Home Laporan Khusus Surat Utang Rp150 Triliun Saat Pandemi

Surat Utang Rp150 Triliun Saat Pandemi

Perppu 1 Tahun 2020 memungkinkan Kemenkeu menugaskan BI menerbitkan surat utang (bond) baru yang bahkan bisa dijual di pasar perdana. Dikhawatirkan jadi kasus serupa BLBI. Perlu syarat ketat bagi perusahaan penerima penyertaan modal tersebut.


"Langkah extraordinary," begitu Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kebijakan yang ditempuh pihaknya, dalam menghadapi meluasnya wabah COVID-19 yang mengancam perekonomian, baik global maupun nasional. Kebijakan tidak biasa itu, mulai dari stimulus jilid satu yang berfokus di sektor pariwisata, stimulus jilid dua yang berfokus pada sektor industri manufaktur, serta stimulus ketiga yang berfokus pada sektor industri kesehatan dan perluasan jaring pengaman sosial atau social safety net.

Namun, tiga jurus itu dianggap masih belum lengkap untuk menyembuhkan perekonomian Indonesia. Terbaru, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, untuk mengganti Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

Salah satu poin utama Perppu "Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan" itu, merupakan keputusan menerbitkan surat utang baru bernama pandemic bond atau recovery bond. Nilai pandemic bond itu ditargetkan mencapai Rp150 triliun dari total Rp405,1 triliun, untuk sejumlah stimulus di berbagai bidang. Perppu itu telah diserahkan kepada Ketua DPR RI, Puan Maharani, pada Jumat lalu untuk segera disahkan.

Tujuannya, tentu supaya bisa dengan segera dan efektif membantu masyarakat dan dunia usaha yang menghadapi situasi sulit, dalam kondisi luar biasa ini. Alasan kedua, terkait stabilitas sektor keuangan. Jika kondisi ekonomi dan sosial mendapatkan tekanan akibat COVID-19 yang makin memburuk, maka berpotensi memengaruhi stabilitas sektor keuangan.

"Ini merupakan resources yang dicadangkan oleh negara dalam rangka menjaga kemungkinan terjadinya efek domino yang bisa mengancam ekonomi dan sistem keuangan kita," ucap Sri dalam telekonferensi bersama awak media Selasa lalu, seperti dilaporkan Qonita Azzahra dari GATRA.

Gawatnya, kondisi terkini membuat Perppu tersebut bisa menganulir ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di situ, jelas diatur bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan adanya Perppu ini, pelebaran batasan defisit diperbolehkan melampaui 3%.

Selain penambahan anggaran untuk keperluan darurat dan pelebaran defisit di atas 3% selama tiga tahun, hingga 2023, pemerintah juga melempar solusi lain. Bank Indonesia (BI) diberi kewenangan khusus untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana (membeli langsung dari pihak penerbit).

Pembelian ini berlaku, baik untuk Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Sebelumnya, dalam kondisi normal, BI hanya diperbolehkan melakukan pembelian SBN di pasar sekunder (lewat transaksi pasar), seperti yang tertera di dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

"Saat BI akan masuk [pasar], itu pasti tidak first resort. Ini backup plan, agar market bisa rasional dan sedapat mungkin normal. Jadi, tidak mengakomodasi market yang sedang panik dan irasional,” tutur Sri.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyampaikan hal senada. Ia mengatakan, kebijakan ini merupakan the last resort yang akan dilakukan BI ketika kondisi pasar sudah sangat buruk, sehingga membuat kenaikan suku bunga sangat tinggi atau tidak normal. Bahkan, ia juga memastikan tidak akan ada bailout alias bantuan likuiditas seperti penerbitan BLBI pada 1998.

"Kami tegaskan bahwa di dalam Perppu, pembelian SBN dan SBSN merupakan the last resort. Saya melihat pemberitaan yang seolah-olah kita akan ada BLBI atau bailout,” Perry menegaskan dalam telekonferensi pers, Rabu pekan lalu.

Oleh karena itu, setelah kondisi pasar normal kembali, kebijakan tentang pembelian SBN di pasar perdana tidak akan berlaku lagi. Artinya, kebijakan akan kembali pada peraturan yang tercantum dalam UU BI, yang hanya memperbolehkan bank sentral membeli SBN di pasar sekunder saja.

Perry optimistis, surat utang masih menarik di mata pasar. Ia mengacu pada fakta bahwa akhir Maret, lelang SBN senilai Rp30 triliun, berhasil dimenangkan sebanyak Rp20 triliun. "Itu menandakan absorpsi pasar masih memadai. Di global, investor juga melihat penerbitan bond masih [menarik],” ucapnya.

