendekatan kultural" kata Zaenal.

Selain itu, kata dia, Kepala daerah harus mampu menjelaskan dan membangun kesadaran kepada masyarakat secara komprehensif tanpa menimbulkan ketakutan. Termasuk membesarkan hati tenaga medis maupun kesehatan, beri insentif tinggi, ketersediaan APD maupun asupan gizi.

Pihaknya juga mengamati perihal wacana Pemkot Semarang yang akan membuat lokasi pemakaman khusus jenazah Covid-19 di daerah Desa Ngadirgo Kecamatan Mijen Kota Semarang. Lokasi TPU itu jauh dari pusat kota dan berbatasan dengan Kabuaten Kendal.

Lokalisir pemakaman khusus jenazah Covid-19 menurutnya masih kurang tepat. Dia beralasan, pemakaman khusus justru terkesan jenazah menjadi aib karena tidak dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU).

“Ya dilematis kalau di pemakaman khusus. Semacam aib malah seakan diasingkan. Bahkan malah menguatkan penafsiran masyarakat bahwa mayat Covid-19 bisa menular. Sementara masyarakat kan ingin dimakamkan bersebeahan dengan keluarga yang meninggal duluan,” jelasnya.

115