Menteri Kesehatan akhirnya memberikan izin PSBB untuk DKI Jakarta. Pemerintah pusat dinilai lamban merumuskan kebijakan yang tepat di tengah angka positif Covid-19 kian meningkat.
Panjangnya birokrasi dan kegagapan pemerintah dalam menghadapi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) belum habis-habisnya. Meski dirasa cukup terlambat, Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto akhirnya mengijinkan DKI Jakarta untuk mengisolasi kota dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keputusan Menteri Terawan ini baru saja diambil pada Selasa siang, 7 April lalu, walau Gubernur DKI, Anies Baswedan sudah pernah meminta pemerintah pusat untuk memberlakukan karantina wilayah untuk DKI pada akhir Maret.
Anies tampaknya harus puas dengan kebijakan PSBB yang masih jauh dari harapannya untuk mengunci DKI. Tapi apa boleh buat, gemuknya birokrasi membuat pemerintah pusat agak lambat bergerak. Dapat dibayangkan, sejak awal mula virus corona terdeteksi pada awal Maret, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan penting soal jaring pengaman sosial dan PSBB lebih dari satu bulan kemudian, meski di sela-sela itu pemerintah memang sudah mengeluarkan aturan soal pembatasan sosial skala kecil seperti para siswa yang diwajibkan belajar dari rumah hingga kebijakan work from home yang juga sebenarnya agak terlambat.
Namun, langkah Anies "mengunci" DKI masih terhambat persoalan birokratis lainnya seperti angka-angka peningkatan jumlah kasus positif Covid-19, kesiapan pemerintah daerah dalam menyiapkan kebutuhan masyarakat hingga ke persoalan transmisi lokal. Bolak baliknya izin PSBB ini dinilai tidak fleksibel dalam menangani darurat pandemi seperti saat ini. Bahkan, Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB yang dibuat Terawan pun sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa kepala daerah terkait pembatasan sekolah, tempat kerja, dan kegiatan keagamaan.
Lambannya pemerintah dalam merespons merebaknya Covid-19 ini dapat dilihat dari ditetapkannya tiga aturan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarkat dan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara. Ketiga aturan ini ditetapkan di tanggal yang sama, yakni 31 Maret 2020. Sebelumnya, pemerintah telah mengimbau agar aparatur sipil negara (ASN) mulai bekerja dari rumah sejak medio Maret dan kemudian diperpanjang hingga 21 April mendatang.
Sejak akhir Maret, pemerintah memang sudah gencar untuk membicarakan soal metode pembatasan sosial, entah menggunakan istilah karantina wilayah atau PSBB. Dua opsi ini kemudian mengemuka dengan cepat antar-menteri kabinet. Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), adalah salah satu pendukung karantina wilayah. Di sisi lain, ada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy yang lebih memilih pemberlakuan PSBB.
Menurut sumber Gatra di lingkungan Kemenko Marves, sejak pertengahan Maret, Luhut kerap melontarkan gagasan karantina wilayah dalam tiap rapat koordinasi lintas kementerian. Di dalamnya juga terkait cara mengunci suatu daerah agar paparan Covid-19 tidak meluas, termasuk dengan pencegahan mudik. Misalnya dengan rencana menaikkan tarif ruas tol tertentu hingga pembatasan maksimum tiga penumpang dalam satu kendaraan.
Begitu juga dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. yang bahkan sudah menyiapkan peraturan pemerintah terkait karantina wilayah namun urung untuk dimasukkan ke dalam lembaran negara karena Presiden Joko Widodo lebih nyaman dengan opsi PSBB. Jokowi, dalam rapat terbatas di Istana Bogor pada Senin, 30 Maret lalu, sudah menegaskan bahwa pelaksanaan PSBB akan segera dilaksanakan.
Dalam rapat itu, Presiden juga menegaskan bahwa untuk pelaksanaan PSBB, pemerintah daerah harus taat mengikuti panduan prosedural terkait dengan kekarantinaan. "Semuanya harus dikalkulasi, semuanya harus dihitung, baik dari dampak kesehatan maupun dampak sosial-ekonomi yang ada,” ujar Jokowi.
***
Bicara mengenai ekonomi, karantina wilayah dan PSBB memang memiliki dampak yang cukup luas, terlebih pada masyarakat berpenghasilan rendah dan sifatnya pendapatan harian. Pemerintah pun mati-matian untuk menyeimbangkan kesehatan fiskal. Hal ini kemudian terlihat dari pembagian dana subsidi pemerintah sebesar Rp405 trilyun, hanya sekitar Rp75 trilyun yang disisihkan untuk Kesehatan. Selebihnya untuk bidang ekonomi seperti relaksasi fiskal dan jaring pengaman sosial.
Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan bahwa jika dihitung, dengan asumsi produk domestik bruto (PDB) tahun 2020 sebesar Rp16.628 Trilyun dan pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02%, maka pandemi Covid-19 ini mampu mengguncang perekonomian nasional hingga 50%. Itu artinya, Indonesia akan kehilangan PDB di kisaran Rp 8.314 Trilyun per tahun alias Rp693 Trilyun per bulannya. “Kalau dampak ini terasa sampai tiga bulan, maka pemerintah akan menanggung kerugian sebesar Rp2.078 triliun. Dengan asumsi tiga bulan, dan ekonomi 50% terganggu," ia menjelaskan kepada Qonitha Azzahra dari Gatra.
Peningkatan kerugian dari Covid-19 ini bahkan diprediksi meningkat hingga angka 70%. Jika memang terjadi, maka kerugian negara akibat pandemi ini bisa mencapat Rp970 trilyun per bulan bahkan hingga Rp2.910 trilyun pada bulan ketiga. Maka, sudah tentu pemerintah perlu menggelontorkan berbagai metode relaksasi dan stiumulus fiskal.
Bagi Esther, langkah pemerintah dalam mengatasi kedaruratan kesehatan masyarakat justru salah kaprah. Meski banyak stimulus yang digelontorkan, manusia sebagai faktor produksi untuk mendorong perekonomian masih menjadi hal mendasar. Alih-alih memikirkan upaya penyehatan perekonomian pasca-Covid-19, pemerintah sebenarnya perlu untuk menyelamatkan manusianya sebagai "mesin-mesin pertumbuhan". “Nah, kalau ini labour tidak diselamatkan, seberapa besar pun dana yang dikeluarkan untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi, tidak akan menolong jika mayat-mayat terus bergelimpangan," ujarnya.
Pemerintah pun dianggap kurang siap dalam melakukan karantina wilayah, oleh karena itu opsi PSBB yang kemudian diambil Jokowi. Memang, jika dilihat dari sisi pembatasan, karantina wilayah jauh lebih ekstrem ketimbang PSBB.
Aditya Kirana