Home Laporan Khusus Belum Aman dengan Jaring Pengaman

Belum Aman dengan Jaring Pengaman

Stimulus Jaring Pengaman Sosial jadi strategi mempertahankan kinerja perekonomian nasional. Program relaksasi kredit dikhawatirkan malah menghantam likuiditas perbankan dan multifinance. Jika tidak diantisipasi, sektor keuangan bisa terdampak secara sistemis. 


Daya beli masyarakat menjad kunci agar ekonomi tetap tumbuh di saat wabah penyakit virus corona (COVID-19) melumpuhkan simpul-simpul perekonomian. Jika daya beli masyarakat mengalami penurunan, skenario terburuknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai minus 0,4%.

Perekonomian Indonesia selama ini memang ditopang oleh daya beli ini, terutama konsumsi rumah tangga, yang kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 50%. Jika konsumsi rumah tangga melemah, ekonomi nasional bisa terjun bebas. "Karena mereka tidak melakukan aktivitas ekonomi," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, seperti dilaporkan Qonita Azzahra dari GATRA.

Agar konsumsi rumah tangga tetap terjaga, pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus fiskal, salah satunya program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dengan stimulus ini, pemerintah memproyeksi ekonomi bisa tumbuh 2,3% dari PDB dengan asumsi konsumsi rumah tangga bisa tumbuh sekitar 3,2%.

Melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, akan difokuskan salah satunya dalam pelaksanaan program JPS. Pemerintah menganggarkan belanja JPS mencapai Rp110 triliun.

Adapun anggaran program JPS digunakan untuk Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, kartu prakerja, relaksasi tarif listrik, cadangan operasi pasar, dan keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal.

Presiden Joko Widodo menekankan empat hal dalam pelaksanaan program JPS. Pertama, pelaksanaan JPS harus tepat sasaran dengan melibatkan struktur kemasyarakatan paling bawah, yaitu RT/RW, pemerintah desa, dan pemerintah daerah. Kedua, penyalurannya sesegera mungkin, secepat mungkin, tepat, dan cepat. Ketiga, mekanisme penyaluran jaring pengaman sosial ini dilakukan seefisien mungkin, menggunakan cara-cara praktis, tidak berbelit-belit, dan tidak menyulitkan masyarakat.

Terakhir, merancang mekanisme program JPS dengan melibatkan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pedagang sembako di pasar, serta jasa transportasi ojek. "Ini mengikutsertakan usaha-usaha yang di bawah dan bersama-sama dengan kita dan juga ekonomi di bawah ikut bergerak," kata Jokowi dalam rapat terbatas tentang Efektivitas Penyaluran Program Jaring Pengaman Sosial melalui telekonferensi, Selasa lalu.

Instruksi Presiden ini muncul setelah salah satu program JPS, yaitu program keringanan kredit, mandek di awal penetapannya. Banyak para debitur terdampak COVID-19, masih terkendala mendapatkan keringanan kredit. Belum lagi debitur harus ditagih-tagih debt collector. Padahal, pekerja informal begitu antusias memperoleh relaksasi cicilan hingga satu tahun.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada 138 perusahaan pembiayaan yang melakukan program relaksasi kredit. Hingga 31 Maret 2020, permohonan keringanan kredit lebih dari 11.000 dan yang mendapat konfirmasi sebanyak 10.206 pengajuan.

***

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), Riswinandi, mengatakan bahwa kesepakatan restrukturisasi kredit diserahkan kepada lembaga pembiayaan. Agar permohonan disetujui, ia menyarankan, debitur harus bisa membuktikan jika kemampuan membayarnya terganggu karena dampak COVID-19. 

Selain itu, debitur juga bisa memilih bagian mana dari kewajibannya yang bisa diringankan. "Misalnya, apakah keringanan berupa pembayaran pokok saja, bunga saja, atau perpanjangan jangka waktu," ujarnya dalam telekonferensi, Selasa lalu.

Menurut seorang Credit Analyst lembaga pembiayaan yang melaksanakan program restrukturisasi kredit, sudah lebih dari 10.000 pengajuan keringanan kredit yang masuk ke perusahaannya. Mayoritas merupakan debitur ritel yang memiliki pinjaman modal kerja.

Jenis restrukturisasi yang diajukan, umumnya perpanjangan tenor pembayaran cicilan dan penurunan bunga. Pengajuan ini nantinya akan diasesmen oleh analis lembaga pembiayaan. "Mayoritas kita approved," kata sumber GATRA yang meminta namanya tidak disebutkan.