Lalu bagaimana kelak menggunakan dana triliunan tersebut? "Ini yang sedang kita finalkan. Namun, sudah ada beberapa pemikiran alternatif berdasarkan pembahasan bersama. Kita ingin penggunaan pandemic bond ini menjadi support yang diberikan kepada lembaga-lembaga keuangan," ujar Sri. 

Salah satu opsi, yakni menjadi semacam penyertaan modal negara (PMN), baik berupa tunai maupun tidak, kepada BUMN dan lembaga keuangan milik pemerintah. Opsi lain, berupa penempatan dana pemerintah atau investasi pemerintah.

Dengan demikian, dana bisa langsung dipegang oleh perusahaan swasta atau institusi yang ditunjuk pemerintah. Mereka ini merupakan lembaga investasi, manajer investasi, atau lembaga keuangan lain sebagai pendukung proses restrukturisasi. Efeknya, disrupsi atau tekanan ekonomi tidak menjalar ke sektor keuangan.

 

***

 

Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad, mengkritik recovery bond karena dinilai berpotensi menjadi dana talangan yang sulit dipertanggungjawabkan. Ia menolak uang tersebut diberikan negara secara langsung kepada korporasi. "Ini bisa lebih parah dari BLBI. Pada skema BLBI, negara memberikan suntikan dana segar ke korporasi dan negara mendapatkan kompensasi saham di perusahaan penerima dana BLBI. Skema inilah yang membebani rakyat Indonesia puluhan tahun," ujarnya.

Di sisi lain, pengusaha tentu saja mendorong agar recovery bond bisa segera diberlakukan. Meski ada usulan agar diterapkan beragam persyaratan yang harus dipatuhi perusahaan, jika ingin terlibat. Misalnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak lebih dari 10%.

"Ini harus dilakukan. Ini bukan hanya untuk kepentingan dunia usaha saja, tapi safety net juga harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat," ujar Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roeslani, ketika dikonfirmasi Wahyu Wachid Ansori dari GATRA.

Perhitungan Kadin, jebloknya ekonomi Tanah Air baru bisa pulih paling cepat akhir 2020. Bahkan bagi sektor paling terdampak, seperti pariwisata, diperkirakan akan bisa bangkit lagi pada tahun mendatang. "Kami, sih, ingin secepatnya. Nanti bisa diberikan melalui perbankan,” kata Rosan.

Dana ini diharapkan bisa menjaga agar tidak terjadi lebih banyak PHK. Kalaupun terpaksa ada PHK, perusahaan tetap bisa membayar pesangon sesuai aturan. Selain itu, recovery bond itu diyakini bisa membiayai kartu pra-kerja untuk karyawan yang kemungkinan kena PHK. 

Menurut Rosan, potensi kredit macet bisa diminimalisasi dengan Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020. Cara mengantisipasi, di antaranya bisa dilakukan restrukturisasi dan masuk dalam kategori lancar, serta pelaksanaan di lapangan jangan sampai lamban.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menilai langkah seperti ini bisa saja dilakukan. Saat ruang gerak fiskal terbatas, ruang manuver moneter lebih luas, salah satunya melalui pembelian SUN oleh BI.

Faisal meyakini, surat utang itu akan memecahkan persoalan likuiditas terbatas, khususnya pada saat kondisi ekonomi sedang mengalami tekanan seperti sekarang. "Mendapatkan dana dari recovery bond memungkinkan, asalkan sejumlah regulasi yang membatasi penggunaannya diubah," ucapnya.

Agar tidak muncul beragam kekhawatiran, termasuk soal BLBI, Faisal menegaskan agar sistem pemantauan diperkuat dan good governance harus menjadi perhatian penting. "Hal yang jelas, kriteria pemilihan perusahaan harus benar-benar objektif, bukan dipengaruhi oleh preferensi subjektif atau kedekatan perusahaan dengan pemerintah," ujarnya.

Flora Libra Yanti

Profil Utang Pemerintah (Triliun)

                                                  2020 (per Februari)     2019              2018              2017                2016

Total utang                                 Rp4.948,2                  Rp4.778,6      Rp4.418,3      Rp3.995,1       Rp3.515,5

Surat Berharga Negara (SBN)   Rp4.151,3                  Rp4.014,8      Rp3.612,7      Rp3.246,1      Rp2.780,6

Pinjaman                                    Rp796,9                     Rp763,8         Rp805,6         Rp746,2         Rp734,9