Meskipun kebijakan relaksasi kredit ditujukan untuk debitur terdampak COVID-19, masih ada saja masyarakat yang aji mumpung. Menurut sumber GATRA tadi, dua hari diterbitkannya Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 yang menjadi payung hukum relaksasi kredit, dirinya langsung dihubungi banyak debitur. Tujuannya, untuk mendapat keringanan kredit. "Mereka nanya, kalau enggak bayar cicilan satu tahun bisa, enggak? Padahal itu orang PNS dan pegawai BUMD yang enggak kena dampak," ujarnya.

Di sisi lain, keringanan kredit untuk UMKM juga punya persoalan. Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubun, menyebutkan bahwa pelaksanaan relaksasi kredit untuk UMKM masih simpang siur. "POJK relaksasi kredit tersebut juga belum sampai ke semua perbankan dan leasing," ujarnya kepada GATRA.

Ikhsan mengatakan, keringanan kredit saja tidak mampu membuat UMKM bertahan di tengah penyebaran COVID-19. Pelaku usaha juga membutuhkan iklim usaha sehat dan kondusif. "Kondisi saat ini, keadaannya tidak sehat. Tidak kondusif pula," katanya.

Sejauh ini, total kredit nasional sekitar Rp8.000 triliun. Kredit sektor UMKM dan usaha mikro berkisar 20% atau sekitar Rp1.600 triliun. Pemerintah telah menetapkan 11,9 juta pelaku UMKM, untuk mendapat fasilitas penundaan cicilan pokok dan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) selama enam bulan. Keringanan kredit juga diberikan kepada 11,4 juta debitur pembiayaan ultramikro.

Menurut Pengamat Ekonomi, Eko B Supriyanto, relaksasi kredit selama setahun akan membuat perusahaan multifinance "klenger", sehingga bisa menghentikan kredit. Bank sebagai pemberi pinjaman ke multifinance juga dibuat pusing, jika likuiditas multifinance seret. Apalagi praktik moral hazard nantinya banyak terjadi dalam program relaksasi kredit.

Eko mengatakan, banyak oknum yang akan memanfaatkan relaksasi ini untuk mendapatkan keuntungan. Debitur tinggal berpura-pura macet karena COVID-19, maka kewajibannya baik di bank maupun di multifinance, berpeluang mendapat pelonggaran. "Siapa, sih, yang tidak mau tidak bayar "uang sekolah" selama setahun? Pengalaman, sebelum ada bencana COVID-19, bayar tepat waktu saja sulit setengah mati," ujarnya kepada GATRA.

***

Kepala Ekonom Bank BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan bahwa relaksasi kredit tidak hanya menguntungkan debitur, tetapi juga kreditur, seperti perbankan dan lembaga multifinance. Hal ini karena kesempatan bank meraup profit secara optimal akan terkendala di tengah pandemi COVID-19.

Dengan restrukturisasi, kredit macet debitur bisa ditekan dan persentase loan at risk (LAR) juga dapat diturunkan, sehingga biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dapat diturunkan. Ujungnya, relaksasi kredit membantu profitabilitas bank. "Prinsipnya, sukacita dinikmati bersama, dukacita pun dirasakan bersama," kata Ryan.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, mengakui pelonggaran kredit bagi terdampak COVID-19 ini akan memengaruhi likuiditas perbankan dan lembaga pembiayaan. Agar industri keuangan tersebut tidak kolaps, pihak regulator terus memantau per individu bank dan lembaga pembiayaan. "Seluruh lembaga keuangan, kami minta melaporkan kepada OJK bagaimana kondisi likuiditasnya," katanya dalam rapat kerja virtual dengan Komisi XI DPR.

Menurut Wimboh, jika likuditas multifinance seret, bisa meminjam dari perbankan. Likuiditas perbankan sendiri, jika cekak, bisa menggunakan fasilitas interbank call money. Jika masih gagal, perbankan bisa mengajukan pinjaman melalui lender of the last resort Bank Indonesia. "BI akan berikan pinjaman likuiditas. Namun, ini kami harapkan tidak terjadi," ujarnya.


Hendry Roris Sianturi

Jaring Pengaman Sosial

Total Anggaran Rp110 triliun

 

Perincian:

1. Penambahan anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM)

Anggaran: Rp8,3 triliun

2. Tambahan sembako untuk 20 juta KPM

Anggaran: Rp10,9 triliun

3. Tambahan program Kartu Pra-Kerja

Anggaran: Rp10,0 triliun

4. Diskon tarif listrik untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA

Anggaran: Rp3,5 triliun

5. Tambahan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah

Anggaran: Rp1,5 triliun

6. Program Jaringan Pengaman Sosial lainnya

Anggaran: Rp30,8 triliun

7. Cadangan pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar

Anggaran: Rp25 triliun

8. Penyesuaian anggaran pendidikan untuk penanganan COVID-19

Anggaran: Rp20 triliun

(Sumber: Kementerian Keuangan)